Selasa, 28 April 2009

DILEMA CALON PRESIDEN TUNGGAL



DILEMA CALON PRESIDEN TUNGGAL
King Faisal Sulaiman SH
Dosen Hukum Unkhair Ternate & Direktur LBH Malut

Mari kita lupakan sejenak kekisruhan atau amburadulnya Daftar Pemilih Tetap atau DPT pada pemilu legislatif (pileg) dan banyaknya caleg-caleg stress dengan macam-macam keanehanya akibat gagal menjadi wakil rakyat. Saya ingin mengajak perhatian kita tertuju pada hingar bingar konfigurasi politik jilid dua yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang saat ini sudah terasa getarannya hingga ke pelosok nusantara. Sederet tokoh atau elit politik yang kian menunjukkan taring politiknya, sebut saja Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah dipastikan sebagai Capres dari Partai Demokrat, kemudian ada Yusuf Kalla yang pasca perceraiannya dengan SBY kini sudah dikukuhkan lewat Rapimnas khusus partai Golkar sebagai calon Presiden. Disisi lain ada Megawati Soekarno Putri, yang kini makin memantapkan diri sebagai kandidat calon Presiden RI 2009-2014 dari Partai berlambang moncong Putih. Ketiga calon kuat Presiden tersebut dan ditambah tokoh-tokoh nasional lain seperti Prabowo Subianto (Gerindra), Wiranto (Hanura), Rizal Ramli dan Dedy Mizwar (capres alternatif dari sejumlah Partai Gurem), sudah mulai sibuk dan intens melakukan manuver-manuver politik. Mereka kini terus membangun komunikasi politik lintas elit partai politik yang ada untuk menentukan siapa cawapresnya masing-masing sekaligus membangun peta koalisi yang sebenarnya.
Ada pertanyaan yang mungkin terlupakan oleh kita, yakni apa jadinya jika dalam Pemilu Presiden (Pilpres) kali ini ternyata hanya terdapat satu pasangan calon yang didaftarkan Parpol pengusungnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU)? lalu dimana letak dasar hukumnya ? Pertanyaan-pertanyaan ini, menarik untuk dicari jawabannya. Kita tentu berharap hal ini tidak akan terjadi, namun dengan melihat pasang-surut dinamika Pencapresan yang berkembang saat ini, terlebih adanya ancaman boikot pemilu presiden yang dilontarkan oleh kelompok Teuku Umar, dimotori PDIP dan sejumlah partai politik lainnya akibat buruknya kualitas Pemilu legislatif (kisruh DPT) kemarin, maka bisa jadi kemungkinan-kemungkinan munculnya calon presiden tunggal tak terelakkan. Terlebih, dalam aturan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, tidak ada satupun ketentuan yang mengatur soal calon tunggal pemilihan Presiden. Pada segmen lain, UU No. 42 Tahun 2008 juga tidak sama sekali mengharuskan (tidak ada kewajiban) bahwa dalam pemilu presiden setidak-tidaknya harus ada dua pasangan calon yang bertarung.
Saya melihat para pembuat UU ini terlalu over confident (terlalu Pede) bahwa pasti terdapat lebih dari satu bakal pasangan calon alias minimal dua pasangan calon dalam Pilpres yang akan maju bertarung. Indikasi kearah pengasumsian bahwa bakal ada minimal dua pasangan calon yang berlaga, bisa kita telisik pada fase dan etape administratif sebagaimana diatur dalam UU Pilpres ini yang dimulai dari tahapan penyusunan daftar pemilih; kemudian pendaftran bakal pasangan calon; penetapan pasangan calon; masa kampanye; masa tenang; pengumutan dan penghitungan suara dan dilanjutkan dengan penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden serta terakhir adalah acara pengambilan dan pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden terpilih. Lebih jauh, ketentuan pada Pasal 21 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa KPU menetapkan dalam sidang pleno KPU tertutup dan mengumumkan nama-nama Pasangan Calon yang telah memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, 1 (satu) hari setelah selesai verifikasi. Secara implisit, argumen normatif yang dibangun dibalik bunyi Pasal ini adalah bahwa sudah pasti terdapat pasangan calon dalam Pilpres bulan Juli mendatang dengan penggunaan frasa “mengumumkan nama-nama pasangan calon”.
Selanjutnya ada klausula (Pasal 22) yang mengatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik tidak diperkenankan menarik calonnya dan atau pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU sebab konsekuensinya, partai politik atau gabungan partai politik tersebut tidak dapat mengusulkan calon pengganti. Demikian juga, salah seorang dari pasangan calon atau pasangan calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU. Bilamana pasangan calon atau salah seorang dari pasangan calon mengundurkan diri, partai politik atau gabungan partai politik yang mencalonkannya tidak dapat mengusulkan calon pengganti. Pada sisi lain, ada ketentuan (lihat Pasal 24) bahwa dalam hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya Kampanye sampai hari pemungutan suara sehingga jumlah pasangan calon kurang dari dua pasangan, tahapan pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditunda oleh KPU paling lama 30 (tiga puluh) hari, dan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang Pasangan Calonnya berhalangan tetap mengusulkan Pasangan Calon pengganti paling lama 3 (tiga) hari sejak Pasangan Calon berhalangan tetap.
Menyimak aturan main dalam Pilpres tersebut, secara intrinsik bisa ditafsirkan, UU No. 42 Tahun 2008 memberikan isyarat ambang batas dua pasangan calon sebagai syarat minimal dilaksanakannya pemilu presiden. Celakanya, tidak ada langkah antisipasi dalam UU ini bagaimana jikalau setelah ditunda selama 30 hari ditambah penundaan paling lama 3 (tiga) hari sejak Pasangan Calon berhalangan tetap, namun pasangan capres dan cawapres ternyata tetap tunggal alias orang Ambon bilang Seng Ada Lawan. Pertanyaan yang muncul, apakah tahapan Pilpres tetap dianggap sah secara hukum dan akan tetap dilanjutkan kendati hanya ada satu paket capres dan cawapres ? atau sebaliknya, apakah pemilu presiden dianggap in-konstitusional karena hanya diikuti satu pasangan calon ? Disinilah letak persoalan mendasar dan krusial yang tidak dapat dijawab secara tuntas oleh UU No. 42 Tahun 2008. Sejujurnya harus diakui, UU No. 42 Tahun 2008 sama sekali tidak mengantispasi akan munculnya pencapresan tunggal tersebut sehingga boleh dikatakan terjadi recht vacuum. Kita tidak juga tidak menemukan jawaban hukumnya dalam konsitusi kita (UUD 1945). Ironisnya, konstitusi kita juga tidak mengatur bagaimana mengatasi kekosongan kursi Presiden dan wakil presiden jika andaikata pemilu presiden gagal ditengah jalan atau pemilu presiden ternyata ditunda sampai akhir masa jabatan presiden ?
Mencermati sejumlah aturan-aturan normatif yang masih carut marut terkait calon tunggal dalam pemilihan presiden tersebut, maka idealnya segera dilakukan legislative review terhadap UU No. 42 Tahun 2008 atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus membuat Peraturan KPU yang mengatur akan problematika ini, karena KPU juga mempunyai kewenangan untuk itu (Pasal 24 ayat (4). Hanya saja, kelemahannya, jika hal ini diatur dalam peraturan KPU maka nilai legitimasi hukumnya kurang begitu kuat ketimbang diatur dalam sebuah Undang-undang. Kita tidak mungkin melakukan constitutional review karena harus butuh waktu yang relatif panjang dan dipastikan menguras energi politik yang lebih besar. Presiden juga tidak mungkin mengeluarkan Dekrit Presiden sebagaimana diakui dalam praktek ketatanegaraan yang pernah dipraktekan Era Orde lama (Soekarno) dan Era Gusdur kendatipun nasib Dekrit versi Gusdur tidak sebagus dengan Dekrit versi Soekarno. Meskipun sebagai constitutional convention, Dekrit Presiden dalam konteks kekinian, perannya sudah digantikan dengan Perpu. Karena itu, opsi lain yang paling mungkin adalah pemerintah harus segera mengeluarkan Perpu sebagai langkah emergency untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum dan turbelensi politik nasional yang mengarah pada situasi chaos akibat munculnya problem calon presiden dan calon wakil presiden tunggal tersebut,
Dengan catatan, jika pilihan solusinya adalah Perpu, maka Perpu tersebut harus dikeluarkan mendahului tahapan penetapan pasangon calon oleh KPU atau lebih bagus jika sebelum tahapan pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden yakin sebelum tanggal 10 Mei 2009 guna sesegara mungkin diagendakan untuk disetujui oleh DPR menjadi sebuah UU. Saya mengkhwatirkan, bila Perpu diproduksi pasca pendaftaran pasangan calon atau sebagai akibat hanya ada satu pasangan calon Presiden (apalagi incumbent) yang mendaftarkan diri di KPU, maka besar kemungkinan Perpu tersebut lebih menguntungkan pihak incumbent daripada pihak lain. Sekali lagi kendatipun pasangan calon dalam pemilu presiden nanti tetap dua pasangan calon atau lebih, namun payung hukum untuk mengantisipasi munculnya calon pasangan tunggal tersebut harus tetap diadakan. Akhirnya, kita tentu berharap bahwa pemilu Presiden secara langsung tahun ini dapat berjalan secara aman, adil dan membawa perubahan yang signifakan bagi kemaslahatan bangsa. Semoga****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar