Kamis, 30 April 2009

BUTUH PATRON ALTRUISTIK (Jelang Pilkada 2005 Tikep)

Oleh

King Faisal Sulaiman SH
Akademisi Malut



Bila suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran. Pesan moral Muhammad, Sang Rasul sekaligus pemimpin umat ini, memiliki sinonimitas dengan sebuah ungkapan klasik yakni “Ikan bila membusuk, diawali dari kepalanya bukan dari ekornya”. Pemimipin merupakan sosok fenomenal yang selalu hadir dalam setiap akhir dari periodesasi sebuah rezim. Ia bagaikan Dewi Aphrodite dalam mitologi Yunani yang selalu menjadi dambaan semua insan. Semua negara, bangsa, daerah dan bahkan bangsa-bangsa primitif sekalipun pasti membutuhkan seorang pemimpin. Sebagai pijaran produk Era Reformasi, kini bangsa Indonesia pada tahun 2005 akan dihadapkan dengan sebuah hajatan politik yang terbilang masih baru dalam konvensi ketatanegaraan Indonesia selama ini yakni Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Pilkada). Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah Secara langsung (Pilkada) yang akan digelar pada tahun 2005 mendatang, berbagai elemen masyarakat bersama lembaga infrastruktur politik daerah (Eksekutif, Legislatif, Parpol-parpol) mulai menyiapkan sejumlah langkah antisipatif dan amunisi politiknya dalam menghadapi Pilkada 2005.
Pemerintah propinsi Maluku Utara beserta para legislator (DPRD) kini mulai disibukkan dengan persiapananya menjemput pesta demokrasi (Pilkada) yang di yakini memiliki nilai demokrasi tersendiri bagi seluruh masyarakat di kawasan Maluku Kie Raha ini. Beberapa daerah/kota di propinsi Maluku Utara yang akan melaksanakan Pilkada yang dimaksud adalah Pemkot Ternate, Pemkot Tikep, Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) dan Kabupaten Kepulauan Sula. Tulisan sederhana ini akan mencoba mengulas secara khusus peta konfigurasi politik lokal di kota Tidore Kepulauan (Tikep) dan kaitanya dengan pembangunan daerah. Manuver politik sejumlah elit atau patron lokal yang notabene adalah Putra Daerah Tidore akhir-akhir ini semakin mengemuka seiring dengan semakin dekatnya proses Pemilihan Kepala Daerah Secara langsung (Pilkada) tahun 2005. Dalam atmosfer demokrasi, gejala semodel ini sesungguhnya bukanlah hal yang istimewa, artinya rakyat yang berdomisili di willayah administratif Kota Tidore Kepulauan (Tikep) tentunya harus bersikap dewasa di dalam mencermati dan mewarnai gerak-gerik para patron lokal yang ditengarai turut meramaikan bursa Pilkada 2005 mendatang.
Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi harus mampu mencermati secara arif dan bijkasana serta memilah mana para politisi-politisi “Siluman (baca; busuk lagi tercela)” yang hanya mengejar jabatan dan kekuasaan semata dan mana saja politisi yang betul-betul peduli nasib rakyat dan mempunyai jiwa kearifan sosial yang tinggi. Sejarah mencatat bahwa hingga saat ini (dari dahulu sejak masih dalam Kabupaten Halteng hingga terbentuk Pemkot Tikep) pembangunan di Kota Tidore Kepulauan dari dari setiap fase dan etapenya, justru makin menunjukkan karakter asli daerah Tidore itu sendiri. Identitas asli daerah yang dimaksud adalah Tidore semakin hari makin tertinggal, tertidur lelap dan tertelan oleh kemajuan era globalisasi saat ini. Pembangunan disegala sektor kehidupan terutama infrastruktur penyangga roda perekonomiaan daerah Tidore boleh dikatakan semakin back to nature (baca; kembali ke zaman Batu) dan un-qualified untuk ukuran kecanggihan ilmu pengetahuan dan tekhnologi saat ini. Kita dapat menyaksikan betapa malangnya kondisi fisik beberapa pelabuhan daerah seperti di Rum dan Goto. Kedua infrastruktur perputaran arus barang dan jasa di Kota Tidore ini, kondisinya sungguh sangat memprihatinkan dan sungguh kurang layak dijadikan sebagai pilar lalu-lintas transportasi laut dan penyangga arus perputaran barang dan jasa saat ini.
Pembangunan di daerah Tidore Kepulauan (khususnya di kota Tidore) mengalami stagnasi dan statis yang sangat menyedihkan. Dari dahulu hingga sekarang para penentu kebijakan (decesion maker) di daerah Kesultanan Nuku tersebut, kurang optimal dalam menampakkan jiwa dan nurani altruistiknya. Kini jarak ketertinggalan pembangunan di daerah Tidore Kepulauan dengan daerah lain semisal kota Ternate tetangganya, cukup antagonistik. Memang suatu pekerjaan yang maha berat (tidak semudah membalik telapak dengan) untuk membangun daerah Tidore Kepulauan. Namun paling tidak para pengambil kebijakan kita di lingkungan eksekutif maupun wakil rakyat kita harus memulainya dari sekarang. Salah satu indikator keberhasilan pertumbuhan ekonomi dari suatu daerah adalah paling tidak terbangunnya beberapa zona-zona atau kawasan pariwisata, perindustrian, pertanian, perkebunan, kehutanan, transportasi dan perdagangan seperti sentra-sentra industri kecil (semisal home industry), pabrik-pabrik (misalnya pabrik ikan, pabrik Es Batu untuk pengawetan Ikan) yang ditopang oleh infrastruktur atau sarana-prasarana penyangga arus barang dan jasa atau roda perekonomiaan.
Secara historis, sewaktu terbentuknya Kabupaten Halmahera Tengah yang definitif hingga terjadi perubahan konstelasi politk lokal yakni terjadinya pemekaran wilayah dalam konteks sekarang, tidak ada kejelasan komitmen political will dari para pembuat kebijakan di dalam membangun daerah. Hemat saya, usia Kota Tidore Kepulauan yang masih baru satu tahun (sejak tahun 2003), tidak bisa dijadikan alasan pembenar lambatnya pembangunan daerah Tidore selama ini. Menjadi tanggung jawab kolektif semua masyarakat di wilayah Kota Tidore Kepulauan untuk senantiasa mengingatkan para pejabat daerah agar tetap commit terhadap pembangunan daerah. Pembangunan di wilayah Kota Tidore Kepulauan harus disikapi dan dikritisi sejak terbentuk Kabupaten Halteng secara definitif yakni pada tanggal 31 Oktober 1991 hingga terjadinya proses pemekaran pada tahun 2002-2003 sampai dengan sekarang.
Dalam perspektif ini, untuk ukuran kota Tidore sendiri misalanya, bagaimana kita mengharapkan para investor menginvestasikan modalnya atau pertumbuhan ekonomi daerah mengalami peningkatan secara siginifikan jika kapasitas muat kedua pelabuhan utama (Rum dan Goto) itu hanya diperuntukan bagi Motor kayu, Speed boat dan Kapal Ferry. Konsentrasi transaksi jual-beli khusus untuk Kota Tidore selama ini hanya terfokus pada Pasar Sarimalaha di kelurahan Goto. Pasar mikro lainnya sebagai penunjang seperti Pasar Toloa, atau Pasar Rum hanya bersifat tentatif dan kondisional. Itupun skala dan volume perputaran barang dan jasa yang diperjual-belikan relatif sekedar memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari alias “Hogali Oyo”. Hal ini diperparah lagi oleh kurang optimlanya pelayanan masyarakat oleh pemerintah Tidore Kepulauan terkait dengan distribusi pelayanan listrik untuk masyarakat. Sejak beberapa tahun yang lalu hingga sekarang, kondisi pemakaian lampu oleh masyarakat masih bersifat Senin-Kamis, mungkin akibat dari kondisi fisik mesin PLN daerah yang sudang usang atau faktor X yang lainnya.
Hemat saya, mayoritas masyarakat di Tidore Kepulauan, masih teralienasi secara sosial-kemasyarakatan, akibat mandeknya pembangunan terutama sektor ekonomi di negeri asal Sultan Nuku tersebut. Hal ini terjadi oleh karena selama ini, pola paradigma pembangunan daerah masih berkutat pada nilai-nilai primodialisme yang sempit sehingga banyak potensi-potensi Sumber Daya Alam (SDA) ataupun sejumlah infrastruktur penyangga pembangunan daerah menjadi terbengkalai dan kurang terurus dengan baik. Indikator ini secara implisit dapat dilihat dalam proses perbaikan Swerring-jalan raya di tanjung kelurahan Tongowai. Kerusakan tembok Swering-penahan abrasi air laut di tanjung kelurahan Tongowai yang saat ini terjadi, hanya diadakan proses tambal-sulam oleh Pemkot Tidore Kepulauan yang bagi saya sifat terlalu prematur dan tidak berorientasi jangka panjang.
Padahal jika melihat kondisi fisik dari tembok Swering tersebut, sangat riskan tembok tersebut bisa eksis untuk interval waktu lima tahun kedepan. Aspek lain yang perlu dicermati adalah ketika seorang pejabat memegang posisi kunci di dalam tubuh atau lembaga eksekutif misalnya, yang ia perhatikan adalah bagaimana “Proyek Aspalisasi jalan-jalan setapak di kampung halamannya dapat terlaksana dengan baik. Atau bagaimana Proyek Swering-nisasi pesisir pantai di daerah kelahiranya dapat terwujud walaupun Pemkot harus rela mengeluarkan sebagian duit APBD-nya untuk program-program tersebut. Bukan berarti kebijkan-kebijakan tersebut dilarang atau tidak memberikan andil bagi masyarakat, tetapi apakah kepentingan-kepentingan masyarakat Tidore lain dalam kerangka kemaslahatan rakyat banyak juga telah di akomodir dengan baik ?. Inilah yang menjadi persoalan, oleh sebab itu sudah saatnya sentimen primordialisme pembangunan harus di eliminasikan. Secara general, kita dapat berhipotesa bahwa salah satu penyebab carut-marutnya pembangunan suatu daerah, disebabkan Top Leader daerah tersebut kurang memiliki integritas moral dan profesionalisme yang baik di dalam menjalankan roda pemerintahannya. Maju-mundurnya pembangunan suatu daerah tentunya memiliki unsur sinergisitas dengan faktor capability seorang pemimpin daerah tersebut. Seorang pemimpin yang kurang berjiwa populis dan un-sensibility terhadap pembangunan daerahnya, maka daerah itu akan menglami stagnasi pembangunan daerah yang cukup dilematis.
Dalam perpektif ini, maka seorang Top Leader yang, baik setidak-tidaknya harus memiliki beberapa kualifikasi seperti (1) Mempunyai integritas moral (jujur dan amanah) dan profesionalisme yang baik (cerdas dan cekat); (2) Mampu meletakkan kepentingan umum/rakyat di atas kepentingan pribadi/golongan; (3) Menjadi panutan yang baik; (4) Memiliki kemampuan manejerial-organisasi yang baik dan (5) Berjiwa visioner dan berpandangan futuristik. Serangkaian modal dasar tersebut bersifat kumulatif dan saling terintegratif yang harus melekat dalam diri seorang patron. Jika faktor-faktor determinan tersebut tercermin dalam sosok seorang pemimpin maka paling tidak laju pembangunan daerah akan berjalan sesuai dengan harapan seluruh elemen masyarakatnya.
Dalam pada itu, jika Top Leader (Walikota) daerah ini mampu “Berpikir Gobal Tetapi Bertindak Lokal” seperti disarankan oleh futurolog, Samuel P Huntington (The Clash Of Civilization), maka pembangunan di Kota Tidore Kepulauan ini akan mempunyai “Grand Design” pembangunan yang terarah, terpadu dan terencana. Selama ini, nampaknya masyarakat di Tidore Kepuluan masih belum memahami atau bahkan tidak tahu sama sekali bagaimana “Master Plan” daerahnya. Saya yakin, sebagian besar masyarakat masih mempertanyakan sektor-sektor apa sajakah yang menjadi “skala prioritas” pembangunan daerah ini. Saya termasuk orang yang cukup skeptis akan kejelasan arah konsep “Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (REPETADA” di Kota Tidore Kepulauan selama ini.
Harus disadari, salah satu indikator lambatnya laju pembangunan di daerah Kota Tidore Kepulauan hingga sekarang (terhitung sewaktu masih berstatus Kabupaten Halteng dahulu), diakibatkan oleh pola penataan dan penempatan Sumber Daya Manusia (SDM) tidak memperhatikan prinsip “the right man on the right job”. Akibatnya, seorang “Sarjana Ekonomi atau Sarjana Tehnik” misalnya dipercayakan untuk mengepalai Departemen Pendidikan Nasional sementara masih ada lulusan SPd atau MPd lainnya yang layak menempati posisi kunci pada Depdiknas itu sendiri. Di sisi lain seorang Dra atau Drs yang nota bene basicnya adalah Sarjana Administrasi Negara/Sospol diangkat menjadi Kepala Departemen Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi misalnya, sementara masih banyak Sarjana Ekonomi yang lebih berkompoten lainnya. Atau justru sebaliknya seorang yang basic displin ilmunya “Sarjana Pendidikan (SPd)” disuruh menangani tata-pemerintahan (government). Dan lebih riskan lagi seorang “Sarjana Hukum” misalnya dipercayai menjadi kepala Dinas Pertambangan. Saya kira inilah persoalan krusial daerah yang kini tengah terjadi yang kemudian berimplikasi pada morat-maritnya pemebangunan daerah selama ini. Bilamana hal-hal tersebut tidak diperhatikan secara arif dan bijkasana oleh seorang Top Leader, maka tidak mustahil Tidore kedepan hanya akan dikenang sebagai ”A Sleeping Giant ForEver Lasting”.
Kita (Masyarakat Tidore) boleh bangga dengan beberapa poternsi Sumber Daya Alam seperti tambang Emas di wilayah Oba Utara atau galian C (batu Apung Mafututu, Tanah Liat, Pasir, dll). Di samping itu terdapat pula potensi pertanian, perkebunan, kehutanan, dan sejumlah Potensi Bahari yang tersebar di beberapa daerah Tidore Kepulauan. Di tambah lagi dengan potensi wisata bahari, wisata budaya (cagar budaya) dan segudang potensi wisata alam lainnya. Namun, apakah dengan segala Sumber Daya Alam (SDA) yang ada lantas dapat memberikan jaminan akan masa depan daerah ini yang lebih cerah ?. Dengan melihat kondisi riil pembangunan daerah saat ini (minimnya SDM), kita sudah dapat menemukan dan menentukan jawabanya sendiri. Sejumlah potensi Sumber Daya Alam dan potensi wisata Bahari dan cagar Budaya yang ada, selama ini ternyata belum dapat dioptimalkan secara maksimal dan dikelola secara profesional oleh para penentu kebijakan (the king maker) di daerah Tidore Kepulauan.
Akhirnya, kita tentunya sangat berharap proses suksesi Pilkada 2005 mendatang dapat menghasilkan pemimpin yang benar-benar sesuai dengan harapan kita semua. Marilah kita bersatu padu meletakkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau segelintir orang. Jika masyarakat di Wilayah Tidore Kepulauan menginginkan perubahan dan pembangunan daerah yang lebih baik kedepan, maka jangan salah gunakan hak pilih anda dalam momentum Pilkada 2005 mendatang. Jangan mudah terkecoh dengan para calon-calon pemimpin yang hanya pandai mengumbar janji-janji, membagi-bagikan duit (money politic) padahal tidak punya andil yang nyata bagi masyarakat dan daerah selama ini. Pilihlah pemimpin yang tidak bermental amoral dan korup (baca; dinata) serta tidak hidup berfoya-foya. Suara anda menentukan arah pembangunan lima tahun daerah ini (Tidore Kepulauan ) ke depan. Apakah pembangunan di kota Tidor-e Kepulauan semakin Tertidur pulas atau justru mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, semuanya terpulang pada suara anda. Selamat menentukan Pilihan***

Fries Ermessen

King Faisal Sulaiman
Akademisi Univ. Khairun Ternate dan UNMUH Malut

A. Prolog Umum
Birokrasi sebenarnya merupakan instrumen kekuasaan yang didesain oleh penguasa untuk menjalankan keputusan-keputusan politiknya dalam arti formil. Namun dalam praktiknya birokrasi telah menjadi kekuatan politik yang potensial yang dapat merobohkan kekuasaan. Karena itu, sistem, proses dan prosedur penyelenggaraan negara dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintahan negara dan pembangunan harus diatur oleh produk hukum. Begitu luasnya cakupan tugas-tugas administrasi negara dan pemerintahan, sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Patut disadari bahwa problem kekuasaan, dan perihal kewenangan serta fenomena konflik struktural merupakan hal yang sukar untuk dipisahkan satu sama lain, terlebih bila berbicara mengenai tata kelola pemerintahan itu sendiri. Kekuasaan merupakan sumber kewenangan dan konflik merupakan konsekuensi yang ditimbulkan dari pelaksanaan kewenangan yang tidak jelas. Hal ini sepenuhnya telah lama disadari oleh Weber sebagai bapak reformasi birokrasi, bahwa konflik merupakan konsekuensi dari tuntutan struktur birokratis terhadap adanya otoritas kewenangan untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Pemberian dan penggunaan kewenangan secara tidak terkontrol oleh hukum dan pengawasan masyarakat dapat menjerumuskan para penguasa birokrasi dan pejabat pemerintahan kepada perbuatan yang sewenang-wenang.

Hukum Administrasi Negara dapat diartikan sebagai perangkat hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi negara. Administrasi negara di sini mencakup keseluruhan aktivitas yang dilakukan oleh administrasi negara di dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, baik tugas yang berkaitan dengan layanan masyarakat (public service), pelaksanaan pembangunan, kegiatan perekonomian, peningkatan kesejahteraan, dan lain sebagainya. Termasuk di sini adalah tugas yang dijalankan oleh administrasi negara untuk melaksanakan berbagai tugas yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan administrasi Pemerintahan adalah tatalaksana dalam mengambil tindakan hukum dan/atau tindakan faktual oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan (unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan berdasarkan wewenang diluar kekuasaan legislatif dan yudisiil yang diperoleh melalui atribusi, delegasi, dan mandat.
B. Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Upaya menghindari segala bentuk KKN, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya dan harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat, melaksanakan tugas tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, tidak melakukan perbuatan tercela, melaksanakan tugas tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompok dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN dan perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam prakteknya, secara yuridis mengikat penyelenggara negara untuk dilaksanakan dalam tugas dan fungsinya. Dalam perspektif tata kelola pemerintahan, setiap Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tanggung jawabnya wajib melaksanakan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Asas kepastian hukum menghendaki keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Asas keseimbangan mewajibkan Badan atau Pejabat Pemerintahan untuk menjaga, menjamin, paling tidak mengupayakan keseimbangan, antara kepentingan antar individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; Keseimbangan antar individu dengan masyarakat; Antar kepentingan warga negara dan masyarakat asing; Antar kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; Keseimbangan kepentingan antara pemerintah dengan warga negara; Keseimbangan antara generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang termasuk keseimbangan antara manusia dan ekosistemnya. Asas Ketidakberpihakan menghendaki Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam mengambil keputusan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif. Asas Kecermatan mengandung arti bahwa suatu keputusan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas pengambilan keputusan sehingga keputusan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum keputusan tersebut diambil atau diucapkan.
Asas tidak menyalahgunakan kewenangan mengharuskan setiap Badan atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut. Asas Keterbukaan lebih cenderung pada aspek public service yang baik dan bagaimana masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Asas Profesionalitas mengutamakan keahlian yang sesuai dengan tugas dan kode etik yang berlaku bagi Badan atau Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan Keputusan Pemerintahan yang bersangkutan. Asas Kepentingan Umum lebih menekankan dimensi kebijakan pemerintah yang berdampak pada kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif.
C. Fries Ermessen; mengapa perlu ?
Salah satu aspek penting yang terkait dengan prinsip akuntabilitas dalam reformasi birokrasi Indoensia saat ini adalah perihal kewenangan diskresi. Sebagaimana diketahui, diskresi ataupun yang lazim dikenal dalam bahasa Jerman sebagai Freies Ermessen merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur. Prinsip ini merupakan unsure exception dari asas legalitas itu sendiri. Diskresi dapat dikatakan sebagai bentuk wewenang Badan atau Pejabat Pemerintahan yang memungkinkan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam mengambil tindakan hukum dan/atau tindakan faktual dalam lingkup administrasi atau tata kelola suatu pemerintahan. Lebih jauh, dalam Pasal 1 ayat (5) Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) ditegaskan, diskresi merupakan kewenangan Pejabat Administrasi Pemerintahan yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah dengan memperhatikan batas-batas hukum yang berlaku, asas-asas umum pemerintahan yang baik dan norma-norma yang berkembang di masyarakat. Dengan kata lain Diskresi merupakan keputusan pejabat administrasi pemerintahan yang bersifat khusus, bertanggungjawab dan tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik demi terselenggaranya pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance)
Bertolak dari defenisi diatas, maka Badan atau Pejabat Pemerintahan yang diberikan kewenangan diskresi dalam mengambil keputusan wajib mempertimbangkan tujuan diskresi, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar diskresi, dan senantiasa memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana dipaparka diatas. Diantara asas-asas umum pemerintahan yang baik yang paling mendasar adalah larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang. Badan atau Pejabat Pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil. Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi. Dengan demikian diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari paham negara welfare state adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih terjadi kekososngan hukum (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak (pouvoir discretionnaire/ Freies Ermessen).
D. Plus Minus Fries Ermesen
Ada beberapa manfaat atau aspek kelebihan dalam penggunaan prinsip Freies Ermessen atau kebebasan bertindak oleh pejabat pemerintah yaitu diantaranya; pertama, kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi kekosongan hukum sama sekali; kedua, Badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap kebijakan publik (policy) sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum atau masyarakat luas; ketiga, sifat dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinmais seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangan zaman.
Namun begitu, disisi lain kebebasan bertindak okleh apartur pemerintahan yang berwenang sudah tentu juga menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya yang menyimpangi asas legalitas dalam arti yuridis (unsur exception). Memang harus diakui apabila tidak digunakan secara cermat dan hati-hati maka penerapa asas freis ermessen ini rawan menjadi konflik struktural yang berkepanjangan antara penguasa versus masayarakat. Ada beberapa kerugian yang bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi secara baik yakni diantaranya ; pertama, aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang karena terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak dapat dipertanggujawabkan kepada masyarakat; kedua, sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin buruk akibat kebijakan yang tidak popoluer dan non-responsif diambil oleh pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang; ketiga,sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah kebijakan (policy) pejabat atau aparatur pemerintah yang kontraproduktif dengan keinginan rakyat atau para pelaku pembangunan lainnya. Keempat, aktifitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang tidak pro-masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis kepecayaan publik terhadap penguasa dan menurunya wibawa pemernitah dimata masyarakat sebagai akibat kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan merugikan masyarakat.
E. Tolak Ukur Yang Jelas
Terdapat beberapa parameter dalam hal batasan toleransi bagi Badan atau Pejabat pemerintahan dalam menggunakan asas diskresi ini yaitu (a) adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; (b) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; (c) tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral. Bila berbicara mengenai pertanggungjawaban maka diskresi akan terkait dengan permasalahan subyek yang memiliki kewenangan membuat diskresi. Menurut Prof. Muchsan, subyek yang berwenang untuk membuat suatu diskresi adalah administrasi negara dalam pengertian sempit, yaitu eksekutif. Adapun basis argumentasi yuridisnya ialah bahwa pihak eksekutif yang lebih banyak bersentuhan dengan masalah pelayanan publik oleh karena itu diskresi hanya ada dipraktekan dan dikenal dalam tata kelola pemerintahan. Bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK) dan sejumlah bentuk lainnya.
Dalam rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) pun memperjelas penyelesaian sengketa yang ditimbulkan oleh diskresi yang sebelumnya belum terakomodir dalam UU PTUN. Mekanisme pertanggungjawaban menurut RUU AP ini adalah mekanisme pertanggungjawaban administrasi terkait dengan keputusan ataupun tindakan yang telah diambil oleh pejabat administrasi pemerintahan. Menurut RUU AP Pasal 25 ayat (3) dinyatakan: Pejabat Administrasi Pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil. Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi. Sedangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat diselesaikan melalui proses peradilan. Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.
Epilog
Disadari atau tidak, fakta emperik menunjukkan bahwa, banyaknya diskresi yang dikeluarkan oleh Pejabat Pemerintah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum dan administratif, sehingga perlu diawasi oleh masyarakat beserta organisasi-organisasi NGO yang concern terhadap good governance. Melihat rawannya potensi kekacauan hukum dan administrasi yang ditimbulkan, maka diskresi harus dapat dipertanggungjawabkan (responsibility) sekaligus dipertanggunggugatkan (accountability). Oleh karena itu, penggunaan diskresi secara tepat sesuai dengan ketentuaan yang ada, yakni dengan senantiasa bersandar kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik tentunya akan membawa manfaat bagi masyarakat. Dalam perspektif ini, perlu ditekankan bahwa seorang pejabat adminisatrasi pemerintahan dituntut harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan diskresi yang dibuat olehnya kepada masyarakat tanpa perlu menunggu adanya gugatan secara legalisitik. Mengingat hal tersebut merupakan suatu kewajiban yang sifatnya melekat pada kewenangan yang menjadi dasar akan adanya tindakan diskresi itu sendiri***.

ADAT Se-ATORANG; BUKAN PEPESAN KOSONG

Oleh;
King Faisal Marsaoly
Direktur Eksekutif LBH Malut
**
Narasi Awal
MASYARAKAT ADAT pada hakekatnya merupakan komponen terbesar dalam struktur negara–bangsa Indonesia. Ada beberapa defenisi yang bisa dijadikan rujukan mengenai pengertian masyarakat adat. PBB memberikan defenisi lewat konvensi ILO No.169 tahun 1986 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka (Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent States) mengartikan IPs yakni : Sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, me-ngembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka. Sementara itu, Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) dan AMAN memberikan defenisi: kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, sosial, dan budaya sendiri. Jadi pada dasarnya, masyarakat adat merupakan sebuah entitas sosial yang tidak dominan, termarginalkan dari akses pembangunan, dan rentan terhadap berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Mereka sering dikelompokkan sebagai kaum minoritas dan penduduk pribumi yang mendiami suatu wilayah ulayat sejak dahulu kala, dimana keberadaannya jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Mereka hidup di dalam sebuah tatanan sistem adat yang memiliki norma, hukum, nilai-nilai adat-istiadat (adat se atorang) serta mempunyai batas wilayah ulayat tersendiri.
Setidaknya bangsa ini pernah punya sejarah kelam mengenai kebijakan negara yang dianggap menjadi awal petaka-kehancuran eksistensi kehidupan masyarakat adat beserta hak-hak ulayatnya. Bertolak dari argumen paradoksal bahwa, nilai-nilai budaya adat (adat se atorang) identik dengan keterbelakangan dan sistem pemerintahan adat yang beragam dapat berpotensi terjadinya des-integrasi bangsa. Kedaulatan negara kemudian, ditegakkan secara koersif dan diktatoris dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Disisi lain, berkembang sebuah pemahaman mengenai pentingnya dilakukan perubahan sosial-budaya kehidupan masyarakat adat. Perubahan yang dimaksud adalah pencabutan nilai-nilai tradisional yang kemudian ditransformasikan dengan nilai-nilai lain yang lebih banyak di adopsi dan di-impor dari demokrasi barat dengan dalih agar tercapainya derajat kesejahteraan masyarakat. Konsekuensinya, banyak kebijakan pembangunan yang sarat dengan kepentingan para penguasa dan kaum pemodal mendapat sorotan-kritik dan perlawanan dari hampir seluruh kelompok rakyat marjinal dan kesatuan-kesatuan masyarakat adat.
Berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan pada saat itu (rezim otoritarian-sentralistik ORBA), negara secara tidak demokratis dan tidak adil telah mengambil-alih hak atas ideologi, dan adat istiadat hak ekonomi, hak untuk menegakkan sistem nilai, dan yang tak kalah pentingnya ialah hak ekonomi dan politik masyarakat adat. Sistem masyarakat adat tentunya memiliki perbedaan satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya dan tipe wilayah kesatuan hukum adat setempat. Walaupun sistem-sistem masyarakat adat ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat. Sistem berupa pranata hukum dan struktur pemerintahan adat yang telah lama hidup dalam masyarakat memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, termasuk berbagai jenis konflik struktural yang acapa kali terjadi selama ini.
Sistem pemerintahan dengan konsep “Desa” gaya Orde Baru lewat implementasi UU No. 5/1979 yang memaksakan semacam prinsip uniformitas dalam semua sektor kehidupan bangsa telah menyingkirkan eksistensi masyarakat adat (Indigenous peoples) beserta pranata-pranatanya termasuk di kawasan jazirah kesultanan Moloku Kie Raha. Transformasi nilai-nilai tradisional itu dilakukan melalui berbagai produk peraturan perundang-undangan, dan sejumlah kebijakan pemerintah. Setidaknya UU No. 5 Tahun 1979, telah mengubah sistem pemerintahan adat dan khazanah kekayaan adat dalam bentuk pemerintahan desa. Betapa tidak, aturan tersebut diyakini oleh banyak kalangan sebagai awal diskresi fungsi-fungsi pemerintahan adat yang berdampak hingga saat ini. Resikonya, peran tokoh-tokoh adat makin dipinggirkan dan bahkan tidak sedikit yang menjadi korban pembangunan karena dianggap anti pembangunan melewan dan sikap pemerintah yang sah. Lembaga-lembaga adat tidak lagi berperan menjadi perekat persatuan, mediator konflik horizontal yang terjadi dalam masyarakat apalagi bertindak selaku pemangku kepentingan dikalangan masyarakat adat. Semasa rezim Orde Baru, hegemoni dan politisasi kekuasaan seorang kepala desa beserta aparaturnya menjadi begitu dominan selaku pelayan penguasa yang lebih banyak bertindak berdasarkan selera penguasa.
Perubahan Maind Sett Negara
Perubahan mendasar prototype sistem kekuasaan sentralistik-non responsif menuju era otonomi daerah (desentralisasi), haruslah ditangkap sebagai momentum metamorfosa kebangkitan pemberdayaan masyarakat adat. Implementasi UU No. 32/2004 junto PP No. 72/2005 menandai kebijakan otonomi daerah, di dalamnya mengatur otonomi desa sehingga tersemai pula harapan baru bagi restrukturasi pranata-pranata adat beserta komunitas adat yang kenyataannya memang masih hidup. Hal ini secara eksplisit dengan menegaskan bahwa penyebutan nama desa bukanlah satu-satunya nama baku yang harus diberlakukan secara homogen (seperti system orde Baru) namun dapat dikembalikan berdasarkan asal-usulnya, yakni berdasarkan nilai-nilai adat-istiadat (adat se atorang) yang telah ada dan hidup secara turun-turun dalam masyarakat. Tentu semua ini merupakan peluang bagi restorasi dan kebangkitan kembali eksistensi Adat se Atorang sebagai pilar civil society di era demokrasi. Pada tataran sekarang, perjuangan masyarakat adat menegakkan hak-haknya memiliki dasar hukum yang sangat kuat karena eksistensi hak-hak ulayat mendapat pengakuan sangat jelas dalam konstitusi kita (UUD 1945) maupun dalam sejumlah peraturan perundang-undang yang lainnya. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”. Begitupun pada Bab X A pasal 28-I Ayat (3) UUD 1945 yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia semakin memperkuat kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban merupakan hak azasi manusia yang harus dilindungi oleh Negara. Dengan demikian, eksistensi hak-hak ulayat mendapat pengakuan sangat jelas dalam konstitusi kita maupun dalam UUPA itu sendiri.
Begitupun dalam UU 39/1999 tentang HAM Pasal 6 secara tegas menyatakan bahwa dalam rangka Penegakan Hak Asasi Manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dan dilindungi, selaras dengan perkem-bangan zaman. Pengakuan eksistensi masyarakat adat ini makin mendapat otentifikasi legitimasinya dalam penjelasan Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 UU 39/99 tentang HAM. Hak Adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Lebih jauh, dikatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Namun kenyataan pahit masih kita alami saat ini dimana, sebagian besar keputusan politik dilevel pusat hingga daerah, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan secara baik, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses kebijakan dan agenda pembangunan nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dari pengkategorian secara diskriminatif terhadap masyarakat adat sebagai masyarakat awam, masyarakat tradisional, masyarakat pedalaman, masyarakat primitif, masyarakat terkebelakang-termarginal, dan masih banyak proses labelling lainnya yang sering kita jumpai.
Hal ini, mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola kehidupan mereka baik secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan kultural. Di pihak lain ada kepala adat yang memiliki posisi sangat strategis sebagai salah satu pemangku kebijakan dalam komunitas masyarakat adat yang memerintah berdasarkan otoritas legal namun tidak memiliki bargaining position yang kuat dihadapan pemerintah yang berkuasa. Dalam sistem pemerintahan desa, seorang yang menyandang predikat sebagai kepala adat justru lebih banyak berperan selaku pengatur upacara-upacara adat. Artinya, upacara adat yang dipercayakan pelaksanaannya kepada seorang kepala adat itu lebih condong mengandung unsur komersialisasi dan bukan merupakan bentuk pengakuan negara terhadap masyarakat adat. Perhatikan saja, tidak sedikit event-event yang digelar pemerintah seperti dalam bidang promosi kepariwisataan banyak melibatkan partisipasi masyarakat adat dalam arti seremonial dengan menampilkan berbagi atraksi, karnaval seni dan budaya yang dimiliki oleh tiap-tiap komunitas adat.
Pemberdayaan Masyarakat Adat Ternate
Gelembung kesadaran etnisitas sebagai pilar institusi adat kian menemukan identitas dan makin menguat semenjak era reformasi bergulir. Masyarakat adat di kesultanan Ternate sesungguhnya merupakan kesatuan komunitas adat yang memiliki hak-hak ulayat dan diakui eksistensinya dalam sistem hukum nasional. Tatanan budaya yang masih dipegang kuat masyarakat terutama hubungan patron- klien antara kesultanan dengan warga masyarakat adat Ternate memungkinkan eksistensi masyarakat adat tetap hidup dalam jangka waktu yang cukup panjang. Banyak tanah ulayat/adat yang dikenal sebagai pemberian Sultan (Cocatu Ou) kepada masyarakat adatnya yang tersebar dalam wilayah kesultanan Ternate. Tanah-tanah adat yang dimaksud biasanya dikenal dengan sebutan “Aha Kolano, raki Kolano, Aha Soa/Marga, Aha Cocatu , Gura Gam dan lain-lain” sebagai hak ulayat yang digarap dan dikelola secara turun temurun oleh mayarakat adat yang ditopang dengan struktur pranata adat yang tersusun secara sistematis dan mencerminkan keterkaitan satu sama lain. Namun gencarnya pembangunan dan membanjirnya investasi lokal dan nasional, keberadaan hak-hak ulayat terutama kepemilikan tanah-tanah adat tersebut tersingkirikan secara sistematis. Masyarakat adat bahkan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting berkaitan dengan esksitensi hak-hak ulayat tersebut.
Dalam konteks seperti ini, pelanggaran dan pemenuhan hak-hak dasar sebagai warga negara adalah salah satu titik yang paling bermasalah dalam pelaksanaan pembangunan. Hingga saat ini hak-hak ulayat berupa tanah-tanah adat yang ada di wilayah kesultanan Ternate tidak mendapat pengakuan secara legal formalisitik oleh pemerintah daerah. Salah satu indikatornya ialah, hingga saat ini belum ada peraturan daerah (Perda) yang mengatur secara jelas kesatuan hukum masyarakat adat di wilayah kesultanana Ternate. Akibatnya masyarakat adat selalu berada dalam posisi dilematis dan lemah dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Sekedar contoh, warga Kelurahan Dufa-Dufa, Kelurahan Tubo, Kelurahan Akehuda, dan Sango, Tarau serta kelurahan lain disekitar lokasi Bandara, yang teridentifikasi sebagai komunitas Adat, jauh sebelum Bandara Babullah dibangun, mereka telah mendiami areal ini sebagai tempat pemukiman dan pertanian atas persetujuan Kesultanan Ternate.
Oleh karena itu, meski mereka tidak memiliki dokumen kepemilikan tanah dari negara, namun lahan yang mereka tempati sekarang diyakini sebagai milik mereka lantaran hal tersebut diakui dalam hak ulayat adat kesultanan Ternate. Ketika perluasan pembangunan Bandara dilaksanakan, warga sekitar lokasi proyek memang telah diajak bicara dan rembuk. Namun pembicaraan tersebut mengalami kebuntuan karena, (a) pemerintah yang selalu mengacu kepada peraturan dan perundangan yang berlaku secara nasional berisikeras untuk tetap membangun perluasan bandara dengan ganti rugi yang besarannya telah ditetapkan dalam anggaran proyek. (b) Warga sekitar menginginkan selain ganti rugi secara materiil atas bangunan, tanah, tanaman pertanian/perkebunan juga kompensasi berupa pengakuan atas hak ulayat masyarakat; dengan demikian mereka bisa hidup secara layak dan terjaminnya hak-hak ulayat adat terutama kepemilikan atas tanah-tanah adat.
Konflik masyarakat adat Ternate dengan pemerintah yang tak kunjung usai hingga sekarang terkait penggunaan tanah adat untuk kepentingan perluasan bandara Sultan Babullah, merupakan salah dari sekian banyak persoalan hak ulayat yang terdapat di wilayah Kesultanan Ternate. Masyarakat Adat yang terkena perluasan pembangunan Bandara Sultan Babullah, tidak mempunyai pengatahuan hukum akan hak-hak ulayatnya tersebut. Mereka juga tidak tahu mekanisme pengaduan dan penyelesaian sejumlah persoalan hukum yang timbul. Konflik masyarakat adat Ternate dengan pemerintah yang tak kunjung usai hingga sekarang terkait penggunaan tanah adat untuk kepentingan perluasan bandara Sultan Babullah, merupakan salah dari sekian banyak persoalan hak ulayat yang terdapat di wilayah Kesultanan Ternate. Pemerintah Daerah tidak memperhatikan secara serius keberadaan masyarakat adat Kota Ternate dan eksistensi Kedaton Ternate, sehingga perlakuan diskriminatif masih sering dijumpai terutama dalam praktek pembebasan lahan untuk kepentingan pembangunan.
Paparan diatas menyiratkan kesan bahwa nampaknya belum tercipta kesadaran dan jaminan hukum bagi kelompok adat dalam pemenuhan kebutuhan dasar hak-hak atasi hidupnya. Meskipun pemenuhan kebutuhan dasar hak-hak atasi hidupnya telah dijamin oleh konstitusi namun dalam prakteknya negara sering tidak memperhatikannya. Disnilah letak urgensitas proses advokasi dan penciptaan kesadaran hukum bagi masyarakat Adat yang sebagian besar miskin dan termarginal sehingga mereka dapat menuntut hak-haknya secara jelas, dapat menyampaikan ketidak-puasannya, dan dapat memahami bagaimana, ke mana dan kepada siapa mereka harus menyampaikan dan menuntut hak-hak asasi yang tidak dipenuhi tersebut.

Strategi Pemberdayaan
Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah, apakah narasi konsep pemberdayaan komunitas adat di Ternate dan Maluku Utara pada umumnya sudah menemukan nilai artikulasinya ataukah masih sebatas jargon yang lazim sering didengungkan pada saat acara Legu Gam seperti saat ini ? Arah restukturisasi pengakuan masyarakat adat Ternate jangan sampai terperangkap pada semangat lokalisme sempit alias membengkaknya ideologi etnisitas dan terciptanya struktur baru oligarkhi di kalangan komunitas adat. Jika hal ini yang terjadi, maka kebangkitan komunitas adat akan rawan disalahgunakan untuk kepentingan pragmatis segelintir orang sebagai akibat dari manipulasi kekuasaaan adat tersebut. Restrukturisasi adat tidak bisa lahir sebagai sebuah entitas akan nilai-nilai adat se-atorang dalam sistem kekuasaan yang cenderung berkutat pada romantisme sejarah dan kultural masa lalu. Kita tidak bermaksud membangun tradisi balas dendam untuk melawan penguasa setelah sekian lama tidak pernah diperhatikan secara baik oleh pemerintah akan tetapi yang hendak dibangun adalah sebuah restrukturisasi sistem pemerintahan adat beserta lembaga-lembaga adat yang pernah ada dan hidup dalam ranah demokrasi berbasis lokalisme. Harus diakui bahwa sistem berupa pranata hukum dan struktur pemerintahan adat Kesultanan Ternate yang telah lama hidup tersebut, memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi terlebih konflik agraria struktural yang melibatkan pemerintah sekalipun.
Dalam konteks lokal, proses pengembangan kesadaran kritis dalam rangka penguatan kapasitas komunitas masyarakat adat khususnya di wilayah Moloku Kie Raha haruslah menjadi agenda advokasi yang patut dilakoni dan didorong terus-menerus oleh berbagai unsur stakeholder terutama kalangan mahasiwa dan LSM. Melalui prinsip desentralisasi kewenangan dalam konteks otonomi daerah, maka partisipasi dan kontrol masyarakat terhadap perilaku negara semakin menemukan ruang aktualisasi dan aksentuasinya. Berpijak pada pengalaman pemberdayaan masyarakat adat Ternate yang pernah kami lakukan (LKBH UMMU dan LBH MALUT), pilihan aproachment yang dipakai tidak hanya bertumpu pada satu model semata, akan tetapi merupakan satu rangkaian siklus strategi yang lazim digunakan dalam konsep pemberdayaan masyarakat termarginal secara umum.
Adapun tipologi strategi advokasi pemberdayaan yang dimaksud yakni mulai dari membangun wacana kritis, solutif dan produktif mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh masyarakat adat dan seberapa jauh jaminan konstitusi kita terhadapa keberadan masyarakat adat dan hak-hak ulayatnya. Selanjutnya melakukan proses pendampingan-pengorganisasian masyarakat adat, hingga turut serta melakukan advokasi kebijakan yang berkaitan dengan hak-hak konstitusional mereka. Ketiga fase dan etape pendekatan tersebut lebih banyak dipayungi oleh beberapa prinsip utama yakni dengan melibatkan partisipatif-kritis sejumlah stakeholders yang terkait untuk proaktif dalam identifikasi kebutuhan-kebutuhan sampai pada pilihan agenda pelaksanaan kegiatan pemberdyaaan secara kolektif. Prinsip lain adalah dalam proses pemberdayaan masyarakat adat, idealnya lebih memprioritaskan aspek proses (process oriented) yang terjadi ketimbang pencapaian hasil. Mengapa proses yang dikedepankan, sebab dengan begitu upaya menyadarkan sekaligus membangun basis pembelajaran bagi kelompok sasaran dapat berjalan secara alamiah tanpa harus terkungkung dalam sikap ketergesaan dan tindakan ceroboh kita dikarenakan terjebak pada upaya mengejar hasil (out put) yang sudah terlanjur diagendakan.
Setelah itu, perlu dibangun networking dengan multi stakeholder non partisan (terutama kelompok NGO/LSM) untuk turut mendorong akselerasi pencapaian agenda-agenda advokasi pemberdayaan yang telah dirumuskan bersama tersebut. Berdasarkan pengalaman, problem pengembangan jaringan (networking) inilah yang merupakan bagian yang tersulit. Dikatakan demikian, karena butuh penyamaan presepsi dikalangan kelompok-kelompok volunteer yang memiliki visi pemberdayaan yang searah. Fakta menunjukkan, upaya memperjuangkan kepentingan masyarakat ada adat Ternate dan Maluku Utara pada umumnya belum menjadi salah satu mainstream isu advokasi terutama dikalangan NGO/LSM lokal/Ormas dan mahasiswa. Bahkan upaya membangun kesadaran pemberdayaan masyarakat adat sepertinya kurang begitu diminati dan terkesan masih terasa tabu untuk diusung dan diwacanakan dikalangan aktivis sosial. Trend saat ini yang tengah menjamur yakni kebanyakan kelompok LSM lokal dan kalangan aktivis mahasiswa di Maluku Utara justru lebih enjoy menyoroti dan mengadvokasi isu penegakkan hukum (KKN), perilaku aparat penegak hukum, isu lingkungan sebagai eskses dari aktivitas perusahaan dibidang pertambangan, dan tata kelola birokrasi pemerintah daerah.
Lesson Learn; Sebuah Realita
Berdasarkan pengalaman kami (LBH MALUT/LKBH UMMU) dalam melakukan advokasi dan program pendampingan masyarakat Adat Ternate pada bulan Desember 2007 kemarin maka ada beberapa simpulan yang patut kita ketahui. Pertama, pada dasarnya masyarakat Adat di kota Ternate, memiliki kesadaran secara pribadi dan kolektif terhadap hak-hak ulayat terutama kepemilikan tanah-tanah Adat yang didapatnya secara turun temurun selama ini dan mereka juga menginginkan bagaimana hak-hak mereka diperhatikan oleh pemerintah, namun mereka belum memiliki keberanian yang cukup untuk menuntut hak-haknya. Masyarakat adat, terutama di kelurahan-kelurahan yang terkena perluasan pembangunan Bandara Sultan Babullah, tidak mempunyai pengatahuan hukum akan hak-hak ulayatnya tersebut.
Mereka juga tidak tahu mekanisme pengaduan dan penyelasaian sejumlah persoalan hukum yang timbul. Pemberian materi dalam kegiatan penyuluhan hukum ini (Legal Training), memberikan pengetahuan yang cukup siginifikan bagi mereka akan eksistensi hak-hak ulayat dan komunitas masayarakat Adat yang telah mendapat pengakuan secara legal formalisitik dalam sistem hukum nasional kita. Kegiatan ini setidak-tidaknya sangat membantu mereka memahami bagaimana cara/mekanisme penuntutan atas sejumlah hak-hak ulayat dan kepemilikan atas tanah-tanah Adat di wilayah kesultanan Ternate selama ini baik melalui jalur pengadilan (proses litigasi) maupun penyelesaian sengketa/perkara diluar pengadilan (non litigasi). Sehingga mereka dapat menuntut hak-haknya secara jelas, dapat menyampaikan ketidak-puasannya, dan dapat memahami bagaimana, ke mana dan kepada siapa mereka harus menyampaikan dan menuntut hak-hak asasi yang tidak dipenuhi tersebut.
Kedua, para peserta menyadari bahwa perjuangan untuk menuntut dan memperoleh pengakuan eksistensi hak-hak ulayat terutama kepemilikan atas tanah-tanah Adat di Kota Ternate membutuhkan stragei tertentu dan secara berjenjang, sehingga mereka bersepakat bahwa harus ada Kelompok Advokasi yang menjadi semacam ”Penjaga Gawang” dalam memperjuangkan dan menuntut hak-hak ulayat masyarakat adat di kota Ternate secara terorganisir dan tersistematis. Kelompok Advokasi ini bagi mereka, perlu dibentuk pada ditingkat kelurahahan dan lintas kelurahan.
Ketiga, Mereka (kelompok sasaran) juga menyepakati untuk mengusulkan kepada pemerintah kota Ternate harus segera membuat sejumlah regulasi yang memadai terutama dalam bentuk peraturan daerah (Perda) untuk memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang kuat bagi keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak ulayatnya. Pengakuan adat secara formal (ditandai lahirnya Perda dan sejumlah regulasi di level kota) sekaligus dapat difungsikan sebagai instrumen bargaining position yang mengatur peran dan posisi Kedaton Kesultanan Ternate sebagai penyangga dan pelindung utama keasatuan hukum masyarakat adat beserta hak-hak ulayatnya di kota Ternate.
Narasi Penutup
Pada akhirnya tujuan dari program pemberdayaan masyarakat adat ini dilaksanakan, dengan harapan agar meningkatkan kapasitas masyarakat Adat di Kota Ternate sebagai kelompok masyarakat termarginal sehingga secara mandiri mereka dapat meningkatkan posisi tawar dimata para decesion maker. Peningkatan kapasitas masyarakat menuntut hak-hak dasarnya baik secara perorangan maupun berkelompok akan makin terbuka lebar yang didasari atas peningkatan pengatahuan dan kesadaran hukum masyarakat Adat di Kota Ternate dan Maluku Utara pada umumnya. Dengan demikian, masyarakat adat dapat mewujudkan kedaulatannya sehingga mampu menjadi salah satu pilar masyarakat madani (civil society) yang berperan aktif dalam dinamika pemerintahan di tingkat lokal di era desentralisasi dan demokratisasi saat ini. Barangkali kita sepakat bahwa proses katalisasai pemberdayaan masyarakat adat Adat Ternate dan Maluku Kie Raha untuk memperjuangkan hak-hak ulayatnya mustahil dapat terwujud jika tidak pernah mendapat legitimasi politik dan hukum oleh legisltaif (DPRD) dan pihak eksekutif kita. Karena itu, sudah saatnya para decision making selaku pemangku kebijakan segera urun rembug (duduk bersama) dengan pihak kedaton-Kesultanan Ternate dan para tokoh-tokoh adat di lingkungan Kesultanan Ternate serta semua unsur stakeholder terkait untuk merumuskan kebijakan-kebijakan penguatan masyarakat adat. Para pemangku kebijakan harus memberikan pengakuan akan eksistensi kesatuan sistem pemerintahan adat Ternate dengan melakukan langkah-langkah konkrit dan strategis sebagaimana yang telah di ilustrasikan diatas. Dalam pandangan masyarakat Adat, Pemerintah daerah terutama pemerintha kota Ternate belum memperhatikan secara serius keberadaan masyarakat Adat Ternate beserta kepemilikan tanah-tanah Adatnya selama ini. Oleh sebab itu, jika pengakuan secara formal terhadap eksistensi masyarakat adat ini tidak dilakukan, maka saya masih menganggap visi Ternate sebagai kota Madani masih sebatas imajinasi dan jargon politik walikota dan wakil walikota belaka.

NELAYAN DAN ILLEGAL FISHING

Oleh;
King Faisal Sulaiman,
Dosen Fak. Hukum Unkhair & Legal Consultant

Sumber Daya Perikanan
Pemanfaatan potensi perikanan laut Indonesia ini walaupun telah mengalami berbagai peningkatan pada beberapa aspek, namun secara signifikan belum dapat memberi kekuatan dan peran yang lebih kuat terhadap pertumbuhan perekonomiaan dan peningkatan pendapatan masyarakat nelayan tradisional Indonesia. Secara nasional, luas perairan laut Indonesia diprediksi sebesar 5.8 juta km2 dengan garis pantai terpanjang di dunia sebesar 81.000 km dan gugusan pulau-pulau sebanyak 17.508. Dalam pandangan Dahuri (2001), jumlah potensi ikan yang ada diperkirakan sebanyak 6.26 juta ton pertahun yang dapat dikelola secara lestari dengan rincian sebanyak 4.4 juta ton dapat ditangkap di perairan Indonesia dan 1.86 juta ton dapat diperoleh dari perairan Zona Ekonomi Ekslusif. Upaya memanfaatkan sumberdaya perikanan laut secara optimal dan lestari, merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatan ekspor untuk menghasilkan devisa negara. Sumberdaya ikan merupakan milik bersama (common resources), sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat dimiliki secara perorangan, menyebabkan semua lapisan masyarakat berhak untuk memanfaatkan. Konsekuensinya, dapat menimbulkan berbagai macam persaingan antar pelaku, baik antar nelayan dengan nelayan, antar nelayan dan pengusaha, antar pengusaha dengan nelayan, dan antar pengusaha dengan pengusaha yang begitu ketat dan sulit dikendalikan.
Sampai dengan tahun 1999, potensi pemanfaatan sumberdaya ikan yang disebutkan di atas baru dapat dimanfaatkan sebesar 76 % dengan tingkat produksi sebesar 3.82 juta ton. Dalam rangka memacu peran sektor perikanan di masa yang akan datang, maka pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan telah menetapkan empat misi, yakni : (a) peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, perikanan dan kelautan khususnya nelayan dan petani ikan kecil, (b) peningkatan peran sektor perikanan dan kelautan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, (c) pemeliharaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan perairan, dan (d) terciptanya stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk hal itu, secara terpadu pembangunan perikanan dan kelautan selanjutnya menetapkan beberapa target riil yang akan diupayakan pencapaiannya, yaitu : (a) penerimaan devisa kelautan dan perikanan diharapkan dapat mencapai US$ 5 milyar pada tahun 2004, kemungkinan pada tahun 2006 mengalami surplus, (b) sumbangan terhadap PDB diharapkan mencapai 5%, (c) penerimaan negara dari bukan pajak (PNDP) penangkapan ikan akan mencapai Rp. 295 milyar serta PNBP penangkapan ikan di perairan ZEEI sebesar US$ 65 juta, (d) sumbangan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) sebesar US$ 120 juta dari kegiatan penangkapan ikan. Selain itu, ditargetkan peningkatan pemenuhan konsumsi ikan sebesar 21.93 kg/kapita/tahun serta penyerapan tenaga kerja sebesar 6.54 juta orang. Harapan-harapan tersebut memang tidaklah mudah dicapainya dengan berbagai macam permasalahan mendasar yang masih tersimpan. Keyakinan dan kekuatan yang digalang dari semua pihak, didasari sumberdaya perikanan laut Indonesia dengan keanekaragamann (diversity) yang melimpah dengan jumlah stok yang sangat besar akan tetap memberi harapan dan peluang yang sangat terbuka lebar untuk mewujudkan obsesi kita sebagai negara maritim terbesar.
Dalam tataran ini, upaya untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan laut secara optimal dan lestari masih terdapat banyak kendala yang dihadapi, terutama menyangkut permodalan dan sistem perbankan yang belum kondusif bagi investasi usaha penangkapan ikan di laut. Disamping itu, terdapat sejumlah kendala lain yang selama ini kerapkali terjadi diantaranya; (a) sistem perizinan yang kurang efisien dan cenderung mempersulit. (b) sistem charter kapal asing yang cenderung merupakan lahan bagi pencurian ikan di laut, (c) penangkapan ikan dengan menggunakan cara yang merusak sumberdaya dan habitatnya. Sistem pelayanan di pelabuhan perikanan yang dapat mengakibatkan biaya ekonomi tinggi dan tidak terpadunya rencana tata ruang di wilayah laut. Kendala lain yang tak kalah menarik adalah kurang tegasnya penegakan hukum dan peraturan di laut serta penyalahgunaan perizinan serta pengawasan kapal-kapal nelayan asing yang beroperasi di laut Indonesia.
Rona Nelayan Tradisional
Laut sangat berjasa dengan memberikan banyak kemudahan kepada kehidupan manusia pada umumnya. Pantai merupakan bagian dari laut yang menciptakan banyak keindahan alam dan memberikan manfaat bagi manusia. Banyak negara memanfaatkan pantainya sebagai objek wisata strategis yang mampu mengurangi angka pengangguran dan mendatangkan devisa. Didaerah pantai, dijumpai banyak hutan bakau, dan terumbu karang yang berfungsi melindungi garis pantai tropik dari badai. Tidak bisa dipungkiri seiring dengan perubahan musim, ternyata tidak sedikit aktivitas dan perilaku manusia mencemari dan merusak kehidupan dilaut. Pertanyaannya adalah, apa yang kita lakukan untuk menyelamatkan laut yang begitu memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia itu ? Sadar atau tidak, selama ini kita cenderung melakukan tindakan yang merusak ekologi dan ekosistem laut. Nelayan mengambil ikan secara berlebihan dengan cara yang tidak bertanggung jawab seperti dengan memakai jaring pukat harimau atau bahan peledak serta racun.
Serba-serbi kehidupan nelayan kita memang penuh dengan fantasi dan senantiasa berpacu dengan gelombang laut dan waktu. Semula nelayan dikategorikan sebagai seseorang yang pekerjaannya menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai dari pancing, jala dan jaring, bagan, bubu sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi dengan alat tangkap ikan, metode dan taktik penangkapan tertentu. Hal lain yang juga menarik adalah kondisi psikologis dan sosologis masyarakat nelayan, umumnya berada dalam lingkungan hidup sosial yang cenderung tidak memikirkan hari depannya terutama minimnya kesadaran untuk menyimpan sebagian pendapatan yang diperolehnya terutama pada saat musim ikan. Profil nelayan tradisional walaupun pada umumnya cukup terampil menggunakan peralatan yang dimilikinya namun sarana penangkapan ikan dan kemampuan yang sangat terbatas serta seringkali sulit untuk ditingkatkan ke arah yang lebih modern. Posisi ekonomi nelayan yang sangat rendah diakibatkan karena modal yang terbatas dan produktivitas yang rendah dengan hasil tangkapan ikan yang tidak menentu sebagai akibat pengaruh musim. Jaminan pemasaran ikan yang tidak menentu karena masih terdapatnya berbagai kendala dalam penentuan harga jual pada tingkat nelayan, turut menambah kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh nelayan tradisional kita.
Dalam kacamata Purwaka, kondisi seperti di atas ternyata merupakan peluang bagi tumbuh suburnya para tengkulak, dengan memanfaatkan berbagai macam kelemahan yang dimiliki para nelayan tradisional. Tengkulak tersebut merupakan salah satu mata rantai usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan, terutama dalam hal penyediaan sarana produksi dan permodalan yang diperlukan oleh nelayan. Pelayanan yang diberikan tengkulak kepada nelayan yang tidak berbelit-belit dan dapat dengan segera memberi layanan yang cepat, menjadikan nelayan semakin menyukai masuk pada lingkaran tersebut. Walaupun seringkali terdapat beberapa kerugian yang dialami oleh nelayan, terutama penentuan harga jual ikan hasil tangkapan nelayan yang hanya ditentukan secara sepihak oleh tengkulak sebagai pemberi modal. Untuk membangun kemampuan nelayan dalam hal penyediaan sarana dan permodalan dalam usaha penangkapan ikan, maka keterlibatan beberapa lembaga-lembaga keuangan sangat diperlukan seperti koperasi dan bank-bank pemberi kredit pada saat yang tepat. Selain itu juga diperlukan adanya suatu lembaga yang dapat ikut serta di dalam peningkatan kualitas SDM nelayan, dengan berbagai macam program diantaranya, pelatihan peningkatan keterampilan menangkap ikan, kemampuan berwirausaha yang baik dan benar serta beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat lainnya.
Di sisi lain, mengingat profil masyarakat nelayan pada umumnya masih berada pada tingkat dan posisi yang memprihatinkan, maka dipandang perlu adanya program-program kemitraan yang dapat secara langsung menyentuh pada kebutuhan yang diperlukan oleh nelayan. Eksistensi koperasi nelayan sampai saat ini belum banyak memainkan peran, terutama sebagai akibat dari rendahnya kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan dana-dana program pemberdayaan. Sebenarnya, pola kemitraan sangat diperlukan dari berbagai pihak dengan pola saling menguntungkan. Salah satu pola kemitraan yang dapat dikembangkan adalah dengan sistim pola inti rakyat dimana pengusaha sebagai mitra pembina dan nelayan sebagai mitra binaan. Program kemitraan seperti ini, dipandang dapat dikembangkan terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana, modal kerja nelayan, pembinaan managemen usaha, pemasaran, adopsi teknnologi tepat guna dengan perjanjian kerjasama kemitraan yang memihak pada nelayan tanpa merugikan mitra pembina. Dalam mengembangkan program kemitraan seperti ini, pemerintah harus dapat menjadi fasilitator dengan memberikan perlindungan dan jaminan keberpihakan kepada kelompok nelayan melalui program kerjasama tersebut sehingga dapat berlangsung langgeng dan berkembang dengan baik.

Otonomi Daerah & Illegal Fishing
Problem pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan suatu permasalahan tersendiri sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang tentang Otonomi Daerah ini, ditegaskan pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan penuh atas pengelolaan sumberdaya yang ada di dalam wilayah laut hingga 4 mil, sedangkan pemerintah daaerah propinsi mempunyai kewenangan untuk pengelolaan wilayah laut dan sumberdaya di dalamnya dari 12 mil menjadi hanya 8 mil dari garis batas 4 mil ke arah laut lepas. Penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah ini, juga berimplikasi pada penentuan batas-batas wilayah pengelolaan antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah kabupaten/kota yang berbatasan serta dengan pemerintah wilayah propinsi. Celakanya, hingga saat ini perangkat peraturan pelaksana undang-undang yang relevan dengan pengaturan sumber daya laut dan perikanan belum sepenuhnya diterbitkan termasuk pada tingkat pemerintah kabupaten/kota dalam bentuk peraturan daerah. Dengan demikian, dikhawatirkan jika tidak diantisipasi dengan baik akan menimbulkan kerentangan sosial di dalam masyarakat terutama para nelayan yang akan melakukan operasi penangkapan ikan di laut, karena aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan tradisional tidak dibatasi dengan batas-batas wilayah pengelolaan. Terlepas dari itu, kita harus sepakat bahwa nelayan Indonesia harus mampu menjadi tuan rumah di lautnya sendiri. Untuk mencapai hal tersebut, maka harus diupayakan mentransformasi para nelayan tradisonal kita menjadi nelayan modern yang tangguh untuk memanfaatkan semua potensi sumberdaya ikan yang ada. Langkah ini, secara intrinsik dapat memainkan peran ganda dalam membantu menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai praktek ilegal yang dilakukan di laut, terutama oleh nelayan-nelayan kapal asing yang masih berkeliaran menangkap ikan diperairan Indonesia tanpa dapat dihentikan.
Dalam konteks ini, akselarasi pembentukan pengadilan perikanan sebagai amanat UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan menjadi hal yang sangat urgen untuk diperhatikan. Seperti diketahui, keberadaan Pengadilan Perikanan yang untuk pertama kalinya dibentuk di Medan, Jakarta Utara, Pontianak, Bitung (Sulut) dan Tual (Maluku Tenggara). Pengadilan perikanan tersebut berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan tindak pidana di bidang perikanan. Terdapat beberapa point substansial dalam UU ini antara lain (a) Melalui peranan PPNS Perikanan, upaya penegakan hukum dan pengendalian penangkapan tersangka tindak pidana perikanan, mempercepat proses penanganan ABK, barang bukti, dan proses pemberkasan tindak pidana (b) Membangun kelembagaan pengawasan, melalui pembentukan satuan pengawasan di pelabuhan-pelabuhan perikanan, stasiun dan pos pengawas yang didukung dangan sarana Kapal Pengawas Hiu, Baracuda, Todak, Marlin yang ditopang dengan alat komunikasi serta Pusdal Departemen Kelautan dan Perikanan dan (d) Pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat, melaui pembentukan Pokmaswas di berbagai daerah dengan melibatkan unsur-unsur dalam masyarakat. Dari aspek pengawasan, memberikan peran yang besar kepada pengawas perikanan dangan didukung persenjataan dan kapal pengawas perikanan berserta kewenangannya. Diantara berbagai upaya yang digariskan tersebut, upaya penegakan hukum merupakan upaya yang cukup strategis.
Eksistensi Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang baru ini memberikan suatu harapan sekaligus tantangan cukup besar bagi masa depan pembangunan perikanan. Undang Undang ini telah memberikan suatu landasan hukum yang cukup kokoh bagi pembangunan perikanan pada umumnya dan penegakan hukum dibidang perikanan. Pengadilan perikanan, memiliki beberapa unsur kekhususan dan titik tekan yakni ; Jaksa Penuntut Umum disyaratkan memahami teknis dibidang perikanan dan pernah mengikuti diklat dibidang perikanan; Dimungkinkan adanya Hakim ad hoc yang berasal dari lingkungan perikanan, baik dari dunia akademi, instansi pemerintah maupun elemen, LSM. Disampngi itu, tenggang waktu penanganan tindak pidana perikanan mulai proses penyidikan hingga putusan pengadilan lebih kurang 2,5 bulan. Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Dengan adanya pengadilan perikanan yang secara khusus mengadili, memeriksa dan memutus perkara tindak pidana bidang perikanan ini diharapkan penanganan tindak pidana perikanan dapat diproses secara efektif, efisien dan professional. Dengan begitu kita tidak lagi memandang sektor perikanan sebagai sub sektor, akan tetapi perikanan merupakan sebuah mata rantai sistem bisnis perikanan yang diawali sejak pra produksi, produksi, pengolahan, sampai dangan pemasaran. Sekali lagi kehadiran Undang Undang ini telah memberikan keberpihakan yang jelas kepada nelayan kecil dan mengatur secara eksplisit dengan memberikan porsi seimbang antara penangkapan dan pembudidayaan ikan. Pengaturan sektor perikanan tidak hanya dilihat sebagai aspek ekonomi semata-mata, melainkan juga harus mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial budaya, dan sekaligus merefleksikan laut sebagai wadah pemersatu bangsa dalam bingkai NKRI.
Dilema Illegal Fishing
Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang dilakukan melalui kegiatan perikanan tangkap oleh masyarakat perikanan dan kelautan, dapat dilakukan secara lestari dan bersifat sustainable resource exploitation apabila didukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan. Menurut data FAO (Food and Agriculture Organization), laut mampu menghasilkan 100 juta ton ikan setiap tahun. Sekedar komparasi, pada 1988, nelayan di Dunia telah menangkap ikan 97,4 ton. Jumlah tersebut menurun tiap tahun bukan karena manusia mengurangi kegiatannya, melainkan persediaan ikan yang menipis, dikarenakan belum sempat melakukan recovery. Pemburu-pemburu ikan membinasakan spesies paus besar. Anjing laut dan penyu ditangkapi serampangan. Terumbu karang dirusak untuk dibuat cendera mata. Nelayan bahkan sering menangkap ikan yang berharga mahal, seperti kerapu dan sejumlah ikan karnivora lainnya. Padahal, ikan tersebut merupakan predator yang sangat dibutuhkan agar rantai makanan tetap berlangsung. Bila predator menghilang, maka rantai makanan akan terganggu. Kapal tanker minyak juga selalu seenaknya membuang limbah yang dapat mencemari lingkungan laut. Minyak dapat menghilangkan daya apung ikan-ikan dan binatang laut sehingga mereka akan mati. Tindakan illegal fishing dan cara menangkap ikan yang merusak, jauh lebih berbahaya bagi kelangsungan hidup biota laut. Nelayan komersial sering melemparkan jaring dengan sengaja atau tidak sehingga banyak ikan dan binatang laut lainnya yang terperangkap didalamnya. Penangkapan ikan dengan bahan peledak dapat menghancurkan terumbu karang. Tindakan ini dapat memusnahkan sebagian besar ekosistem laut. Selama bertahun-tahun manusia memang menyalahgunakan laut, menjarah ikannya, meracuni dengan limbah dan sampah, serta merusak pantainya. Padahal, berbagai ekosistem laut, misalnya laut tropik yang dangkal dan hangat, memberikan kondisi ideal bagi kehidupan karang.
Stastistik (data 1995) Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan, armada penangkapan ikan di Indonesia yang beroperasi di wilayah perairan laut Indonesia dapat dipilah menjadi pertama; nelayan tradisional (perahu tanpa motor sebesar 229.337 dan perahu motor tempel sebesar 77.779 buah), kedua; nelayan semi tradisional (perahu motor < 10 GT sebanyak 45.049), dan terakhir; nelayan semi industri dan industri ( kapal motor > 10 GT sebanyak 7.003 buah). Ternyata armada penangkapan ikan yang beroperasi di perairan Indonesia, terutama pada perairan pantai masih didominasi (85%) oleh armada penangkapan yang relatif kecil atau tradisional. Di lain pihak armada yang berukuran lebih besar untuk operasi penangkapan di luar perairan pantai (offshore) walaupun telah dilakukan penambahan dalam negeri tetap jumlahnya masih sangat kecil (15%). Investasi yang diperlukan termasuk relatif besar, menyebabkan perkembangannya sangat lamban, itupun didominasi oleh pengusaha asing bekerjasama dengan pengusaha dalam negeri. Beberapa informasi dan data juga menyebutkan, bahwa jumlah armada yang beroperasi di perairan Indonesia oleh kapal-kapal asing tanpa diketahui (tanpa surat izin usaha penangkapan) semakin meningkat, akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di laut dalam kekuasaan yurisdiksi Indonesia.
Hal demikian disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) Angkatan Laut Indonesia bersama dengan beberapa lembaga pengawasan yang terkait walaupun telah berusaha, namun karena jumlah armada yang digunakan untuk memantau luas wilayah perairan Indonesia yang demikian besar menyebabkan fungsi pengawasan dan penegakan hukum di laut tidak berjalan dengan baik, (2) Masih terdapat kelemahan dalam pemberian dan pengawasan izin usaha penangkapan ikan terutama kepada kapal-kapal asing, menyebabkan penambahan jumlah armada yang beroperasi oleh pemegang surat izin usaha penangkapan yang sama semakin meningkat tanpa dapat dimonitor dengan baik, dan (3) Hasil tangkapan yang diperoleh tidak menjadi keharusan untuk didaratkan pada salah satu Pangkalan Pendaratan Ikan atau Pelabuhan Perikanan di Indonesia sebelum dilakukan ekspor. Artinya di tengah laut sekalipun hasil tangkapan tersebut dapat langsung dibawa ke luar negeri. Kondisi ini menyebabkan jumlah dan jenis hasil tangkapan tidak dapat dipantau, dan menyebabkan kerugian negara yang demikian besar akibat pungutan pajak ekspor tidak didapatkan.
Pengadaan kapal-kapal penangkap ikan yang berukuran besar untuk tujuan dan daerah operasi penangkapan lepas pantai juga belum berjalan dengan baik atau belum mendapat perhatian yang serius. Bahkan sebelumnya terdapat peraturan/kebijakan yang melarang pembelian langsung dari luar kapal-kapal yang berukuran lebih besar, dengan maksud untuk memajukan industri perkapalan dalam negeri. Namun dalam kenyataannya industri perkapalan kita di Indonesia masih belum memiliki kemampuan yang besar untuk pengadaan tersebut, terutama disebabkan oleh kendala investasi dan permodalan. Untuk melakukan usaha pembinaan dalam peningkatan kegiatan perikanan tangkap, maka minimal terdapat lima komponen yang harus disinergikan secara bersama-sama untuk menghasilkan suatu proses percepatan pembangunan di bidang perikanan laut, khususnya perikanan tangkap, yakni: unit pemasaran, unit sarana produksi, unit prasaran penangkapan ikan, unit usaha penangkapannya sendiri dan unit pengolahan. Pembinaan tersebut, dapat dilakukan secara terpadu, terarah, dan sistematis yang difasilitasi oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan yang menunjang baik untuk program-program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang secara jelas dan konsisten.
Law Enforcement
Kebijakan disektor kelautan dan perikanan selama ini telah memberikan sumbangan dan kontribusi yang cukup bermakna bagi peningkatan devisa dan penyerapan tenaga kerja, namun juga menyisakan kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup memprihatinkan akibat praktek illegal fishing yang hingga saat ini belum dapat diberantas secara tuntas. Oleh karena itu, upaya untuk memerangi kejahatan illegal fishing harus mendapatkan skala prioritas. Saya nampaknya masih ragu membenarkan komentar dari Freddy Numberi bahwa, kerja keras aparat penegak hukum telah membawa hasil, terbukti dari kerugian negara yang terjadi akibat illegal fishing yang dari tahun ke tahun dapat ditekan dan telah dapat diselamatkan kerugian negara sebesar kurang lebih satu trilyun rupiah. Jika preposisi ini benar adanya, maka sungguh merupakan sebuah prestasi yang cukup membanggakan, kendtipun kita menyadari masih banyak terdapat kerugian negara akibat dari praktek illegal fishing tersebut.
Dunia Internasional telah menyatakan bahwa tindak pidana perikanan dan tindak pidana lainnya seperti pengangkatan benda berharga secara illegal, pencemaran laut dan perusakan ekosistem laut, pengeboman terumbu karang, perusakan hutan bakau, dan bahkan perampokan pada budidaya laut, wajib diperangi. Harus diakiui, salah satu faktor dominan terjadinya tindak pidana tersebut di atas adalah lemahnya penegakan hukum dan lambatnya penyelesaian kasus per kasus yang telah ditangani oleh aparat penegak hukum mulai dari proses penyidikan, penuntutan hingga putusan pengadilan yang bersifat in craht. Secara nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan RI telah merumuskan upaya-upaya upaya memerangi dan menanggulangi praktek-praktek illegal fishing dan tindak pidana lainnya di laut. Upaya-upaya yang dimaksud seperti : Penguatan armada nasional, melalui peningkatan armada perikanan terutama yang dimiliiliki oleh nelayan skala kecil sehingga mampu beroperasi di wilayah off shore, baik untuk kepentingan ekonomi maupun fungsi sebagai security belt. Pada saat yang sama secara bertahap tapi pasti juga diadakan optimalisasi intensitas penangkapan pada setiap wilayah perairan sesuai potensi wilayahnya; penerbitan izin bagi beroperasinya kapal-kapal ikan asing, yang saat ini telah diterbitkan Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.60/MEN/2001 tentang penataan terhadap status kapal asing atau eks asing melalui skema purchase on installment, joint venture, atau licensing, sepanjang masih terdapat surplus jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB); Pengembangan teknologi pengawasan, melalui pelaksanaan VMS dan sistem informasi terpadu (CDB) melalui jasa satelit serta patroli pengawasan dangan menggunakan Kapal Pengawas Perikanan pada perairan rawan terjadinya illegal fishing.
Memang penanggulangan atas praktek illegal fishing sampai saat ini masih menghadapi berbagai kendala baik teknis maupun nonteknis. Salah satu kendala yang menjadi penghambat utamanya adalah banyaknya oknum petugas baik sipil maupun aparat penegak hukum sendiri yang menjadi ”backing” para pelaku illegal fishing tersebut. Tidak mudah memang menyeret para pelaku illegal fishing terutama oleh nelayan-nelayan asing ke proses hukum yang fair. Kita masih ingat kasus penangkapan kapal ikan Filipina beberapa waktu yang lalu oleh Pol Airud Polda Maluku Utara. Kini berkas perkaranya masih terkatung-katung lantaran masih terdapat beda persepsi antara pihak kepolisian (Penyidik Pol. Airud Polda Malut) dan pihak Kajari Ternate soal penetapan para tersangkanya. Lebih jauh, praktik pungutan liar oknum aparat relatif menyebar merata di seluruh perairan nusantara. Selain itu, praktik pungutan liar pun kerap terjadi di instansi pemerintahan, misalnya pungli terhadap kegiatan proyek pembangunan kelautan dan perikanan. Menurut FAO, kerugian Indonesia akibat pencurian tersebut setiap tahunnya mencapai lebih dari 4 miliar dolar AS. Selain kerugian negara tersebut, praktik illegal fishing telah menimbulkan dampak-dampak yang lain seperti pertama, keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan-nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia menjadi terganggu. Hal ini disebabkan, nelayan asing selain melakukan pencurian ikan juga tak jarang menembaki nelayan-nelayan tradisional yang lagi melakukan penangkapan ikan di fishing ground yang sama. Kedua, sebagai dampak dari masalah pertama tadi, tak jarang terjadi konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan asing. Ketiga, penangkapan ikan menjadi tidak terkendali sehingga tidak dapat dipungkiri kalau ke depannya akan terjadi over fishing dan rusaknya ekosistem perairan tersebut.
Penutup
Pemerintah sulit mencegah pencurian ikan oleh kapal asing selama tidak adanya koordinasi antar institusi yang berfungsi menjadi pengawal laut dan pantai yang baik. Mestinya sekarang ini fungsi pengamanan laut dan pantai dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan berbagai institusi baik lintas instansi pemerintah mapun non pemerintah. Lemahnya sistem pengawasan dan pengamanan di laut menyebabkan praktek illegal fishing kian marajalela seolah tak terkendali diberbagai perairan Indonesia apalagi di wilayah perairan Maluku Utara. Secara nasional, kapal-kapal ikan yuang berbendera asing sering ditangkap keamanan laut akibat illegal fishing tetapi tidak jarang dilepas setelah membayar kepada oknum petugas dan begitupun ketika tertangkap oleh petugas laut dari kesatuan yang lain. Karena itu banyak kapal ikan yang tidak mengurus izin operasi yang mahal, sebab bisa dibayar di lautan lepas. Berdasarkan data dari Departemen Kelautan dan Perikanan jumlah kapal ikan berbendera asing yang beroperasi secara illegal di perairan Indonesia sudah mulai menurun. Dari sedikitnya mencapai 5.000 unit menjadi sekitar 4.000 unit setelah dilakukan upaya penertiban. Dari upaya penertiban melalui keharusan kapal asing mengurus izin operasional itu, maka kerugian negara akibat illegal fishing yang mencapai sekitar US$4 miliar dapat ditekan menjadi US$1 miliar atau setara dengan satu triliun rupiah. Salah satu penyebab kegiatan illegal fishing di beberapa kampung nelayan terutama di pesisir wilayah Halmahera karena lemahnya pengontrolan oleh aparat penegak hukum. Tingkat pengetahuan masyarakat nelayan yang rendah juga menjadi faktor pendukung dilegalkannya praktek illegal fishing. Angka praktek illegal fishing oleh nelayan lokal di Maluku Utara sebenarnya tidak terlalu signifikan bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan-nelayan asing. Bentuk-bentuk praktek illegal fishing di perairan Maluku Utara secara umum berupa menggunakan bahan peledak dan bahan kimia seperti bom dengan bahan berupa pupuk dalam berbgai jenis, Bius seperti Kalium Cianida-KCn dan memakai Tuba (Akar tuba) termasuk penangkapan ikan tanpa izin. Sebagai Upaya pemberantasan illegal fishing khususnya di propinsi Maluku Utara, maka pemerintah daerah mestinya tidak boleh pasif. Artinya pemerintah bekerjasama dengan aparat penegak hukum harus mengidentifikasi wilayah laut yang dikategorikan rawan terjadi illegal fishing di perairan Maluku Utara.
Memang penanganan komplesitas persolan illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan tradisional kita memerlukan sejumlah strategi kebijakan yang bersifat terpola secara sistematis. Dalam konteks ini, dibutuhkan strategi penanganan dampak kegiatan illegal fishing yang langsung mengarah pada pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan dan penguatan kelembagaan kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat watchdog atau lembaga social control. Disamping itu, pelaksanaan kegiatan penyuluhan dan pelatihan (Diklat) serta penegakkan hukum terutama penerapan sanksi hukum yang tegas alias tidak diskriminatif.
Kasus illegal fishing akhir-akhir ini marak terjadi di Maluku Utara. Proses hukum terhadap sejumlah kapal ikan berbendera Filipina dan Thailand yang rata-rata berbobot mati di atas 120 gross ton, hingga sekarang belum jelas juntrungannya. Dalam kerangka penegakan hukum terhadap pelaku Illegal fishing tersebut, maka straregi dan upaya konkret yang harus dilakukan oleh para aparat penegak hukum kita adalah tidak berlaku diskriminatif dalam proses hukum terhadap para pelaku Illegal fisihng. Disamping itu, para aparat yang diduga menjadi backing-an praktik illegal fishing juga harus ditindak dan proses sesuai hukum yang berlaku. Karena tanpa adanya upaya menyeret para “backing-an” tersebut, praktik illegal fishing di perairan kita akan semakin merajalela. Termasuk menindak tegas aparat yang melakukan pungutan liar terhadap kapal-kapal milik nelayan di seluruh perairan Maluku Utara. Kita harus mengangkat jempol pada gebrakan menteri Kehutanan yang telah mengungkapkan dan menyeret para cukong illegal logging ke pengadilan dalam upaya mengatasi pembalakan liar hutan kita. Langkah tersebut hendaknya juga menjadi contoh bagi aparat penegak hukum beserta pemerintah daerah Maluku Utara dalam upaya mengatasi pelaku illegal fishing di wilayah perairan Maluku Utara. Semoga***.

DEMOKRASI EKONOMI Vs KAPITALISME GLOBAL

King Faisal Sulaiman
Direktur LBH Malut


Amanat Konstitusi Yang Terlupakan
Harus disadari bahwa upaya untuk mewujudkan cita-cita demokrasi ekonomi yang berbasis pada kedaulatan rakyat atau kepentingan hajat hidup orang banyak tidaklah semudah dengan membalik telapak tangan. Perjuangan untuk menghadirkan demokrasi ekonomi sebagai suatu tujuan dari kemerdekaan bangsa kita merupakan perjuangan yang sesuai dengan spirit konstitusional karena sejalan dengan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni; (a) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (b) untuk memajukan kesejahteraan umum, (c) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam spektrum ini, kiranya benar apa yang dikatakan oleh Mohammad Hatta (the founding fathers) dalam surat kabar Harian Merdeka, 27 Oktober 1950, bahwa “yang kita inginkan ialah rakyat yang memiliki kedaulatan, bukan negara yang memiliki kedaulatan”.
Namun percikan pemikiran mulia mengenai konsep dasar demokrasi ekonomi Indonesia sebagaimana di ikhtiarkan oleh Sang Proklamator-Muhammad Hatta tersebut ternyata kontras dengan kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Di era globalisasi saat ini, kita harus tetap waspada terutama terhadap pengaruh paham kapitalisme global yang cenderung menyingkirkan paham nasionalisme. Kepentingan nasional Indonesia harus tetap kita utamakan sebagaimana negara-negara adidaya selalu mempertahankannya pula dengan berbagai dalih ekonomi ataupun politik dalam kondisi apapun. Pembangunan demokrasi ekonomi akan menjadi akar bagi penguatan fundamental pembangunan sistem ekonomi nasional dan menjadi dasar utama bagi realisasi nasionalisme ekonomi.
Sistem Ekonomi Dunia
Secara umum sistem perekonomian dunia dipengaruhi oleh dua sistem ekonomi yakni sistem ekonomi sosialis yang dibangun atas prinsip kolektivisme (kebersamaan-perspektif Marxisme) dan sistem ekenomi kapitalis yang didasari atas prinsip individualisme (perspektif liberalisme). Kedua sistem ini memiliki pandangan dan konsepsi yang berbeda mengenai model pembangunan atau setting perekonomian suatu negara. Sri Edi Swasono berpendapat, dalam pandangan penganut ekonomi sosialis, sistem ekonomi kapitalis hanya akan memberikan tempat pada kepentingan individu-individu yang dimonopoli oleh kaum pemodal-konglomerat sehingga distribusi keadilan ekonomi tidak merata dan hanya akan menciptakan jurang pemisah antara kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin. Kolektivisme (communitarianism) versus sosialis-marxisme, merefleksikan masyarakat (society) dengan paham kebersamaan (mutualism) dan kekeluargaan (brotherhood), berikut kepentingan-bersama (mutual-interest) yang menyertainya, ditempatkan pada kedudukan utama.
Lebih jauh, anggota-anggota masyarakat berada di bawah lindungan masyarakat sebagai makhluk-makhluk sosial (homo-socius) terangkum oleh suatu konsensus sosial (gesamt-akt) dan tunduk pada kaidah-kaidah sosial. Dari sinilah maka individual privacy setiap anggota masyarakat merupakan a societal license. Sistem ekonomi sosialis menghendaki kepemilikan bersama terhadap seluruh alat atau faktor- faktor produksi dan pendistribusiannya dimonopoli atau dikuasai negara (sistem ekonomi terpusat) atas nama kepentingan bersama-rakyat. Kepemilikan hak-hak individual kurang mendapat apresiasi secara layak. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa setiap organisasi ekonomi harus terdapat struktur dominasi negara dalam mengontrol dan mengatur secara sentralistik kegiatan perekonomian guna menciptakan pemerataan dalam distribusi keadilan ekonomi.
Paham individualisme merefleksikan individu-individu dengan paham perfect individual liberty, berikut pamrih pribadi (self-interest) yang menyertainya, ditempatkan pada kedudukan utama. Kemudian individu-individu ini bersepakat membentuk masyarakat (society) melalui suatu kontrak Sosial (social contract atau vertrag). Seperti diketahui, paham liberalisme (berdasar perfect individual liberty atau individualisme) masuk pula ke dalam kehidupan ekonomi dan menjadi sukma dasar dari ekonomi klasikal/neoklasikal. Adam Smith adalah “Nabi” atau patron saint-nya ekonomi liberalisme/neoliberalisme ini, yang menegaskan bahwa kepentingan-pribadi atau pamrih-pribadi (self-interest) adalah yang utama dalam kehidupan dan mekanisme ekonomi. Pasar mengatur mekanisme ekonomi dan pasar digerakkan oleh tangan-ajaib (an invisible-hand). Pasar diasumsikan sebagai omniscient dan omnipotent yang secara otomatis self-regulating dan self-correcting oleh adanya tangan ajaibnya Adam Smith.
Pasar dalam pengertian ini menjadi penemuan sosial terbesar dalam peradaban manusia, liberalisme dan individualisme menjadi sukma dari sistem ekonomi pasar-bebas yang lebih dikenal dengan istilah stelsel laissez-faire. Dari sinilah lahir kapitalisme dan selanjutnya berkembang menjadi imperialisme. Globalisasi neoliberalistik saat ini adalah topeng baru dari kapitalisme dan imperialisme. Namun dalam perjalanan yang panjang sejak bergemanya ide pasar-bebas Adam Smith, dalam kenyataannya pasar-bebas tenyata banyak gagal dalam peran yang diasumsikan selama ini. Apa yang terjadi justru berbagai market-failures, khususnya dalam menghadapi ketimpangan-ketimpangan struktural dalam upaya mencapai socio-economic equity, equality dan justice. Apa yang menjadi pencermatan kritis dari seorang Sri Edi Swasono diatas memang sejalan dengan realitas emprik yang dialami oleh bangsa kita. Pertanyaan yang perlu dijawab oleh anak bangsa adalah mengapa realitas kontemporer menunjukkan kecenderungan yang sungguh riskan dan paradoksal dari yang pernah dikonsepsikan para the faundhing fathers terdahulu ?
Rona Perekonomian Nasional
Dalam perspektif Sritua Arief, strategi pembangunan yang telah dilaksanakan sejak berdirinya Orde Baru sampai saat ini ialah strategi pembangunan yang berlandaskan pemikiran neoklasik kuno yang menumpukkan pertumbuhan ekonomi sebagai fokus utama pembangunan yaitu memaksimumkan produksi nasional. Faktor netral dalam strategi pembangunan ini ialah faktor modal dan teknologi. Berbagai bentuk rangsangan diberikan kepada kelompok yang paling dinamis di dalam masyarakat yaitu kelompok pengusaha untuk melaksanakan proses produksi dimana faktor modal dan teknologi memegang peranan yang paling menentukan. Pelaksanaan strategi pembangunan ini sama sekali tidak mempertimbangkan masalah-masalah sosial seperti penyerapan tenaga kerja yang luas, kemiskinan, distribusi pendapatan dan kekayaan, dan dampak teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Strategi pembangunan ini sama sekali tidak mempertimbangkan kelembagaan masyarakat yang ada. Dalam hal ini kelembagaan masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang given. Pemikiran yang melandasi strategi pembangunan ini mempostulasikan bahwa di dalam masyarakat akan terjadi suatu proses yang harmonis yang akan menyebarkan manfaat pertumbuhan ekonomi ke seluruh strata masyarakat melalui apa yang disebut mekanisme tetesan ke bawah (trickle-down mechanism). Mekanisme tetesan ke bawah dipercayai akan terjadi dalam situasi kelembagaan masyarakat yang ada, struktur sosial yang ada dan daya beli rakyat yang ada.
Menurutnya, ternyata pelaksanaan strategi pembangunan ini tidak menimbulkan tetesan ke bawah. Apa yang terjadi ialah tetesan ke atas (trickle-up) hasil-hasil pertumbuhan ekonomi. Proses ekonomi Indonesia ditandai dengan ciri yaitu yang kuat bertambah kuat dan yang lemah bertambah lemah. Hubungan yang eksploitatif terjadi antara unit-unit usaha besar dengan unit-unit usaha kecil terutama di sektor pertanian. Hubungan yang eksploitatif terjadi antara unit-unit ekonomi formal dengan sektor informal. Hubungan yang eksploitatif terjadi terhadap para konsumen melalui penentuan harga barang diatas kewajaran. Selanjutnya, hubungan yang eksploitatif terjadi antara pihak pengusaha atau pemodal terhadap kaum buruh. Keseluruhan proses eksploitasi ini menghasilkan apa yang disebut rente ekonomi.
Vrankeinstein Kapitalisme Global;
Sistem ekonomi kapitalis menginginkan kepemilikan modal sepenuhnya diserahkan kepada hasil seleksi pasar yang terjadi dalam bentuk liberalisasi-persaingan bebas yang ditandai dengan bercokolnya dominasi multinational corporation dan trans national corporation. Konsekuwensinya, kepentingan individu-individu menjadi faktor determinan dalam sistem ekonomi kapitalis yang mengarah pada mekanisme ekonomi pasar. Sistem perekonomian Indonesia dalam konteks kontomporer, dapat dikatakan telah terjebak dalam perangkap sistem kapitalisme global yang mendasarkan diri pada paham liberalisme tersebut. Sadar atau tidak sadar, sistem perekonomian nasional telah didominasi oleh pemikiran ekonomi kapitalisme abad ke-19 yang kini lebih dikenal sebagai paham neoliberalisme. Simbol supremsi kapitalisme global adalah eksistensi World Bank, IMF, dan WTO. Ketiga lembaga ini menjadi ikon kebanggaan negara-negara ekonomi kapitalis (liberalis) terutama Amerika serikat sebagai kreator dan pemuja utama paham yang telah berhasil menjajah dan mendikte sebagian besar sistem perekonomian dunia saat ini, tak terkecuali Indonoesia.
Kini kehadiran ketiga lembaga tersebut, bertindak seolah-olah selaku menteri keuangan internasional dan berkembang menjadi imperealis alias predator ekonomi dunia. Paham neoliberalisme sebenarnya merupakan hasil metamorfosa dari paham ekonomi kapital klasik versus Adam Smith. Paham ini pada prinsipnya menghendaki berkurangnya intervensi negara dalam mengatur roda perekonomian dan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar yang dikuasai oleh individu-individu. Hal ini terbukti dengan makin kokohnya kelompok pemupuk rente ekonomi dalam sistem perekonomian nasional saat ini. Kelompok pemupuk rente ekonomi ini, pada umumnya para konglomerat yang hanya mengejar profit sebesar-besarnya tanpa memperhatikan aspek kemiskinan dan penderitaan rakyat banyak. Para pelaku ekonomi yang tergolong dalam kelompok ini lazimnya berkonsipirasi dengan elit kekuasaan (oligarki politik-ekonomi) dan para birokrat pragmatis. Konsipirasi antara penguasa versus kaum pemodal-konglomerat tersebut mirip jaringan kartel yang bertujuan untuk meraih rente ekonomi semaksimum mungkin dari rakyat banyak yang merupakan kelas konsumen, produsen kecil, dan petani, nelayan dan kaum buruh tersebut.
Urgensi Demokrasi Ekonomi
Demokrasi ekonomi sejatinya dapat diterapkan dalam perekonomian nasional tanpa harus mempergunjingkan secara berlebihan peran dan mekanisme pasar. Hal terpenting yang harus diketahui ialah unsur pokok dalam perekonomian nasional adalah senantiasa bertumpu pada Pancasila dan UUD 1945 yakni bermoral, manusiawi, nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial. Prinsip-prinsip ini tidak sejalan dengan paham kapitalis-individualisme yang diajarkan oleh Adam Smith dan pengikut setianya, juga tidak seirama dengan paham sosialis-kolektivisme yang diajarkan oleh Marx dan pengikutnya. Karena itu, kedua paham tersebut tidak bisa diterapkan dalam sistem perekonomian nasional. Menurut Mubyarto, ekonomi Pancasila berbeda dengan sistim ekonomi kapitalis maupun komunis (marxist) karena dijiwai oleh ideologi Pancasila, yaitu sistim ekonomi berdasarkan azas kekeluargaan dan kegotong-royongan nasional dengan ciri: (a) Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral ; (b) Penciptaan keadaan pemerataan sosial (egalitarianism) sesuai azas kemanusiaan ; (c) Prioritas pada penciptaan perekonomian nasional yang tangguh ; (d) Koperasi merupakan soko guru perekonomian, dan bentuk paling konkrit dari usaha bersama; (e) Imbangan antara perencanaan nasional dan desentralisasi untuk menjamin keadilan ekonomi dan sosial.
Dalam mewujudkan demokrasi ekonomi, harus dibuka lebar partisipasi masyarakat Indonesia, memperhitungkan dan memanfaatkan kelembagaan-kelembagaan ekonomi kerakyatan serta harus sekuat mungkin mengarahkannya ke arah kemakmuran rakyat dan berkeadilan sosial. Kedaulatan ekonomi tidak dapat dilepaskan kepada mekanisme pasar semata, karena negara ini dibangun diatas cita-cita nasional yang tercermin dalam UUD 1945 dan idiologi Pancasila. Namun, mekanisme pasar seutuhnya, tidak mungkin menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasar yang bebas cenderung akan memperkuat kedudukan kelompok pemodal besar (konglomerat), sehingga menjurus ke arah peran serta dan penguasaan pasar oleh jumlah orang yang terbatas (unsur monopoli) oleh kalangan pemodal besar dengan sejumlah hak-hak privellege-nya.
Perlu UU Demokrasi Ekonomi
Hakikat dari demokrasi ekonomi ialah bahwa produksi yang dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat diutamakan dan bukan kemakmuran orang-seorang sebab perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi menghendaki kemakmuran bagi semua orang. Oleh sebab itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang yang berkuasa dan rakyat banyak akan ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh di tangan orang-seorang. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, oleh karennya harus dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demokrasi ekonomi Indonesia tidak harus sepenuhnya diartikan sebagai berlakunya prinsip nasionalisasi semua asset negara tanpa terkecuali dan tidak ada tempat bagi investor asing. Realitas empirik menunjukan Pertama, upaya penciptaan sistem perekonomian nasional yang tangguh, demokratis dan lebih berkeadilan sosial masih belum tercapai secara baik. Perekonomian nasional masih memberikan tempat pada kepentingan individu-individu yang dimonopoli oleh kaum pemodal-konglomerat sehingga distribusi keadilan ekonomi tidak merata dimana rakyat banyak masih menjadi korban eksploitasi ekonomi oleh kelompok kaum pemodal besar tersebut.
Kedua, proses ekonomi di Indonesia sampai saat ini masih jauh dari cita-cita nasional dan tak ubahnya merupakan replika proses eksploitasi ekonomi yang telah ada sejak zaman kolonialisme Belanda. Hal ini dikarenakan, masih menguatnya pengaruh paham kapitalsme global (ekonomi pasar bebas) yang melihat seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi dan sangat antipati terhadap semangat nasionalisasi ekonomi atas bentuk-bentuk privatisasi yang merugikan rakyat. Ketiga, masih tumbuh suburnya spraktek monopoli oleh kelompok ekonomi pemodal besar terhadap golongan ekonomi lemah yang terbangun dalam sistem oligarki ekonomi dan ditopang oleh sistem oligarki politik sehingga telah mendorong terciptanya kelompok rente ekonomi yang menguasai sektor-sektor perekenomian penting dan strategis milik negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Hal ini jelas sangat bertolak belakang dengan apa yang telah diformulasikan oleh the founding fathers Republik Indonesia yaitu pelaksanaan demokrasi ekonomi yang berbasis pada kedaulatan rakyat dan berintikan Pancasila dan UUD 1945. Disinilah letak basis argumentasi mengapa pembentukan Undang-undang tentang Demokrasi Ekonomi menjadi penting untuk segera diwujukan. Dibentuknya Undang-undang tentang Demokrasi Ekonomi disamping sebagai amanat konstitusi, juga pada akhirnya dapat menjadi instrumen hukum yang kokoh bagi pemerintah dalam membangun sistem perekonomian nasional kita. Dengan begitu arah dan strategi pembangunan ekonomi nasional kita menjadi jelas dan tidak lagi mengimpor dan menjadikan ekonomi liberal-kapitalis sebagai kiblat, karena sesungguhnya ekonomi kapitalisme global bukanlah sinterklas penyelamat ekonomi bangsa. ***

Kisruh DPT Pemilu 2009; Siapa Yang Mengambil Untung ?

By;
King Faisal Sulaiman

Direktur LBH Malut

Menurut data resmi KPU, jumlah pemilih tetap pada pemilu kali ini sebanyak 171.068.667 orang, masing- masing 169.558.775 pemilih di dalam negeri dan 1.509.892 pemilih di luar negeri. Pendataan Penduduk dan Pemilih Potensial (DP4) yang menjadi data awal bagi KPU/KPUD dalam menetapkan Daftar Pemilih Tetap kini kian dipertanyakan keakuratannya lantaran DPT diberbagai daerah di Indonesia terlebih di Jawa Timur justru hingga kini masih menjadi polemik nasional yang belum mampu dituntaskan oleh KPU sebagai pemilik hajatan Pemilu 2009. Problem Daftar Pemilih Tetap atau DPT saat ini merupakan crucial point dari upaya untuk mewujudkan pelaksanaan pemilu yang Luber dan Jurdil, Bagi saya, kekisruhan DPT saat ini merupakan buntut amburadulnya sistem kependudukan dan catatan sipil di Indonesia yang berada dalam kendali Mendagri. Seharusnya KPU yang melakukan pemuktahiran data DPT dengan melibatkan tim asistensi yang berasal dari tenaga ahli yang berkompetensi soal pemuktahiran dan validasi data DPT tersebut. Masalah DPT ini, bukan hanya di Jatim, di Kepulauan Riau misalnya terdapat satu Kepala Keluarga mengaku alamat rumahnya digunakan oleh lebih dari 50 calon pemilih. Padahal penghuni rumahnya hanya lima orang. Persoalan hampir serupa juga keluhkan oleh KPUD-KPUD Provinsi/Kabupaten/Kota yang terjadi hampir merata dari Sabang sampai Merauke terlebih di Maluku Utara.
Kekisruhan DPT di Maluku Utara sebagaimana temuan yang dilansir beberapa waktu yang lalu oleh Panwas Propinsi Malut maupun Kota Ternate boleh jadi menjadi kenyataan pada hari pencontrengan besok. Jika diasumsikan, masalah DPT ini, diibartkan sebuah pesta pernikahan di Bastiong atau di Tidore, mungkin tetap bisa berlangsung meriah karena dihadiri banyak tamu. Tapi begitu pesta usai, banyak orang kecewa atau bahkan marah, lantaran tidak kebagian makanan. Penyebabnya bisa lantaran ada banyak tamu tak diundang yang mendadak hadir pada hari “H”. Atau bisa juga mereka yang seharusnya diundang justru tidak mendapat undangan tapi tetap dianggap menghadiri pesta itu. Saya yakin, ilustrasi sederhana ini bisa terjadi pada Pemilu 9 April 2009 besok tidak segera diantisipasi dengan baik.



Rawan Gugatan Pasca Pemilu
Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) diharapkan segera merespon dugaan terjadinya manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT), karena jika tidak ada kepastian perbaikan DPT, hasil pemilu berpotensi menimbulkan gugatan dari partai politik (Parpol) peserta Pemilu 2009 terhadap penetapan hasil Pemilu oleh KPU. Artinya bilamana tidak ada respon positif dari KPU untuk melakukan verifikasi terhadap DPT, tentu akan berakibat banyak parpol yang tidak mengakui legitimasi hasil Pemilu 2009. Oleh karenai itu, agar KPU dapat dipercaya kembali oleh parpol untuk melaksanakan pemilu secara transparan dan akuntabel, KPU harus bertindak tegas untuk melakukan proses hukum terhadap para pelaku yang terbukti melakkan penggelembungan daftar DPT atau memanipulasi daftar DPT-penggandaan fiktif tersebut. Kasus penggelembungan daftar DPT ini, dilihat dari perspektif UU No.10/2008 tentang Pemilu masuk dalam kategori pelanggaran pidana Pemilu. Seperti diketahui, manipulasi DPT yang terjadi di Jatim dilakukan dengan cara merekayasa Nomor Induk Kependudukan (NIK). Manipulasi itu kemudian menghasilkan nama-nama pemilih fiktif, penghilangan nama dalam DPT yang sebenarnya, pemilih di bawah umur dan lain-lain. Rekayasa itu tidak mungkin hanya kelalaian, namun lebih kepada hasil rekayasa terstruktur, sistemik dan dilakukan dengan melibatkan oknum yang menguasai teknologi informasi (IT), serta memahami statistik.
Konfigurasi persaingan politik saat ini, memungkinkan DPT bermasalah rentan untuk dimanfaatkan sejumlah kelompok atau kandidat pada pemilu legislatif dan pilpres mendatang. Memang indikasi kecurangan dalam kasus DPT Jatim dan di daerah-daerah lain di Indonesia membawa dampak serius terhadap persiapan dan kesiapan demi suksesnya pencoblosan tanggal 9 April 2009. Sebagai langkah antisipatif, KPU harus mengambil langkah-langkah penyelesaian dengan turut melibatkan pula tim asistensi untuk memuktahirkan dan validasi daftar pemilih tetap (DPT). KPU juga harus mempublisir kondisi terakhir tingkat ketersediaan logistik di tingkat kabupaten/kota, dan memastikan semuanya tiba di tempat pemungutan suara (TPS) satu hari sebelum pemungutan suara. Pelaksanaan Pemilu Legislatif harus tepat waktu agar transisi kekuasaan bisa berjalan mulus.




Pesta demokrasi kali ini mungkin saja bisa berjalan sesuai jadwal yang sudah ditetapkan KPU yakni 9 April 2009, namun kualitasnya agak meragukan. Buruknya kualitas penyelenggaraan sudah tentu berimplikasi langsung pada out put-hasilnya. Para calon wakil rakyat yang keluar sebagai “pemenang” bisa saja meragukan secara kualitas dan integritas. Bisa kita bayangkan, apa yang terjadi pada bangsa ini bila dipercayakan kepada orang-orang yang tidak kredibel dan tidak kapabel. Oleh sebab itu, KPU dan KPUD harus segera memacu kinerja lebih intensif lagi untuk membereskan kekisruhan daftar DPT tersebut. Jangan sampai KPU sebagai “penyelenggara pesta demokrasi akbar ini justru menyimpan bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu, karena taruhannya adalah nasib bangsa lima tahun mendatang.