Selasa, 28 April 2009

CARUT MARUT LEGISLASI RUU DI SENAYAN



CARUT MARUT LEGISLASI RUU DI SENAYAN
King Faisal Sulaiman
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Malut
A. Abstraksi Umum
Sebagaimana diketahui, politik hukum yang menyangkut rencana pembangunan materi hukum di Indonesia pada saat ini termuat di dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Artinya pemetaan rencana tentang undang-undang apa yang akan dibuat dalam periode tertentu dapat dilihat pada Prolegnas tersebut. Program legislasi nasional (Prolegnas) merupakan proses penting dalam perencanaan penyusunan undang-undang. Melalui Prolegnas, undang-undang yang akan diproritaskan dalam periode kerja DPR dan DPD serta Pemerintah akan diformulasikan secara sistematis dan sejalan dengan kebutuhan produk hukum secara nasional. Secara operasional Prolegnas memuat daftar rancangan undang-undang yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional.
Program legislasi nasional (Prolegnas) merupakan grand design utama di bidang produk hukum yang dilakukan oleh DPR dan DPD serta Pemerintah. Program legislasi nasional (Prolegnas) secara sempit bisa diartikan sebagai penyusunan suatu daftar materi perundang-undangan. Program legislasi nasional (Prolegnas) sebagai bagian pembangunan hukum nasional adalah instrumen perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan tingkat pusat yang memuat skala prioritas program legislasi Jangka Menengah dan Tahunan yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI bersama Pemerintah sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Dalam kerangka ini, Prolegnas tidak semata-mata merupakan daftar keinginan penyusunan rancangan undang-undang (RUU), tapi benar-benar bersentuhan dengan spirit pembangunan hukum secara komprehensif.
Penyusunan Prolegnas sebenarnya telah melalui berbagai kajian oleh DPR dan Pemerintah, namun Prolegnas sayangnya dalam beberapa sisi tidak memperhatikan aspirasi dari instansi terkait seperti DPD dan stakeholder lain. Akibatnya, beberapa RUU yang dalam prosesnya, sejatinya bermitra pada kondisi obyektif masyarakat justru meninggalkan aspirasi masyarakat itu sendiri. Dalam tataran ini, sudah selayaknya pembuatan produk hukum berupa Undang-undang pada level pusat harus juga mempertimbangkan dan mengakomodir kebutuhan riil di daerah-daerah dan aspirasi yang berkembang agar sejalan dengan tuntutan pembangunan di daerah.
B. Potret Legislasi RUU oleh DPR
Seperti kita ketahui, pasca amandemen UUD 1945 terjadi perubahan ekstrem terhadap fungsi legislasi DPR. Jika sebelum amandemen UUD 1945, DPR berdasarkan rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) hanya mempunyai fungsi legislasi yang lemah dalam proses pembentukan UU. Namun, pasca amandemen pertama UUD 1945, rumusan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) mengalami perubahan yang sangat signifikan sehingga berimplikasi pada menempatkan DPR sebagai lembaga utama pemegang kekuasaan pembuatan Undang-undang. Selain kedua pasal tersebut, dominasi DPR dalam proses legislasi diperkuat dengan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Pada awal Februari 2005, DPR dan pemerintah menyetujui Prolegnas yang memuat daftar 284 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan diselesaikan pada periode DPR hasil Pemilu 2004. Persetujuan ini menimbulkan persoalan karena faktanya acap-kali tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam penyusunan RUU tersebut.
Secara prosedural normatif, penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan, yaitu Badan Legislasi DPR. Dalam proses tersebut, Badan Legislasi dapat meminta atau memperoleh bahan atau masukan dari lembaga DPD dan masyarakat terutama para penggiat social (Ornop/NGO) serta sejumlah stakeholder terkait. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Legislasi, dikoordinasikan dengan pemerintah bukan dengan DPD melalui menteri yang terkait dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas tersebut.
Dengan demikian, posisi dilematis DPD dalam proses legislasi RUU oleh DPR, hanyalah sebatas berpartisipasi dalam tahapan pengajuan RUU dan memberikan masukan kepada DPR, itupun jikalau diminta oleh DPR. Artinya, tidak ada unsur imperatif (keharusan) dalam partisipasi atau pemberian masukan dan pengajuan sebuah RUU oleh DPD kepada DPR. Lebih jauh, setiap rancangan yang diajukan oleh DPR, Presiden, dan DPD terlebih dahulu harus dimasukkan dalam program negislasi Nasional. Sebab pembentukan program legislasi nasional merupakan perintah UU No.10 tahun 2004, dimana perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu program legislasi nasional. Kemudian, dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar program legislasi nasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (3) UU No.10 tahun 2004. Ketentuan pada Pasal 17 ayat (3) tersebut, tidak berlaku bagi rancangan undang-undang yang berasal dari DPD di luar program legislasi nasional. Sekali lagi DPD tidak diberikan sama sekali kewenangan mutlak untuk mengajukan RUU terlebih dalam kondisi yang memerlukan pengaturan yang tidak tercantum dalam program legislasi nasional (emergency).

C.Potret Legislasi RUU oleh DPD
Secara normatif, Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal yang sama ditegaskan Pasal 42 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yakni, Lembaga DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini juga ditegaskan kembali dalam Pasal 17 ayat (2) UU 10/2004 terkait pengajuan RUU dalam konteks persiapan pembentukan undang-undang.
Dengan demikian, jelas bahwa lembaga DPD berwenang pula mengajukan rancangan Undang-undang (RUU) tetapi terbatas pada isu-isu sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 22D UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan yang terkait. Mengenai teknis penyiapan dan penyusunan RUU oleh DPD, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Pasal 16 ayat (1) menegaskan bahwa penyusunan Prolegnas dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi yakni Badan Legislasi (Baleg) DPR. Mengingat pentingnya koordinasi yang terpadu antara DPR dan DPD maka meskipun kecil peluang DPD untuk ikut serta dalam tahapan perencanaan Prolegnas dikarenakan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 diatas, namun mestinya ada mekanisme lebih lanjut pembahasan secara integratif yang mempertemukan Badan Legislasi DPR dengan Panitia Perancang Undang-Undang DPD dalam kaitan penyusunan program legislasi nasional tersebut.
Persamaan mekanisme penyusunan RUU oleh DPD dan DPR terletak pada keharusan untuk senantiasa berada dalam koridor program legislasi nasional. Hal ini tercermin dalam Pasal 17 ayat (1) UU 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa RUU, baik yang berasal dari DPR, presiden, maupun DPD harus disusun berdasarkan Program legislasi nasional (Prolegnas). Dengan demikian setiap RUU yang diusulkan oleh DPD harus terdapat dalam program legislasi nasional. Pasal 17 ayat (1) UU 10 Tahun 2004, merupakan ketentuan mengenai tahap pembentukan sebuah rancangan undang-undang. Sedangkan dalam tahap perencanaan yang diatur dalam Pasal 15 dan 16 UU No.10 Tahun 2004, dan ternyata DPD tidak dimasukkan dalam proses perencanaan. Hal ini merupakan salah satu kelemahan mendasar dari UU No. 10 Tahun 2004 tersebut. Kelemahan lainnya ialah sebagaimana penegasan Pasal 17 ayat (3) UU ini, yang mengatakan bahwa dalam keadaan tertentu DPR atau presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas sementara peluang penambahan pengusulan RUU ternyata tidak diberikan kepada DPD.
Adapun mekanisme Pengajuan RUU oleh DPD, disampaikan kepada DPR melalui alat kelengkapannya, yaitu Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk kemudian menjadi bagian dari bahan pembahasan penyusunan Prolegnas oleh DPR dan Pemerintah. Dengan demikian setiap RUU yang diusulkan oleh DPD harus terdapat dalam program legislasi nasional. Dengan begitu, DPD hanya bisa menyiapkan dan menyusun sejumlah program dan prioritas RUU untuk selanjutnya diajukan ke DPR sebagai bahan penyusunan Prolegnas. Melalui usul tersebut, diharapkan aspirasi dan kepentingan daerah dapat diakomodasi dan menjadi bagian dalam Prolegnas. Kewenangan yang terbatas, memungkinkan DPD hanya dapat mendukung upaya-upaya yang tengah dan akan dilakukan oleh Badan Legislasi DPR untuk menentukan parameter penentuan prioritas agar daftar undang-undang dalam Prolegnas dapat benar-benar menjadi sebuah “program legislasi” untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk Undang-undang.
D. Penutup
Program legislasi nasional (Prolegnas) adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. Oleh sebab itu dalam pembentukan sebuah RUU di tingkat pusat harus juga melihat kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi yang berkembang di daerah. Fakta menunjukan ruang keterllibatan DPD dalam proses legislasi nasional (penyusuanan RUU) masih mengalami penghimpitan dan kendala yang justru berasal dari konstitusi kita maupun peraturan perundang-undangan yang relevan. Walaupun wewenang DPD pada saat ini terbatas terlebih dalam pengajuan sebuah RUU, namun keberadaannya sebagai perwakilan provinsi-provinsi dalam pengambilan kebijakan di tingkat pusat sangatlah penting dalam kerangka checks and balances terhadap berbagai kebijkan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Kedepan, diperlukan koordinasi lintas sektoral secara terpadu dan maksimal antara DPR dan DPD serta Pemerintah dalam penyiapan sekaligus penyusunan RUU untuk selanjut dibahas secara bersama sebelum menjadi sebuah produk Undang-undang. Karena itu, sangat relevan jika revitalisasi peran dan fungsi lembaga DPD terlebih dalam pengarustamaan fungsi legislasi yang dimiliki DPD menjadi penting untuk diprioritaskan. Konsekuensinya, perlu dilakukan constitutional review terhadap UUD 1945 khususnya terkait dengan optimalisasi fungsi, kedudukan, dan kewenangan konstitusional DPD. Langkah Legislative review juga harus dilakukan terhadap Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan produk perundangan lainnya yang terkait dengan lokus kewenangan proses legislasi RUU oleh DPD yang setara sebagaimana yang diperankan oleh lembaga DPR selama ini. Semoga***








DILEMA CALON PRESIDEN TUNGGAL



DILEMA CALON PRESIDEN TUNGGAL
King Faisal Sulaiman SH
Dosen Hukum Unkhair Ternate & Direktur LBH Malut

Mari kita lupakan sejenak kekisruhan atau amburadulnya Daftar Pemilih Tetap atau DPT pada pemilu legislatif (pileg) dan banyaknya caleg-caleg stress dengan macam-macam keanehanya akibat gagal menjadi wakil rakyat. Saya ingin mengajak perhatian kita tertuju pada hingar bingar konfigurasi politik jilid dua yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang saat ini sudah terasa getarannya hingga ke pelosok nusantara. Sederet tokoh atau elit politik yang kian menunjukkan taring politiknya, sebut saja Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah dipastikan sebagai Capres dari Partai Demokrat, kemudian ada Yusuf Kalla yang pasca perceraiannya dengan SBY kini sudah dikukuhkan lewat Rapimnas khusus partai Golkar sebagai calon Presiden. Disisi lain ada Megawati Soekarno Putri, yang kini makin memantapkan diri sebagai kandidat calon Presiden RI 2009-2014 dari Partai berlambang moncong Putih. Ketiga calon kuat Presiden tersebut dan ditambah tokoh-tokoh nasional lain seperti Prabowo Subianto (Gerindra), Wiranto (Hanura), Rizal Ramli dan Dedy Mizwar (capres alternatif dari sejumlah Partai Gurem), sudah mulai sibuk dan intens melakukan manuver-manuver politik. Mereka kini terus membangun komunikasi politik lintas elit partai politik yang ada untuk menentukan siapa cawapresnya masing-masing sekaligus membangun peta koalisi yang sebenarnya.
Ada pertanyaan yang mungkin terlupakan oleh kita, yakni apa jadinya jika dalam Pemilu Presiden (Pilpres) kali ini ternyata hanya terdapat satu pasangan calon yang didaftarkan Parpol pengusungnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU)? lalu dimana letak dasar hukumnya ? Pertanyaan-pertanyaan ini, menarik untuk dicari jawabannya. Kita tentu berharap hal ini tidak akan terjadi, namun dengan melihat pasang-surut dinamika Pencapresan yang berkembang saat ini, terlebih adanya ancaman boikot pemilu presiden yang dilontarkan oleh kelompok Teuku Umar, dimotori PDIP dan sejumlah partai politik lainnya akibat buruknya kualitas Pemilu legislatif (kisruh DPT) kemarin, maka bisa jadi kemungkinan-kemungkinan munculnya calon presiden tunggal tak terelakkan. Terlebih, dalam aturan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, tidak ada satupun ketentuan yang mengatur soal calon tunggal pemilihan Presiden. Pada segmen lain, UU No. 42 Tahun 2008 juga tidak sama sekali mengharuskan (tidak ada kewajiban) bahwa dalam pemilu presiden setidak-tidaknya harus ada dua pasangan calon yang bertarung.
Saya melihat para pembuat UU ini terlalu over confident (terlalu Pede) bahwa pasti terdapat lebih dari satu bakal pasangan calon alias minimal dua pasangan calon dalam Pilpres yang akan maju bertarung. Indikasi kearah pengasumsian bahwa bakal ada minimal dua pasangan calon yang berlaga, bisa kita telisik pada fase dan etape administratif sebagaimana diatur dalam UU Pilpres ini yang dimulai dari tahapan penyusunan daftar pemilih; kemudian pendaftran bakal pasangan calon; penetapan pasangan calon; masa kampanye; masa tenang; pengumutan dan penghitungan suara dan dilanjutkan dengan penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden serta terakhir adalah acara pengambilan dan pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden terpilih. Lebih jauh, ketentuan pada Pasal 21 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa KPU menetapkan dalam sidang pleno KPU tertutup dan mengumumkan nama-nama Pasangan Calon yang telah memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, 1 (satu) hari setelah selesai verifikasi. Secara implisit, argumen normatif yang dibangun dibalik bunyi Pasal ini adalah bahwa sudah pasti terdapat pasangan calon dalam Pilpres bulan Juli mendatang dengan penggunaan frasa “mengumumkan nama-nama pasangan calon”.
Selanjutnya ada klausula (Pasal 22) yang mengatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik tidak diperkenankan menarik calonnya dan atau pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU sebab konsekuensinya, partai politik atau gabungan partai politik tersebut tidak dapat mengusulkan calon pengganti. Demikian juga, salah seorang dari pasangan calon atau pasangan calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU. Bilamana pasangan calon atau salah seorang dari pasangan calon mengundurkan diri, partai politik atau gabungan partai politik yang mencalonkannya tidak dapat mengusulkan calon pengganti. Pada sisi lain, ada ketentuan (lihat Pasal 24) bahwa dalam hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya Kampanye sampai hari pemungutan suara sehingga jumlah pasangan calon kurang dari dua pasangan, tahapan pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditunda oleh KPU paling lama 30 (tiga puluh) hari, dan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang Pasangan Calonnya berhalangan tetap mengusulkan Pasangan Calon pengganti paling lama 3 (tiga) hari sejak Pasangan Calon berhalangan tetap.
Menyimak aturan main dalam Pilpres tersebut, secara intrinsik bisa ditafsirkan, UU No. 42 Tahun 2008 memberikan isyarat ambang batas dua pasangan calon sebagai syarat minimal dilaksanakannya pemilu presiden. Celakanya, tidak ada langkah antisipasi dalam UU ini bagaimana jikalau setelah ditunda selama 30 hari ditambah penundaan paling lama 3 (tiga) hari sejak Pasangan Calon berhalangan tetap, namun pasangan capres dan cawapres ternyata tetap tunggal alias orang Ambon bilang Seng Ada Lawan. Pertanyaan yang muncul, apakah tahapan Pilpres tetap dianggap sah secara hukum dan akan tetap dilanjutkan kendati hanya ada satu paket capres dan cawapres ? atau sebaliknya, apakah pemilu presiden dianggap in-konstitusional karena hanya diikuti satu pasangan calon ? Disinilah letak persoalan mendasar dan krusial yang tidak dapat dijawab secara tuntas oleh UU No. 42 Tahun 2008. Sejujurnya harus diakui, UU No. 42 Tahun 2008 sama sekali tidak mengantispasi akan munculnya pencapresan tunggal tersebut sehingga boleh dikatakan terjadi recht vacuum. Kita tidak juga tidak menemukan jawaban hukumnya dalam konsitusi kita (UUD 1945). Ironisnya, konstitusi kita juga tidak mengatur bagaimana mengatasi kekosongan kursi Presiden dan wakil presiden jika andaikata pemilu presiden gagal ditengah jalan atau pemilu presiden ternyata ditunda sampai akhir masa jabatan presiden ?
Mencermati sejumlah aturan-aturan normatif yang masih carut marut terkait calon tunggal dalam pemilihan presiden tersebut, maka idealnya segera dilakukan legislative review terhadap UU No. 42 Tahun 2008 atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus membuat Peraturan KPU yang mengatur akan problematika ini, karena KPU juga mempunyai kewenangan untuk itu (Pasal 24 ayat (4). Hanya saja, kelemahannya, jika hal ini diatur dalam peraturan KPU maka nilai legitimasi hukumnya kurang begitu kuat ketimbang diatur dalam sebuah Undang-undang. Kita tidak mungkin melakukan constitutional review karena harus butuh waktu yang relatif panjang dan dipastikan menguras energi politik yang lebih besar. Presiden juga tidak mungkin mengeluarkan Dekrit Presiden sebagaimana diakui dalam praktek ketatanegaraan yang pernah dipraktekan Era Orde lama (Soekarno) dan Era Gusdur kendatipun nasib Dekrit versi Gusdur tidak sebagus dengan Dekrit versi Soekarno. Meskipun sebagai constitutional convention, Dekrit Presiden dalam konteks kekinian, perannya sudah digantikan dengan Perpu. Karena itu, opsi lain yang paling mungkin adalah pemerintah harus segera mengeluarkan Perpu sebagai langkah emergency untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum dan turbelensi politik nasional yang mengarah pada situasi chaos akibat munculnya problem calon presiden dan calon wakil presiden tunggal tersebut,
Dengan catatan, jika pilihan solusinya adalah Perpu, maka Perpu tersebut harus dikeluarkan mendahului tahapan penetapan pasangon calon oleh KPU atau lebih bagus jika sebelum tahapan pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden yakin sebelum tanggal 10 Mei 2009 guna sesegara mungkin diagendakan untuk disetujui oleh DPR menjadi sebuah UU. Saya mengkhwatirkan, bila Perpu diproduksi pasca pendaftaran pasangan calon atau sebagai akibat hanya ada satu pasangan calon Presiden (apalagi incumbent) yang mendaftarkan diri di KPU, maka besar kemungkinan Perpu tersebut lebih menguntungkan pihak incumbent daripada pihak lain. Sekali lagi kendatipun pasangan calon dalam pemilu presiden nanti tetap dua pasangan calon atau lebih, namun payung hukum untuk mengantisipasi munculnya calon pasangan tunggal tersebut harus tetap diadakan. Akhirnya, kita tentu berharap bahwa pemilu Presiden secara langsung tahun ini dapat berjalan secara aman, adil dan membawa perubahan yang signifakan bagi kemaslahatan bangsa. Semoga****