Kamis, 30 April 2009

BUTUH PATRON ALTRUISTIK (Jelang Pilkada 2005 Tikep)

Oleh

King Faisal Sulaiman SH
Akademisi Malut



Bila suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran. Pesan moral Muhammad, Sang Rasul sekaligus pemimpin umat ini, memiliki sinonimitas dengan sebuah ungkapan klasik yakni “Ikan bila membusuk, diawali dari kepalanya bukan dari ekornya”. Pemimipin merupakan sosok fenomenal yang selalu hadir dalam setiap akhir dari periodesasi sebuah rezim. Ia bagaikan Dewi Aphrodite dalam mitologi Yunani yang selalu menjadi dambaan semua insan. Semua negara, bangsa, daerah dan bahkan bangsa-bangsa primitif sekalipun pasti membutuhkan seorang pemimpin. Sebagai pijaran produk Era Reformasi, kini bangsa Indonesia pada tahun 2005 akan dihadapkan dengan sebuah hajatan politik yang terbilang masih baru dalam konvensi ketatanegaraan Indonesia selama ini yakni Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Pilkada). Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah Secara langsung (Pilkada) yang akan digelar pada tahun 2005 mendatang, berbagai elemen masyarakat bersama lembaga infrastruktur politik daerah (Eksekutif, Legislatif, Parpol-parpol) mulai menyiapkan sejumlah langkah antisipatif dan amunisi politiknya dalam menghadapi Pilkada 2005.
Pemerintah propinsi Maluku Utara beserta para legislator (DPRD) kini mulai disibukkan dengan persiapananya menjemput pesta demokrasi (Pilkada) yang di yakini memiliki nilai demokrasi tersendiri bagi seluruh masyarakat di kawasan Maluku Kie Raha ini. Beberapa daerah/kota di propinsi Maluku Utara yang akan melaksanakan Pilkada yang dimaksud adalah Pemkot Ternate, Pemkot Tikep, Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) dan Kabupaten Kepulauan Sula. Tulisan sederhana ini akan mencoba mengulas secara khusus peta konfigurasi politik lokal di kota Tidore Kepulauan (Tikep) dan kaitanya dengan pembangunan daerah. Manuver politik sejumlah elit atau patron lokal yang notabene adalah Putra Daerah Tidore akhir-akhir ini semakin mengemuka seiring dengan semakin dekatnya proses Pemilihan Kepala Daerah Secara langsung (Pilkada) tahun 2005. Dalam atmosfer demokrasi, gejala semodel ini sesungguhnya bukanlah hal yang istimewa, artinya rakyat yang berdomisili di willayah administratif Kota Tidore Kepulauan (Tikep) tentunya harus bersikap dewasa di dalam mencermati dan mewarnai gerak-gerik para patron lokal yang ditengarai turut meramaikan bursa Pilkada 2005 mendatang.
Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi harus mampu mencermati secara arif dan bijkasana serta memilah mana para politisi-politisi “Siluman (baca; busuk lagi tercela)” yang hanya mengejar jabatan dan kekuasaan semata dan mana saja politisi yang betul-betul peduli nasib rakyat dan mempunyai jiwa kearifan sosial yang tinggi. Sejarah mencatat bahwa hingga saat ini (dari dahulu sejak masih dalam Kabupaten Halteng hingga terbentuk Pemkot Tikep) pembangunan di Kota Tidore Kepulauan dari dari setiap fase dan etapenya, justru makin menunjukkan karakter asli daerah Tidore itu sendiri. Identitas asli daerah yang dimaksud adalah Tidore semakin hari makin tertinggal, tertidur lelap dan tertelan oleh kemajuan era globalisasi saat ini. Pembangunan disegala sektor kehidupan terutama infrastruktur penyangga roda perekonomiaan daerah Tidore boleh dikatakan semakin back to nature (baca; kembali ke zaman Batu) dan un-qualified untuk ukuran kecanggihan ilmu pengetahuan dan tekhnologi saat ini. Kita dapat menyaksikan betapa malangnya kondisi fisik beberapa pelabuhan daerah seperti di Rum dan Goto. Kedua infrastruktur perputaran arus barang dan jasa di Kota Tidore ini, kondisinya sungguh sangat memprihatinkan dan sungguh kurang layak dijadikan sebagai pilar lalu-lintas transportasi laut dan penyangga arus perputaran barang dan jasa saat ini.
Pembangunan di daerah Tidore Kepulauan (khususnya di kota Tidore) mengalami stagnasi dan statis yang sangat menyedihkan. Dari dahulu hingga sekarang para penentu kebijakan (decesion maker) di daerah Kesultanan Nuku tersebut, kurang optimal dalam menampakkan jiwa dan nurani altruistiknya. Kini jarak ketertinggalan pembangunan di daerah Tidore Kepulauan dengan daerah lain semisal kota Ternate tetangganya, cukup antagonistik. Memang suatu pekerjaan yang maha berat (tidak semudah membalik telapak dengan) untuk membangun daerah Tidore Kepulauan. Namun paling tidak para pengambil kebijakan kita di lingkungan eksekutif maupun wakil rakyat kita harus memulainya dari sekarang. Salah satu indikator keberhasilan pertumbuhan ekonomi dari suatu daerah adalah paling tidak terbangunnya beberapa zona-zona atau kawasan pariwisata, perindustrian, pertanian, perkebunan, kehutanan, transportasi dan perdagangan seperti sentra-sentra industri kecil (semisal home industry), pabrik-pabrik (misalnya pabrik ikan, pabrik Es Batu untuk pengawetan Ikan) yang ditopang oleh infrastruktur atau sarana-prasarana penyangga arus barang dan jasa atau roda perekonomiaan.
Secara historis, sewaktu terbentuknya Kabupaten Halmahera Tengah yang definitif hingga terjadi perubahan konstelasi politk lokal yakni terjadinya pemekaran wilayah dalam konteks sekarang, tidak ada kejelasan komitmen political will dari para pembuat kebijakan di dalam membangun daerah. Hemat saya, usia Kota Tidore Kepulauan yang masih baru satu tahun (sejak tahun 2003), tidak bisa dijadikan alasan pembenar lambatnya pembangunan daerah Tidore selama ini. Menjadi tanggung jawab kolektif semua masyarakat di wilayah Kota Tidore Kepulauan untuk senantiasa mengingatkan para pejabat daerah agar tetap commit terhadap pembangunan daerah. Pembangunan di wilayah Kota Tidore Kepulauan harus disikapi dan dikritisi sejak terbentuk Kabupaten Halteng secara definitif yakni pada tanggal 31 Oktober 1991 hingga terjadinya proses pemekaran pada tahun 2002-2003 sampai dengan sekarang.
Dalam perspektif ini, untuk ukuran kota Tidore sendiri misalanya, bagaimana kita mengharapkan para investor menginvestasikan modalnya atau pertumbuhan ekonomi daerah mengalami peningkatan secara siginifikan jika kapasitas muat kedua pelabuhan utama (Rum dan Goto) itu hanya diperuntukan bagi Motor kayu, Speed boat dan Kapal Ferry. Konsentrasi transaksi jual-beli khusus untuk Kota Tidore selama ini hanya terfokus pada Pasar Sarimalaha di kelurahan Goto. Pasar mikro lainnya sebagai penunjang seperti Pasar Toloa, atau Pasar Rum hanya bersifat tentatif dan kondisional. Itupun skala dan volume perputaran barang dan jasa yang diperjual-belikan relatif sekedar memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari alias “Hogali Oyo”. Hal ini diperparah lagi oleh kurang optimlanya pelayanan masyarakat oleh pemerintah Tidore Kepulauan terkait dengan distribusi pelayanan listrik untuk masyarakat. Sejak beberapa tahun yang lalu hingga sekarang, kondisi pemakaian lampu oleh masyarakat masih bersifat Senin-Kamis, mungkin akibat dari kondisi fisik mesin PLN daerah yang sudang usang atau faktor X yang lainnya.
Hemat saya, mayoritas masyarakat di Tidore Kepulauan, masih teralienasi secara sosial-kemasyarakatan, akibat mandeknya pembangunan terutama sektor ekonomi di negeri asal Sultan Nuku tersebut. Hal ini terjadi oleh karena selama ini, pola paradigma pembangunan daerah masih berkutat pada nilai-nilai primodialisme yang sempit sehingga banyak potensi-potensi Sumber Daya Alam (SDA) ataupun sejumlah infrastruktur penyangga pembangunan daerah menjadi terbengkalai dan kurang terurus dengan baik. Indikator ini secara implisit dapat dilihat dalam proses perbaikan Swerring-jalan raya di tanjung kelurahan Tongowai. Kerusakan tembok Swering-penahan abrasi air laut di tanjung kelurahan Tongowai yang saat ini terjadi, hanya diadakan proses tambal-sulam oleh Pemkot Tidore Kepulauan yang bagi saya sifat terlalu prematur dan tidak berorientasi jangka panjang.
Padahal jika melihat kondisi fisik dari tembok Swering tersebut, sangat riskan tembok tersebut bisa eksis untuk interval waktu lima tahun kedepan. Aspek lain yang perlu dicermati adalah ketika seorang pejabat memegang posisi kunci di dalam tubuh atau lembaga eksekutif misalnya, yang ia perhatikan adalah bagaimana “Proyek Aspalisasi jalan-jalan setapak di kampung halamannya dapat terlaksana dengan baik. Atau bagaimana Proyek Swering-nisasi pesisir pantai di daerah kelahiranya dapat terwujud walaupun Pemkot harus rela mengeluarkan sebagian duit APBD-nya untuk program-program tersebut. Bukan berarti kebijkan-kebijakan tersebut dilarang atau tidak memberikan andil bagi masyarakat, tetapi apakah kepentingan-kepentingan masyarakat Tidore lain dalam kerangka kemaslahatan rakyat banyak juga telah di akomodir dengan baik ?. Inilah yang menjadi persoalan, oleh sebab itu sudah saatnya sentimen primordialisme pembangunan harus di eliminasikan. Secara general, kita dapat berhipotesa bahwa salah satu penyebab carut-marutnya pembangunan suatu daerah, disebabkan Top Leader daerah tersebut kurang memiliki integritas moral dan profesionalisme yang baik di dalam menjalankan roda pemerintahannya. Maju-mundurnya pembangunan suatu daerah tentunya memiliki unsur sinergisitas dengan faktor capability seorang pemimpin daerah tersebut. Seorang pemimpin yang kurang berjiwa populis dan un-sensibility terhadap pembangunan daerahnya, maka daerah itu akan menglami stagnasi pembangunan daerah yang cukup dilematis.
Dalam perpektif ini, maka seorang Top Leader yang, baik setidak-tidaknya harus memiliki beberapa kualifikasi seperti (1) Mempunyai integritas moral (jujur dan amanah) dan profesionalisme yang baik (cerdas dan cekat); (2) Mampu meletakkan kepentingan umum/rakyat di atas kepentingan pribadi/golongan; (3) Menjadi panutan yang baik; (4) Memiliki kemampuan manejerial-organisasi yang baik dan (5) Berjiwa visioner dan berpandangan futuristik. Serangkaian modal dasar tersebut bersifat kumulatif dan saling terintegratif yang harus melekat dalam diri seorang patron. Jika faktor-faktor determinan tersebut tercermin dalam sosok seorang pemimpin maka paling tidak laju pembangunan daerah akan berjalan sesuai dengan harapan seluruh elemen masyarakatnya.
Dalam pada itu, jika Top Leader (Walikota) daerah ini mampu “Berpikir Gobal Tetapi Bertindak Lokal” seperti disarankan oleh futurolog, Samuel P Huntington (The Clash Of Civilization), maka pembangunan di Kota Tidore Kepulauan ini akan mempunyai “Grand Design” pembangunan yang terarah, terpadu dan terencana. Selama ini, nampaknya masyarakat di Tidore Kepuluan masih belum memahami atau bahkan tidak tahu sama sekali bagaimana “Master Plan” daerahnya. Saya yakin, sebagian besar masyarakat masih mempertanyakan sektor-sektor apa sajakah yang menjadi “skala prioritas” pembangunan daerah ini. Saya termasuk orang yang cukup skeptis akan kejelasan arah konsep “Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (REPETADA” di Kota Tidore Kepulauan selama ini.
Harus disadari, salah satu indikator lambatnya laju pembangunan di daerah Kota Tidore Kepulauan hingga sekarang (terhitung sewaktu masih berstatus Kabupaten Halteng dahulu), diakibatkan oleh pola penataan dan penempatan Sumber Daya Manusia (SDM) tidak memperhatikan prinsip “the right man on the right job”. Akibatnya, seorang “Sarjana Ekonomi atau Sarjana Tehnik” misalnya dipercayakan untuk mengepalai Departemen Pendidikan Nasional sementara masih ada lulusan SPd atau MPd lainnya yang layak menempati posisi kunci pada Depdiknas itu sendiri. Di sisi lain seorang Dra atau Drs yang nota bene basicnya adalah Sarjana Administrasi Negara/Sospol diangkat menjadi Kepala Departemen Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi misalnya, sementara masih banyak Sarjana Ekonomi yang lebih berkompoten lainnya. Atau justru sebaliknya seorang yang basic displin ilmunya “Sarjana Pendidikan (SPd)” disuruh menangani tata-pemerintahan (government). Dan lebih riskan lagi seorang “Sarjana Hukum” misalnya dipercayai menjadi kepala Dinas Pertambangan. Saya kira inilah persoalan krusial daerah yang kini tengah terjadi yang kemudian berimplikasi pada morat-maritnya pemebangunan daerah selama ini. Bilamana hal-hal tersebut tidak diperhatikan secara arif dan bijkasana oleh seorang Top Leader, maka tidak mustahil Tidore kedepan hanya akan dikenang sebagai ”A Sleeping Giant ForEver Lasting”.
Kita (Masyarakat Tidore) boleh bangga dengan beberapa poternsi Sumber Daya Alam seperti tambang Emas di wilayah Oba Utara atau galian C (batu Apung Mafututu, Tanah Liat, Pasir, dll). Di samping itu terdapat pula potensi pertanian, perkebunan, kehutanan, dan sejumlah Potensi Bahari yang tersebar di beberapa daerah Tidore Kepulauan. Di tambah lagi dengan potensi wisata bahari, wisata budaya (cagar budaya) dan segudang potensi wisata alam lainnya. Namun, apakah dengan segala Sumber Daya Alam (SDA) yang ada lantas dapat memberikan jaminan akan masa depan daerah ini yang lebih cerah ?. Dengan melihat kondisi riil pembangunan daerah saat ini (minimnya SDM), kita sudah dapat menemukan dan menentukan jawabanya sendiri. Sejumlah potensi Sumber Daya Alam dan potensi wisata Bahari dan cagar Budaya yang ada, selama ini ternyata belum dapat dioptimalkan secara maksimal dan dikelola secara profesional oleh para penentu kebijakan (the king maker) di daerah Tidore Kepulauan.
Akhirnya, kita tentunya sangat berharap proses suksesi Pilkada 2005 mendatang dapat menghasilkan pemimpin yang benar-benar sesuai dengan harapan kita semua. Marilah kita bersatu padu meletakkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau segelintir orang. Jika masyarakat di Wilayah Tidore Kepulauan menginginkan perubahan dan pembangunan daerah yang lebih baik kedepan, maka jangan salah gunakan hak pilih anda dalam momentum Pilkada 2005 mendatang. Jangan mudah terkecoh dengan para calon-calon pemimpin yang hanya pandai mengumbar janji-janji, membagi-bagikan duit (money politic) padahal tidak punya andil yang nyata bagi masyarakat dan daerah selama ini. Pilihlah pemimpin yang tidak bermental amoral dan korup (baca; dinata) serta tidak hidup berfoya-foya. Suara anda menentukan arah pembangunan lima tahun daerah ini (Tidore Kepulauan ) ke depan. Apakah pembangunan di kota Tidor-e Kepulauan semakin Tertidur pulas atau justru mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, semuanya terpulang pada suara anda. Selamat menentukan Pilihan***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar