Kamis, 30 April 2009

ADAT Se-ATORANG; BUKAN PEPESAN KOSONG

Oleh;
King Faisal Marsaoly
Direktur Eksekutif LBH Malut
**
Narasi Awal
MASYARAKAT ADAT pada hakekatnya merupakan komponen terbesar dalam struktur negara–bangsa Indonesia. Ada beberapa defenisi yang bisa dijadikan rujukan mengenai pengertian masyarakat adat. PBB memberikan defenisi lewat konvensi ILO No.169 tahun 1986 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka (Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent States) mengartikan IPs yakni : Sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, me-ngembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka. Sementara itu, Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) dan AMAN memberikan defenisi: kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, sosial, dan budaya sendiri. Jadi pada dasarnya, masyarakat adat merupakan sebuah entitas sosial yang tidak dominan, termarginalkan dari akses pembangunan, dan rentan terhadap berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Mereka sering dikelompokkan sebagai kaum minoritas dan penduduk pribumi yang mendiami suatu wilayah ulayat sejak dahulu kala, dimana keberadaannya jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Mereka hidup di dalam sebuah tatanan sistem adat yang memiliki norma, hukum, nilai-nilai adat-istiadat (adat se atorang) serta mempunyai batas wilayah ulayat tersendiri.
Setidaknya bangsa ini pernah punya sejarah kelam mengenai kebijakan negara yang dianggap menjadi awal petaka-kehancuran eksistensi kehidupan masyarakat adat beserta hak-hak ulayatnya. Bertolak dari argumen paradoksal bahwa, nilai-nilai budaya adat (adat se atorang) identik dengan keterbelakangan dan sistem pemerintahan adat yang beragam dapat berpotensi terjadinya des-integrasi bangsa. Kedaulatan negara kemudian, ditegakkan secara koersif dan diktatoris dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Disisi lain, berkembang sebuah pemahaman mengenai pentingnya dilakukan perubahan sosial-budaya kehidupan masyarakat adat. Perubahan yang dimaksud adalah pencabutan nilai-nilai tradisional yang kemudian ditransformasikan dengan nilai-nilai lain yang lebih banyak di adopsi dan di-impor dari demokrasi barat dengan dalih agar tercapainya derajat kesejahteraan masyarakat. Konsekuensinya, banyak kebijakan pembangunan yang sarat dengan kepentingan para penguasa dan kaum pemodal mendapat sorotan-kritik dan perlawanan dari hampir seluruh kelompok rakyat marjinal dan kesatuan-kesatuan masyarakat adat.
Berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan pada saat itu (rezim otoritarian-sentralistik ORBA), negara secara tidak demokratis dan tidak adil telah mengambil-alih hak atas ideologi, dan adat istiadat hak ekonomi, hak untuk menegakkan sistem nilai, dan yang tak kalah pentingnya ialah hak ekonomi dan politik masyarakat adat. Sistem masyarakat adat tentunya memiliki perbedaan satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya dan tipe wilayah kesatuan hukum adat setempat. Walaupun sistem-sistem masyarakat adat ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat. Sistem berupa pranata hukum dan struktur pemerintahan adat yang telah lama hidup dalam masyarakat memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, termasuk berbagai jenis konflik struktural yang acapa kali terjadi selama ini.
Sistem pemerintahan dengan konsep “Desa” gaya Orde Baru lewat implementasi UU No. 5/1979 yang memaksakan semacam prinsip uniformitas dalam semua sektor kehidupan bangsa telah menyingkirkan eksistensi masyarakat adat (Indigenous peoples) beserta pranata-pranatanya termasuk di kawasan jazirah kesultanan Moloku Kie Raha. Transformasi nilai-nilai tradisional itu dilakukan melalui berbagai produk peraturan perundang-undangan, dan sejumlah kebijakan pemerintah. Setidaknya UU No. 5 Tahun 1979, telah mengubah sistem pemerintahan adat dan khazanah kekayaan adat dalam bentuk pemerintahan desa. Betapa tidak, aturan tersebut diyakini oleh banyak kalangan sebagai awal diskresi fungsi-fungsi pemerintahan adat yang berdampak hingga saat ini. Resikonya, peran tokoh-tokoh adat makin dipinggirkan dan bahkan tidak sedikit yang menjadi korban pembangunan karena dianggap anti pembangunan melewan dan sikap pemerintah yang sah. Lembaga-lembaga adat tidak lagi berperan menjadi perekat persatuan, mediator konflik horizontal yang terjadi dalam masyarakat apalagi bertindak selaku pemangku kepentingan dikalangan masyarakat adat. Semasa rezim Orde Baru, hegemoni dan politisasi kekuasaan seorang kepala desa beserta aparaturnya menjadi begitu dominan selaku pelayan penguasa yang lebih banyak bertindak berdasarkan selera penguasa.
Perubahan Maind Sett Negara
Perubahan mendasar prototype sistem kekuasaan sentralistik-non responsif menuju era otonomi daerah (desentralisasi), haruslah ditangkap sebagai momentum metamorfosa kebangkitan pemberdayaan masyarakat adat. Implementasi UU No. 32/2004 junto PP No. 72/2005 menandai kebijakan otonomi daerah, di dalamnya mengatur otonomi desa sehingga tersemai pula harapan baru bagi restrukturasi pranata-pranata adat beserta komunitas adat yang kenyataannya memang masih hidup. Hal ini secara eksplisit dengan menegaskan bahwa penyebutan nama desa bukanlah satu-satunya nama baku yang harus diberlakukan secara homogen (seperti system orde Baru) namun dapat dikembalikan berdasarkan asal-usulnya, yakni berdasarkan nilai-nilai adat-istiadat (adat se atorang) yang telah ada dan hidup secara turun-turun dalam masyarakat. Tentu semua ini merupakan peluang bagi restorasi dan kebangkitan kembali eksistensi Adat se Atorang sebagai pilar civil society di era demokrasi. Pada tataran sekarang, perjuangan masyarakat adat menegakkan hak-haknya memiliki dasar hukum yang sangat kuat karena eksistensi hak-hak ulayat mendapat pengakuan sangat jelas dalam konstitusi kita (UUD 1945) maupun dalam sejumlah peraturan perundang-undang yang lainnya. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”. Begitupun pada Bab X A pasal 28-I Ayat (3) UUD 1945 yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia semakin memperkuat kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban merupakan hak azasi manusia yang harus dilindungi oleh Negara. Dengan demikian, eksistensi hak-hak ulayat mendapat pengakuan sangat jelas dalam konstitusi kita maupun dalam UUPA itu sendiri.
Begitupun dalam UU 39/1999 tentang HAM Pasal 6 secara tegas menyatakan bahwa dalam rangka Penegakan Hak Asasi Manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dan dilindungi, selaras dengan perkem-bangan zaman. Pengakuan eksistensi masyarakat adat ini makin mendapat otentifikasi legitimasinya dalam penjelasan Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 UU 39/99 tentang HAM. Hak Adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Lebih jauh, dikatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Namun kenyataan pahit masih kita alami saat ini dimana, sebagian besar keputusan politik dilevel pusat hingga daerah, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan secara baik, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses kebijakan dan agenda pembangunan nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dari pengkategorian secara diskriminatif terhadap masyarakat adat sebagai masyarakat awam, masyarakat tradisional, masyarakat pedalaman, masyarakat primitif, masyarakat terkebelakang-termarginal, dan masih banyak proses labelling lainnya yang sering kita jumpai.
Hal ini, mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola kehidupan mereka baik secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan kultural. Di pihak lain ada kepala adat yang memiliki posisi sangat strategis sebagai salah satu pemangku kebijakan dalam komunitas masyarakat adat yang memerintah berdasarkan otoritas legal namun tidak memiliki bargaining position yang kuat dihadapan pemerintah yang berkuasa. Dalam sistem pemerintahan desa, seorang yang menyandang predikat sebagai kepala adat justru lebih banyak berperan selaku pengatur upacara-upacara adat. Artinya, upacara adat yang dipercayakan pelaksanaannya kepada seorang kepala adat itu lebih condong mengandung unsur komersialisasi dan bukan merupakan bentuk pengakuan negara terhadap masyarakat adat. Perhatikan saja, tidak sedikit event-event yang digelar pemerintah seperti dalam bidang promosi kepariwisataan banyak melibatkan partisipasi masyarakat adat dalam arti seremonial dengan menampilkan berbagi atraksi, karnaval seni dan budaya yang dimiliki oleh tiap-tiap komunitas adat.
Pemberdayaan Masyarakat Adat Ternate
Gelembung kesadaran etnisitas sebagai pilar institusi adat kian menemukan identitas dan makin menguat semenjak era reformasi bergulir. Masyarakat adat di kesultanan Ternate sesungguhnya merupakan kesatuan komunitas adat yang memiliki hak-hak ulayat dan diakui eksistensinya dalam sistem hukum nasional. Tatanan budaya yang masih dipegang kuat masyarakat terutama hubungan patron- klien antara kesultanan dengan warga masyarakat adat Ternate memungkinkan eksistensi masyarakat adat tetap hidup dalam jangka waktu yang cukup panjang. Banyak tanah ulayat/adat yang dikenal sebagai pemberian Sultan (Cocatu Ou) kepada masyarakat adatnya yang tersebar dalam wilayah kesultanan Ternate. Tanah-tanah adat yang dimaksud biasanya dikenal dengan sebutan “Aha Kolano, raki Kolano, Aha Soa/Marga, Aha Cocatu , Gura Gam dan lain-lain” sebagai hak ulayat yang digarap dan dikelola secara turun temurun oleh mayarakat adat yang ditopang dengan struktur pranata adat yang tersusun secara sistematis dan mencerminkan keterkaitan satu sama lain. Namun gencarnya pembangunan dan membanjirnya investasi lokal dan nasional, keberadaan hak-hak ulayat terutama kepemilikan tanah-tanah adat tersebut tersingkirikan secara sistematis. Masyarakat adat bahkan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting berkaitan dengan esksitensi hak-hak ulayat tersebut.
Dalam konteks seperti ini, pelanggaran dan pemenuhan hak-hak dasar sebagai warga negara adalah salah satu titik yang paling bermasalah dalam pelaksanaan pembangunan. Hingga saat ini hak-hak ulayat berupa tanah-tanah adat yang ada di wilayah kesultanan Ternate tidak mendapat pengakuan secara legal formalisitik oleh pemerintah daerah. Salah satu indikatornya ialah, hingga saat ini belum ada peraturan daerah (Perda) yang mengatur secara jelas kesatuan hukum masyarakat adat di wilayah kesultanana Ternate. Akibatnya masyarakat adat selalu berada dalam posisi dilematis dan lemah dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Sekedar contoh, warga Kelurahan Dufa-Dufa, Kelurahan Tubo, Kelurahan Akehuda, dan Sango, Tarau serta kelurahan lain disekitar lokasi Bandara, yang teridentifikasi sebagai komunitas Adat, jauh sebelum Bandara Babullah dibangun, mereka telah mendiami areal ini sebagai tempat pemukiman dan pertanian atas persetujuan Kesultanan Ternate.
Oleh karena itu, meski mereka tidak memiliki dokumen kepemilikan tanah dari negara, namun lahan yang mereka tempati sekarang diyakini sebagai milik mereka lantaran hal tersebut diakui dalam hak ulayat adat kesultanan Ternate. Ketika perluasan pembangunan Bandara dilaksanakan, warga sekitar lokasi proyek memang telah diajak bicara dan rembuk. Namun pembicaraan tersebut mengalami kebuntuan karena, (a) pemerintah yang selalu mengacu kepada peraturan dan perundangan yang berlaku secara nasional berisikeras untuk tetap membangun perluasan bandara dengan ganti rugi yang besarannya telah ditetapkan dalam anggaran proyek. (b) Warga sekitar menginginkan selain ganti rugi secara materiil atas bangunan, tanah, tanaman pertanian/perkebunan juga kompensasi berupa pengakuan atas hak ulayat masyarakat; dengan demikian mereka bisa hidup secara layak dan terjaminnya hak-hak ulayat adat terutama kepemilikan atas tanah-tanah adat.
Konflik masyarakat adat Ternate dengan pemerintah yang tak kunjung usai hingga sekarang terkait penggunaan tanah adat untuk kepentingan perluasan bandara Sultan Babullah, merupakan salah dari sekian banyak persoalan hak ulayat yang terdapat di wilayah Kesultanan Ternate. Masyarakat Adat yang terkena perluasan pembangunan Bandara Sultan Babullah, tidak mempunyai pengatahuan hukum akan hak-hak ulayatnya tersebut. Mereka juga tidak tahu mekanisme pengaduan dan penyelesaian sejumlah persoalan hukum yang timbul. Konflik masyarakat adat Ternate dengan pemerintah yang tak kunjung usai hingga sekarang terkait penggunaan tanah adat untuk kepentingan perluasan bandara Sultan Babullah, merupakan salah dari sekian banyak persoalan hak ulayat yang terdapat di wilayah Kesultanan Ternate. Pemerintah Daerah tidak memperhatikan secara serius keberadaan masyarakat adat Kota Ternate dan eksistensi Kedaton Ternate, sehingga perlakuan diskriminatif masih sering dijumpai terutama dalam praktek pembebasan lahan untuk kepentingan pembangunan.
Paparan diatas menyiratkan kesan bahwa nampaknya belum tercipta kesadaran dan jaminan hukum bagi kelompok adat dalam pemenuhan kebutuhan dasar hak-hak atasi hidupnya. Meskipun pemenuhan kebutuhan dasar hak-hak atasi hidupnya telah dijamin oleh konstitusi namun dalam prakteknya negara sering tidak memperhatikannya. Disnilah letak urgensitas proses advokasi dan penciptaan kesadaran hukum bagi masyarakat Adat yang sebagian besar miskin dan termarginal sehingga mereka dapat menuntut hak-haknya secara jelas, dapat menyampaikan ketidak-puasannya, dan dapat memahami bagaimana, ke mana dan kepada siapa mereka harus menyampaikan dan menuntut hak-hak asasi yang tidak dipenuhi tersebut.

Strategi Pemberdayaan
Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah, apakah narasi konsep pemberdayaan komunitas adat di Ternate dan Maluku Utara pada umumnya sudah menemukan nilai artikulasinya ataukah masih sebatas jargon yang lazim sering didengungkan pada saat acara Legu Gam seperti saat ini ? Arah restukturisasi pengakuan masyarakat adat Ternate jangan sampai terperangkap pada semangat lokalisme sempit alias membengkaknya ideologi etnisitas dan terciptanya struktur baru oligarkhi di kalangan komunitas adat. Jika hal ini yang terjadi, maka kebangkitan komunitas adat akan rawan disalahgunakan untuk kepentingan pragmatis segelintir orang sebagai akibat dari manipulasi kekuasaaan adat tersebut. Restrukturisasi adat tidak bisa lahir sebagai sebuah entitas akan nilai-nilai adat se-atorang dalam sistem kekuasaan yang cenderung berkutat pada romantisme sejarah dan kultural masa lalu. Kita tidak bermaksud membangun tradisi balas dendam untuk melawan penguasa setelah sekian lama tidak pernah diperhatikan secara baik oleh pemerintah akan tetapi yang hendak dibangun adalah sebuah restrukturisasi sistem pemerintahan adat beserta lembaga-lembaga adat yang pernah ada dan hidup dalam ranah demokrasi berbasis lokalisme. Harus diakui bahwa sistem berupa pranata hukum dan struktur pemerintahan adat Kesultanan Ternate yang telah lama hidup tersebut, memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi terlebih konflik agraria struktural yang melibatkan pemerintah sekalipun.
Dalam konteks lokal, proses pengembangan kesadaran kritis dalam rangka penguatan kapasitas komunitas masyarakat adat khususnya di wilayah Moloku Kie Raha haruslah menjadi agenda advokasi yang patut dilakoni dan didorong terus-menerus oleh berbagai unsur stakeholder terutama kalangan mahasiwa dan LSM. Melalui prinsip desentralisasi kewenangan dalam konteks otonomi daerah, maka partisipasi dan kontrol masyarakat terhadap perilaku negara semakin menemukan ruang aktualisasi dan aksentuasinya. Berpijak pada pengalaman pemberdayaan masyarakat adat Ternate yang pernah kami lakukan (LKBH UMMU dan LBH MALUT), pilihan aproachment yang dipakai tidak hanya bertumpu pada satu model semata, akan tetapi merupakan satu rangkaian siklus strategi yang lazim digunakan dalam konsep pemberdayaan masyarakat termarginal secara umum.
Adapun tipologi strategi advokasi pemberdayaan yang dimaksud yakni mulai dari membangun wacana kritis, solutif dan produktif mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh masyarakat adat dan seberapa jauh jaminan konstitusi kita terhadapa keberadan masyarakat adat dan hak-hak ulayatnya. Selanjutnya melakukan proses pendampingan-pengorganisasian masyarakat adat, hingga turut serta melakukan advokasi kebijakan yang berkaitan dengan hak-hak konstitusional mereka. Ketiga fase dan etape pendekatan tersebut lebih banyak dipayungi oleh beberapa prinsip utama yakni dengan melibatkan partisipatif-kritis sejumlah stakeholders yang terkait untuk proaktif dalam identifikasi kebutuhan-kebutuhan sampai pada pilihan agenda pelaksanaan kegiatan pemberdyaaan secara kolektif. Prinsip lain adalah dalam proses pemberdayaan masyarakat adat, idealnya lebih memprioritaskan aspek proses (process oriented) yang terjadi ketimbang pencapaian hasil. Mengapa proses yang dikedepankan, sebab dengan begitu upaya menyadarkan sekaligus membangun basis pembelajaran bagi kelompok sasaran dapat berjalan secara alamiah tanpa harus terkungkung dalam sikap ketergesaan dan tindakan ceroboh kita dikarenakan terjebak pada upaya mengejar hasil (out put) yang sudah terlanjur diagendakan.
Setelah itu, perlu dibangun networking dengan multi stakeholder non partisan (terutama kelompok NGO/LSM) untuk turut mendorong akselerasi pencapaian agenda-agenda advokasi pemberdayaan yang telah dirumuskan bersama tersebut. Berdasarkan pengalaman, problem pengembangan jaringan (networking) inilah yang merupakan bagian yang tersulit. Dikatakan demikian, karena butuh penyamaan presepsi dikalangan kelompok-kelompok volunteer yang memiliki visi pemberdayaan yang searah. Fakta menunjukkan, upaya memperjuangkan kepentingan masyarakat ada adat Ternate dan Maluku Utara pada umumnya belum menjadi salah satu mainstream isu advokasi terutama dikalangan NGO/LSM lokal/Ormas dan mahasiswa. Bahkan upaya membangun kesadaran pemberdayaan masyarakat adat sepertinya kurang begitu diminati dan terkesan masih terasa tabu untuk diusung dan diwacanakan dikalangan aktivis sosial. Trend saat ini yang tengah menjamur yakni kebanyakan kelompok LSM lokal dan kalangan aktivis mahasiswa di Maluku Utara justru lebih enjoy menyoroti dan mengadvokasi isu penegakkan hukum (KKN), perilaku aparat penegak hukum, isu lingkungan sebagai eskses dari aktivitas perusahaan dibidang pertambangan, dan tata kelola birokrasi pemerintah daerah.
Lesson Learn; Sebuah Realita
Berdasarkan pengalaman kami (LBH MALUT/LKBH UMMU) dalam melakukan advokasi dan program pendampingan masyarakat Adat Ternate pada bulan Desember 2007 kemarin maka ada beberapa simpulan yang patut kita ketahui. Pertama, pada dasarnya masyarakat Adat di kota Ternate, memiliki kesadaran secara pribadi dan kolektif terhadap hak-hak ulayat terutama kepemilikan tanah-tanah Adat yang didapatnya secara turun temurun selama ini dan mereka juga menginginkan bagaimana hak-hak mereka diperhatikan oleh pemerintah, namun mereka belum memiliki keberanian yang cukup untuk menuntut hak-haknya. Masyarakat adat, terutama di kelurahan-kelurahan yang terkena perluasan pembangunan Bandara Sultan Babullah, tidak mempunyai pengatahuan hukum akan hak-hak ulayatnya tersebut.
Mereka juga tidak tahu mekanisme pengaduan dan penyelasaian sejumlah persoalan hukum yang timbul. Pemberian materi dalam kegiatan penyuluhan hukum ini (Legal Training), memberikan pengetahuan yang cukup siginifikan bagi mereka akan eksistensi hak-hak ulayat dan komunitas masayarakat Adat yang telah mendapat pengakuan secara legal formalisitik dalam sistem hukum nasional kita. Kegiatan ini setidak-tidaknya sangat membantu mereka memahami bagaimana cara/mekanisme penuntutan atas sejumlah hak-hak ulayat dan kepemilikan atas tanah-tanah Adat di wilayah kesultanan Ternate selama ini baik melalui jalur pengadilan (proses litigasi) maupun penyelesaian sengketa/perkara diluar pengadilan (non litigasi). Sehingga mereka dapat menuntut hak-haknya secara jelas, dapat menyampaikan ketidak-puasannya, dan dapat memahami bagaimana, ke mana dan kepada siapa mereka harus menyampaikan dan menuntut hak-hak asasi yang tidak dipenuhi tersebut.
Kedua, para peserta menyadari bahwa perjuangan untuk menuntut dan memperoleh pengakuan eksistensi hak-hak ulayat terutama kepemilikan atas tanah-tanah Adat di Kota Ternate membutuhkan stragei tertentu dan secara berjenjang, sehingga mereka bersepakat bahwa harus ada Kelompok Advokasi yang menjadi semacam ”Penjaga Gawang” dalam memperjuangkan dan menuntut hak-hak ulayat masyarakat adat di kota Ternate secara terorganisir dan tersistematis. Kelompok Advokasi ini bagi mereka, perlu dibentuk pada ditingkat kelurahahan dan lintas kelurahan.
Ketiga, Mereka (kelompok sasaran) juga menyepakati untuk mengusulkan kepada pemerintah kota Ternate harus segera membuat sejumlah regulasi yang memadai terutama dalam bentuk peraturan daerah (Perda) untuk memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang kuat bagi keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak ulayatnya. Pengakuan adat secara formal (ditandai lahirnya Perda dan sejumlah regulasi di level kota) sekaligus dapat difungsikan sebagai instrumen bargaining position yang mengatur peran dan posisi Kedaton Kesultanan Ternate sebagai penyangga dan pelindung utama keasatuan hukum masyarakat adat beserta hak-hak ulayatnya di kota Ternate.
Narasi Penutup
Pada akhirnya tujuan dari program pemberdayaan masyarakat adat ini dilaksanakan, dengan harapan agar meningkatkan kapasitas masyarakat Adat di Kota Ternate sebagai kelompok masyarakat termarginal sehingga secara mandiri mereka dapat meningkatkan posisi tawar dimata para decesion maker. Peningkatan kapasitas masyarakat menuntut hak-hak dasarnya baik secara perorangan maupun berkelompok akan makin terbuka lebar yang didasari atas peningkatan pengatahuan dan kesadaran hukum masyarakat Adat di Kota Ternate dan Maluku Utara pada umumnya. Dengan demikian, masyarakat adat dapat mewujudkan kedaulatannya sehingga mampu menjadi salah satu pilar masyarakat madani (civil society) yang berperan aktif dalam dinamika pemerintahan di tingkat lokal di era desentralisasi dan demokratisasi saat ini. Barangkali kita sepakat bahwa proses katalisasai pemberdayaan masyarakat adat Adat Ternate dan Maluku Kie Raha untuk memperjuangkan hak-hak ulayatnya mustahil dapat terwujud jika tidak pernah mendapat legitimasi politik dan hukum oleh legisltaif (DPRD) dan pihak eksekutif kita. Karena itu, sudah saatnya para decision making selaku pemangku kebijakan segera urun rembug (duduk bersama) dengan pihak kedaton-Kesultanan Ternate dan para tokoh-tokoh adat di lingkungan Kesultanan Ternate serta semua unsur stakeholder terkait untuk merumuskan kebijakan-kebijakan penguatan masyarakat adat. Para pemangku kebijakan harus memberikan pengakuan akan eksistensi kesatuan sistem pemerintahan adat Ternate dengan melakukan langkah-langkah konkrit dan strategis sebagaimana yang telah di ilustrasikan diatas. Dalam pandangan masyarakat Adat, Pemerintah daerah terutama pemerintha kota Ternate belum memperhatikan secara serius keberadaan masyarakat Adat Ternate beserta kepemilikan tanah-tanah Adatnya selama ini. Oleh sebab itu, jika pengakuan secara formal terhadap eksistensi masyarakat adat ini tidak dilakukan, maka saya masih menganggap visi Ternate sebagai kota Madani masih sebatas imajinasi dan jargon politik walikota dan wakil walikota belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar