Kamis, 30 April 2009

NELAYAN DAN ILLEGAL FISHING

Oleh;
King Faisal Sulaiman,
Dosen Fak. Hukum Unkhair & Legal Consultant

Sumber Daya Perikanan
Pemanfaatan potensi perikanan laut Indonesia ini walaupun telah mengalami berbagai peningkatan pada beberapa aspek, namun secara signifikan belum dapat memberi kekuatan dan peran yang lebih kuat terhadap pertumbuhan perekonomiaan dan peningkatan pendapatan masyarakat nelayan tradisional Indonesia. Secara nasional, luas perairan laut Indonesia diprediksi sebesar 5.8 juta km2 dengan garis pantai terpanjang di dunia sebesar 81.000 km dan gugusan pulau-pulau sebanyak 17.508. Dalam pandangan Dahuri (2001), jumlah potensi ikan yang ada diperkirakan sebanyak 6.26 juta ton pertahun yang dapat dikelola secara lestari dengan rincian sebanyak 4.4 juta ton dapat ditangkap di perairan Indonesia dan 1.86 juta ton dapat diperoleh dari perairan Zona Ekonomi Ekslusif. Upaya memanfaatkan sumberdaya perikanan laut secara optimal dan lestari, merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatan ekspor untuk menghasilkan devisa negara. Sumberdaya ikan merupakan milik bersama (common resources), sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat dimiliki secara perorangan, menyebabkan semua lapisan masyarakat berhak untuk memanfaatkan. Konsekuensinya, dapat menimbulkan berbagai macam persaingan antar pelaku, baik antar nelayan dengan nelayan, antar nelayan dan pengusaha, antar pengusaha dengan nelayan, dan antar pengusaha dengan pengusaha yang begitu ketat dan sulit dikendalikan.
Sampai dengan tahun 1999, potensi pemanfaatan sumberdaya ikan yang disebutkan di atas baru dapat dimanfaatkan sebesar 76 % dengan tingkat produksi sebesar 3.82 juta ton. Dalam rangka memacu peran sektor perikanan di masa yang akan datang, maka pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan telah menetapkan empat misi, yakni : (a) peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, perikanan dan kelautan khususnya nelayan dan petani ikan kecil, (b) peningkatan peran sektor perikanan dan kelautan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, (c) pemeliharaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan perairan, dan (d) terciptanya stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk hal itu, secara terpadu pembangunan perikanan dan kelautan selanjutnya menetapkan beberapa target riil yang akan diupayakan pencapaiannya, yaitu : (a) penerimaan devisa kelautan dan perikanan diharapkan dapat mencapai US$ 5 milyar pada tahun 2004, kemungkinan pada tahun 2006 mengalami surplus, (b) sumbangan terhadap PDB diharapkan mencapai 5%, (c) penerimaan negara dari bukan pajak (PNDP) penangkapan ikan akan mencapai Rp. 295 milyar serta PNBP penangkapan ikan di perairan ZEEI sebesar US$ 65 juta, (d) sumbangan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) sebesar US$ 120 juta dari kegiatan penangkapan ikan. Selain itu, ditargetkan peningkatan pemenuhan konsumsi ikan sebesar 21.93 kg/kapita/tahun serta penyerapan tenaga kerja sebesar 6.54 juta orang. Harapan-harapan tersebut memang tidaklah mudah dicapainya dengan berbagai macam permasalahan mendasar yang masih tersimpan. Keyakinan dan kekuatan yang digalang dari semua pihak, didasari sumberdaya perikanan laut Indonesia dengan keanekaragamann (diversity) yang melimpah dengan jumlah stok yang sangat besar akan tetap memberi harapan dan peluang yang sangat terbuka lebar untuk mewujudkan obsesi kita sebagai negara maritim terbesar.
Dalam tataran ini, upaya untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan laut secara optimal dan lestari masih terdapat banyak kendala yang dihadapi, terutama menyangkut permodalan dan sistem perbankan yang belum kondusif bagi investasi usaha penangkapan ikan di laut. Disamping itu, terdapat sejumlah kendala lain yang selama ini kerapkali terjadi diantaranya; (a) sistem perizinan yang kurang efisien dan cenderung mempersulit. (b) sistem charter kapal asing yang cenderung merupakan lahan bagi pencurian ikan di laut, (c) penangkapan ikan dengan menggunakan cara yang merusak sumberdaya dan habitatnya. Sistem pelayanan di pelabuhan perikanan yang dapat mengakibatkan biaya ekonomi tinggi dan tidak terpadunya rencana tata ruang di wilayah laut. Kendala lain yang tak kalah menarik adalah kurang tegasnya penegakan hukum dan peraturan di laut serta penyalahgunaan perizinan serta pengawasan kapal-kapal nelayan asing yang beroperasi di laut Indonesia.
Rona Nelayan Tradisional
Laut sangat berjasa dengan memberikan banyak kemudahan kepada kehidupan manusia pada umumnya. Pantai merupakan bagian dari laut yang menciptakan banyak keindahan alam dan memberikan manfaat bagi manusia. Banyak negara memanfaatkan pantainya sebagai objek wisata strategis yang mampu mengurangi angka pengangguran dan mendatangkan devisa. Didaerah pantai, dijumpai banyak hutan bakau, dan terumbu karang yang berfungsi melindungi garis pantai tropik dari badai. Tidak bisa dipungkiri seiring dengan perubahan musim, ternyata tidak sedikit aktivitas dan perilaku manusia mencemari dan merusak kehidupan dilaut. Pertanyaannya adalah, apa yang kita lakukan untuk menyelamatkan laut yang begitu memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia itu ? Sadar atau tidak, selama ini kita cenderung melakukan tindakan yang merusak ekologi dan ekosistem laut. Nelayan mengambil ikan secara berlebihan dengan cara yang tidak bertanggung jawab seperti dengan memakai jaring pukat harimau atau bahan peledak serta racun.
Serba-serbi kehidupan nelayan kita memang penuh dengan fantasi dan senantiasa berpacu dengan gelombang laut dan waktu. Semula nelayan dikategorikan sebagai seseorang yang pekerjaannya menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai dari pancing, jala dan jaring, bagan, bubu sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi dengan alat tangkap ikan, metode dan taktik penangkapan tertentu. Hal lain yang juga menarik adalah kondisi psikologis dan sosologis masyarakat nelayan, umumnya berada dalam lingkungan hidup sosial yang cenderung tidak memikirkan hari depannya terutama minimnya kesadaran untuk menyimpan sebagian pendapatan yang diperolehnya terutama pada saat musim ikan. Profil nelayan tradisional walaupun pada umumnya cukup terampil menggunakan peralatan yang dimilikinya namun sarana penangkapan ikan dan kemampuan yang sangat terbatas serta seringkali sulit untuk ditingkatkan ke arah yang lebih modern. Posisi ekonomi nelayan yang sangat rendah diakibatkan karena modal yang terbatas dan produktivitas yang rendah dengan hasil tangkapan ikan yang tidak menentu sebagai akibat pengaruh musim. Jaminan pemasaran ikan yang tidak menentu karena masih terdapatnya berbagai kendala dalam penentuan harga jual pada tingkat nelayan, turut menambah kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh nelayan tradisional kita.
Dalam kacamata Purwaka, kondisi seperti di atas ternyata merupakan peluang bagi tumbuh suburnya para tengkulak, dengan memanfaatkan berbagai macam kelemahan yang dimiliki para nelayan tradisional. Tengkulak tersebut merupakan salah satu mata rantai usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan, terutama dalam hal penyediaan sarana produksi dan permodalan yang diperlukan oleh nelayan. Pelayanan yang diberikan tengkulak kepada nelayan yang tidak berbelit-belit dan dapat dengan segera memberi layanan yang cepat, menjadikan nelayan semakin menyukai masuk pada lingkaran tersebut. Walaupun seringkali terdapat beberapa kerugian yang dialami oleh nelayan, terutama penentuan harga jual ikan hasil tangkapan nelayan yang hanya ditentukan secara sepihak oleh tengkulak sebagai pemberi modal. Untuk membangun kemampuan nelayan dalam hal penyediaan sarana dan permodalan dalam usaha penangkapan ikan, maka keterlibatan beberapa lembaga-lembaga keuangan sangat diperlukan seperti koperasi dan bank-bank pemberi kredit pada saat yang tepat. Selain itu juga diperlukan adanya suatu lembaga yang dapat ikut serta di dalam peningkatan kualitas SDM nelayan, dengan berbagai macam program diantaranya, pelatihan peningkatan keterampilan menangkap ikan, kemampuan berwirausaha yang baik dan benar serta beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat lainnya.
Di sisi lain, mengingat profil masyarakat nelayan pada umumnya masih berada pada tingkat dan posisi yang memprihatinkan, maka dipandang perlu adanya program-program kemitraan yang dapat secara langsung menyentuh pada kebutuhan yang diperlukan oleh nelayan. Eksistensi koperasi nelayan sampai saat ini belum banyak memainkan peran, terutama sebagai akibat dari rendahnya kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan dana-dana program pemberdayaan. Sebenarnya, pola kemitraan sangat diperlukan dari berbagai pihak dengan pola saling menguntungkan. Salah satu pola kemitraan yang dapat dikembangkan adalah dengan sistim pola inti rakyat dimana pengusaha sebagai mitra pembina dan nelayan sebagai mitra binaan. Program kemitraan seperti ini, dipandang dapat dikembangkan terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana, modal kerja nelayan, pembinaan managemen usaha, pemasaran, adopsi teknnologi tepat guna dengan perjanjian kerjasama kemitraan yang memihak pada nelayan tanpa merugikan mitra pembina. Dalam mengembangkan program kemitraan seperti ini, pemerintah harus dapat menjadi fasilitator dengan memberikan perlindungan dan jaminan keberpihakan kepada kelompok nelayan melalui program kerjasama tersebut sehingga dapat berlangsung langgeng dan berkembang dengan baik.

Otonomi Daerah & Illegal Fishing
Problem pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan suatu permasalahan tersendiri sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang tentang Otonomi Daerah ini, ditegaskan pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan penuh atas pengelolaan sumberdaya yang ada di dalam wilayah laut hingga 4 mil, sedangkan pemerintah daaerah propinsi mempunyai kewenangan untuk pengelolaan wilayah laut dan sumberdaya di dalamnya dari 12 mil menjadi hanya 8 mil dari garis batas 4 mil ke arah laut lepas. Penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah ini, juga berimplikasi pada penentuan batas-batas wilayah pengelolaan antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah kabupaten/kota yang berbatasan serta dengan pemerintah wilayah propinsi. Celakanya, hingga saat ini perangkat peraturan pelaksana undang-undang yang relevan dengan pengaturan sumber daya laut dan perikanan belum sepenuhnya diterbitkan termasuk pada tingkat pemerintah kabupaten/kota dalam bentuk peraturan daerah. Dengan demikian, dikhawatirkan jika tidak diantisipasi dengan baik akan menimbulkan kerentangan sosial di dalam masyarakat terutama para nelayan yang akan melakukan operasi penangkapan ikan di laut, karena aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan tradisional tidak dibatasi dengan batas-batas wilayah pengelolaan. Terlepas dari itu, kita harus sepakat bahwa nelayan Indonesia harus mampu menjadi tuan rumah di lautnya sendiri. Untuk mencapai hal tersebut, maka harus diupayakan mentransformasi para nelayan tradisonal kita menjadi nelayan modern yang tangguh untuk memanfaatkan semua potensi sumberdaya ikan yang ada. Langkah ini, secara intrinsik dapat memainkan peran ganda dalam membantu menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai praktek ilegal yang dilakukan di laut, terutama oleh nelayan-nelayan kapal asing yang masih berkeliaran menangkap ikan diperairan Indonesia tanpa dapat dihentikan.
Dalam konteks ini, akselarasi pembentukan pengadilan perikanan sebagai amanat UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan menjadi hal yang sangat urgen untuk diperhatikan. Seperti diketahui, keberadaan Pengadilan Perikanan yang untuk pertama kalinya dibentuk di Medan, Jakarta Utara, Pontianak, Bitung (Sulut) dan Tual (Maluku Tenggara). Pengadilan perikanan tersebut berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan tindak pidana di bidang perikanan. Terdapat beberapa point substansial dalam UU ini antara lain (a) Melalui peranan PPNS Perikanan, upaya penegakan hukum dan pengendalian penangkapan tersangka tindak pidana perikanan, mempercepat proses penanganan ABK, barang bukti, dan proses pemberkasan tindak pidana (b) Membangun kelembagaan pengawasan, melalui pembentukan satuan pengawasan di pelabuhan-pelabuhan perikanan, stasiun dan pos pengawas yang didukung dangan sarana Kapal Pengawas Hiu, Baracuda, Todak, Marlin yang ditopang dengan alat komunikasi serta Pusdal Departemen Kelautan dan Perikanan dan (d) Pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat, melaui pembentukan Pokmaswas di berbagai daerah dengan melibatkan unsur-unsur dalam masyarakat. Dari aspek pengawasan, memberikan peran yang besar kepada pengawas perikanan dangan didukung persenjataan dan kapal pengawas perikanan berserta kewenangannya. Diantara berbagai upaya yang digariskan tersebut, upaya penegakan hukum merupakan upaya yang cukup strategis.
Eksistensi Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang baru ini memberikan suatu harapan sekaligus tantangan cukup besar bagi masa depan pembangunan perikanan. Undang Undang ini telah memberikan suatu landasan hukum yang cukup kokoh bagi pembangunan perikanan pada umumnya dan penegakan hukum dibidang perikanan. Pengadilan perikanan, memiliki beberapa unsur kekhususan dan titik tekan yakni ; Jaksa Penuntut Umum disyaratkan memahami teknis dibidang perikanan dan pernah mengikuti diklat dibidang perikanan; Dimungkinkan adanya Hakim ad hoc yang berasal dari lingkungan perikanan, baik dari dunia akademi, instansi pemerintah maupun elemen, LSM. Disampngi itu, tenggang waktu penanganan tindak pidana perikanan mulai proses penyidikan hingga putusan pengadilan lebih kurang 2,5 bulan. Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Dengan adanya pengadilan perikanan yang secara khusus mengadili, memeriksa dan memutus perkara tindak pidana bidang perikanan ini diharapkan penanganan tindak pidana perikanan dapat diproses secara efektif, efisien dan professional. Dengan begitu kita tidak lagi memandang sektor perikanan sebagai sub sektor, akan tetapi perikanan merupakan sebuah mata rantai sistem bisnis perikanan yang diawali sejak pra produksi, produksi, pengolahan, sampai dangan pemasaran. Sekali lagi kehadiran Undang Undang ini telah memberikan keberpihakan yang jelas kepada nelayan kecil dan mengatur secara eksplisit dengan memberikan porsi seimbang antara penangkapan dan pembudidayaan ikan. Pengaturan sektor perikanan tidak hanya dilihat sebagai aspek ekonomi semata-mata, melainkan juga harus mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial budaya, dan sekaligus merefleksikan laut sebagai wadah pemersatu bangsa dalam bingkai NKRI.
Dilema Illegal Fishing
Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang dilakukan melalui kegiatan perikanan tangkap oleh masyarakat perikanan dan kelautan, dapat dilakukan secara lestari dan bersifat sustainable resource exploitation apabila didukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan. Menurut data FAO (Food and Agriculture Organization), laut mampu menghasilkan 100 juta ton ikan setiap tahun. Sekedar komparasi, pada 1988, nelayan di Dunia telah menangkap ikan 97,4 ton. Jumlah tersebut menurun tiap tahun bukan karena manusia mengurangi kegiatannya, melainkan persediaan ikan yang menipis, dikarenakan belum sempat melakukan recovery. Pemburu-pemburu ikan membinasakan spesies paus besar. Anjing laut dan penyu ditangkapi serampangan. Terumbu karang dirusak untuk dibuat cendera mata. Nelayan bahkan sering menangkap ikan yang berharga mahal, seperti kerapu dan sejumlah ikan karnivora lainnya. Padahal, ikan tersebut merupakan predator yang sangat dibutuhkan agar rantai makanan tetap berlangsung. Bila predator menghilang, maka rantai makanan akan terganggu. Kapal tanker minyak juga selalu seenaknya membuang limbah yang dapat mencemari lingkungan laut. Minyak dapat menghilangkan daya apung ikan-ikan dan binatang laut sehingga mereka akan mati. Tindakan illegal fishing dan cara menangkap ikan yang merusak, jauh lebih berbahaya bagi kelangsungan hidup biota laut. Nelayan komersial sering melemparkan jaring dengan sengaja atau tidak sehingga banyak ikan dan binatang laut lainnya yang terperangkap didalamnya. Penangkapan ikan dengan bahan peledak dapat menghancurkan terumbu karang. Tindakan ini dapat memusnahkan sebagian besar ekosistem laut. Selama bertahun-tahun manusia memang menyalahgunakan laut, menjarah ikannya, meracuni dengan limbah dan sampah, serta merusak pantainya. Padahal, berbagai ekosistem laut, misalnya laut tropik yang dangkal dan hangat, memberikan kondisi ideal bagi kehidupan karang.
Stastistik (data 1995) Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan, armada penangkapan ikan di Indonesia yang beroperasi di wilayah perairan laut Indonesia dapat dipilah menjadi pertama; nelayan tradisional (perahu tanpa motor sebesar 229.337 dan perahu motor tempel sebesar 77.779 buah), kedua; nelayan semi tradisional (perahu motor < 10 GT sebanyak 45.049), dan terakhir; nelayan semi industri dan industri ( kapal motor > 10 GT sebanyak 7.003 buah). Ternyata armada penangkapan ikan yang beroperasi di perairan Indonesia, terutama pada perairan pantai masih didominasi (85%) oleh armada penangkapan yang relatif kecil atau tradisional. Di lain pihak armada yang berukuran lebih besar untuk operasi penangkapan di luar perairan pantai (offshore) walaupun telah dilakukan penambahan dalam negeri tetap jumlahnya masih sangat kecil (15%). Investasi yang diperlukan termasuk relatif besar, menyebabkan perkembangannya sangat lamban, itupun didominasi oleh pengusaha asing bekerjasama dengan pengusaha dalam negeri. Beberapa informasi dan data juga menyebutkan, bahwa jumlah armada yang beroperasi di perairan Indonesia oleh kapal-kapal asing tanpa diketahui (tanpa surat izin usaha penangkapan) semakin meningkat, akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di laut dalam kekuasaan yurisdiksi Indonesia.
Hal demikian disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) Angkatan Laut Indonesia bersama dengan beberapa lembaga pengawasan yang terkait walaupun telah berusaha, namun karena jumlah armada yang digunakan untuk memantau luas wilayah perairan Indonesia yang demikian besar menyebabkan fungsi pengawasan dan penegakan hukum di laut tidak berjalan dengan baik, (2) Masih terdapat kelemahan dalam pemberian dan pengawasan izin usaha penangkapan ikan terutama kepada kapal-kapal asing, menyebabkan penambahan jumlah armada yang beroperasi oleh pemegang surat izin usaha penangkapan yang sama semakin meningkat tanpa dapat dimonitor dengan baik, dan (3) Hasil tangkapan yang diperoleh tidak menjadi keharusan untuk didaratkan pada salah satu Pangkalan Pendaratan Ikan atau Pelabuhan Perikanan di Indonesia sebelum dilakukan ekspor. Artinya di tengah laut sekalipun hasil tangkapan tersebut dapat langsung dibawa ke luar negeri. Kondisi ini menyebabkan jumlah dan jenis hasil tangkapan tidak dapat dipantau, dan menyebabkan kerugian negara yang demikian besar akibat pungutan pajak ekspor tidak didapatkan.
Pengadaan kapal-kapal penangkap ikan yang berukuran besar untuk tujuan dan daerah operasi penangkapan lepas pantai juga belum berjalan dengan baik atau belum mendapat perhatian yang serius. Bahkan sebelumnya terdapat peraturan/kebijakan yang melarang pembelian langsung dari luar kapal-kapal yang berukuran lebih besar, dengan maksud untuk memajukan industri perkapalan dalam negeri. Namun dalam kenyataannya industri perkapalan kita di Indonesia masih belum memiliki kemampuan yang besar untuk pengadaan tersebut, terutama disebabkan oleh kendala investasi dan permodalan. Untuk melakukan usaha pembinaan dalam peningkatan kegiatan perikanan tangkap, maka minimal terdapat lima komponen yang harus disinergikan secara bersama-sama untuk menghasilkan suatu proses percepatan pembangunan di bidang perikanan laut, khususnya perikanan tangkap, yakni: unit pemasaran, unit sarana produksi, unit prasaran penangkapan ikan, unit usaha penangkapannya sendiri dan unit pengolahan. Pembinaan tersebut, dapat dilakukan secara terpadu, terarah, dan sistematis yang difasilitasi oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan yang menunjang baik untuk program-program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang secara jelas dan konsisten.
Law Enforcement
Kebijakan disektor kelautan dan perikanan selama ini telah memberikan sumbangan dan kontribusi yang cukup bermakna bagi peningkatan devisa dan penyerapan tenaga kerja, namun juga menyisakan kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup memprihatinkan akibat praktek illegal fishing yang hingga saat ini belum dapat diberantas secara tuntas. Oleh karena itu, upaya untuk memerangi kejahatan illegal fishing harus mendapatkan skala prioritas. Saya nampaknya masih ragu membenarkan komentar dari Freddy Numberi bahwa, kerja keras aparat penegak hukum telah membawa hasil, terbukti dari kerugian negara yang terjadi akibat illegal fishing yang dari tahun ke tahun dapat ditekan dan telah dapat diselamatkan kerugian negara sebesar kurang lebih satu trilyun rupiah. Jika preposisi ini benar adanya, maka sungguh merupakan sebuah prestasi yang cukup membanggakan, kendtipun kita menyadari masih banyak terdapat kerugian negara akibat dari praktek illegal fishing tersebut.
Dunia Internasional telah menyatakan bahwa tindak pidana perikanan dan tindak pidana lainnya seperti pengangkatan benda berharga secara illegal, pencemaran laut dan perusakan ekosistem laut, pengeboman terumbu karang, perusakan hutan bakau, dan bahkan perampokan pada budidaya laut, wajib diperangi. Harus diakiui, salah satu faktor dominan terjadinya tindak pidana tersebut di atas adalah lemahnya penegakan hukum dan lambatnya penyelesaian kasus per kasus yang telah ditangani oleh aparat penegak hukum mulai dari proses penyidikan, penuntutan hingga putusan pengadilan yang bersifat in craht. Secara nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan RI telah merumuskan upaya-upaya upaya memerangi dan menanggulangi praktek-praktek illegal fishing dan tindak pidana lainnya di laut. Upaya-upaya yang dimaksud seperti : Penguatan armada nasional, melalui peningkatan armada perikanan terutama yang dimiliiliki oleh nelayan skala kecil sehingga mampu beroperasi di wilayah off shore, baik untuk kepentingan ekonomi maupun fungsi sebagai security belt. Pada saat yang sama secara bertahap tapi pasti juga diadakan optimalisasi intensitas penangkapan pada setiap wilayah perairan sesuai potensi wilayahnya; penerbitan izin bagi beroperasinya kapal-kapal ikan asing, yang saat ini telah diterbitkan Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.60/MEN/2001 tentang penataan terhadap status kapal asing atau eks asing melalui skema purchase on installment, joint venture, atau licensing, sepanjang masih terdapat surplus jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB); Pengembangan teknologi pengawasan, melalui pelaksanaan VMS dan sistem informasi terpadu (CDB) melalui jasa satelit serta patroli pengawasan dangan menggunakan Kapal Pengawas Perikanan pada perairan rawan terjadinya illegal fishing.
Memang penanggulangan atas praktek illegal fishing sampai saat ini masih menghadapi berbagai kendala baik teknis maupun nonteknis. Salah satu kendala yang menjadi penghambat utamanya adalah banyaknya oknum petugas baik sipil maupun aparat penegak hukum sendiri yang menjadi ”backing” para pelaku illegal fishing tersebut. Tidak mudah memang menyeret para pelaku illegal fishing terutama oleh nelayan-nelayan asing ke proses hukum yang fair. Kita masih ingat kasus penangkapan kapal ikan Filipina beberapa waktu yang lalu oleh Pol Airud Polda Maluku Utara. Kini berkas perkaranya masih terkatung-katung lantaran masih terdapat beda persepsi antara pihak kepolisian (Penyidik Pol. Airud Polda Malut) dan pihak Kajari Ternate soal penetapan para tersangkanya. Lebih jauh, praktik pungutan liar oknum aparat relatif menyebar merata di seluruh perairan nusantara. Selain itu, praktik pungutan liar pun kerap terjadi di instansi pemerintahan, misalnya pungli terhadap kegiatan proyek pembangunan kelautan dan perikanan. Menurut FAO, kerugian Indonesia akibat pencurian tersebut setiap tahunnya mencapai lebih dari 4 miliar dolar AS. Selain kerugian negara tersebut, praktik illegal fishing telah menimbulkan dampak-dampak yang lain seperti pertama, keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan-nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia menjadi terganggu. Hal ini disebabkan, nelayan asing selain melakukan pencurian ikan juga tak jarang menembaki nelayan-nelayan tradisional yang lagi melakukan penangkapan ikan di fishing ground yang sama. Kedua, sebagai dampak dari masalah pertama tadi, tak jarang terjadi konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan asing. Ketiga, penangkapan ikan menjadi tidak terkendali sehingga tidak dapat dipungkiri kalau ke depannya akan terjadi over fishing dan rusaknya ekosistem perairan tersebut.
Penutup
Pemerintah sulit mencegah pencurian ikan oleh kapal asing selama tidak adanya koordinasi antar institusi yang berfungsi menjadi pengawal laut dan pantai yang baik. Mestinya sekarang ini fungsi pengamanan laut dan pantai dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan berbagai institusi baik lintas instansi pemerintah mapun non pemerintah. Lemahnya sistem pengawasan dan pengamanan di laut menyebabkan praktek illegal fishing kian marajalela seolah tak terkendali diberbagai perairan Indonesia apalagi di wilayah perairan Maluku Utara. Secara nasional, kapal-kapal ikan yuang berbendera asing sering ditangkap keamanan laut akibat illegal fishing tetapi tidak jarang dilepas setelah membayar kepada oknum petugas dan begitupun ketika tertangkap oleh petugas laut dari kesatuan yang lain. Karena itu banyak kapal ikan yang tidak mengurus izin operasi yang mahal, sebab bisa dibayar di lautan lepas. Berdasarkan data dari Departemen Kelautan dan Perikanan jumlah kapal ikan berbendera asing yang beroperasi secara illegal di perairan Indonesia sudah mulai menurun. Dari sedikitnya mencapai 5.000 unit menjadi sekitar 4.000 unit setelah dilakukan upaya penertiban. Dari upaya penertiban melalui keharusan kapal asing mengurus izin operasional itu, maka kerugian negara akibat illegal fishing yang mencapai sekitar US$4 miliar dapat ditekan menjadi US$1 miliar atau setara dengan satu triliun rupiah. Salah satu penyebab kegiatan illegal fishing di beberapa kampung nelayan terutama di pesisir wilayah Halmahera karena lemahnya pengontrolan oleh aparat penegak hukum. Tingkat pengetahuan masyarakat nelayan yang rendah juga menjadi faktor pendukung dilegalkannya praktek illegal fishing. Angka praktek illegal fishing oleh nelayan lokal di Maluku Utara sebenarnya tidak terlalu signifikan bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan-nelayan asing. Bentuk-bentuk praktek illegal fishing di perairan Maluku Utara secara umum berupa menggunakan bahan peledak dan bahan kimia seperti bom dengan bahan berupa pupuk dalam berbgai jenis, Bius seperti Kalium Cianida-KCn dan memakai Tuba (Akar tuba) termasuk penangkapan ikan tanpa izin. Sebagai Upaya pemberantasan illegal fishing khususnya di propinsi Maluku Utara, maka pemerintah daerah mestinya tidak boleh pasif. Artinya pemerintah bekerjasama dengan aparat penegak hukum harus mengidentifikasi wilayah laut yang dikategorikan rawan terjadi illegal fishing di perairan Maluku Utara.
Memang penanganan komplesitas persolan illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan tradisional kita memerlukan sejumlah strategi kebijakan yang bersifat terpola secara sistematis. Dalam konteks ini, dibutuhkan strategi penanganan dampak kegiatan illegal fishing yang langsung mengarah pada pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan dan penguatan kelembagaan kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat watchdog atau lembaga social control. Disamping itu, pelaksanaan kegiatan penyuluhan dan pelatihan (Diklat) serta penegakkan hukum terutama penerapan sanksi hukum yang tegas alias tidak diskriminatif.
Kasus illegal fishing akhir-akhir ini marak terjadi di Maluku Utara. Proses hukum terhadap sejumlah kapal ikan berbendera Filipina dan Thailand yang rata-rata berbobot mati di atas 120 gross ton, hingga sekarang belum jelas juntrungannya. Dalam kerangka penegakan hukum terhadap pelaku Illegal fishing tersebut, maka straregi dan upaya konkret yang harus dilakukan oleh para aparat penegak hukum kita adalah tidak berlaku diskriminatif dalam proses hukum terhadap para pelaku Illegal fisihng. Disamping itu, para aparat yang diduga menjadi backing-an praktik illegal fishing juga harus ditindak dan proses sesuai hukum yang berlaku. Karena tanpa adanya upaya menyeret para “backing-an” tersebut, praktik illegal fishing di perairan kita akan semakin merajalela. Termasuk menindak tegas aparat yang melakukan pungutan liar terhadap kapal-kapal milik nelayan di seluruh perairan Maluku Utara. Kita harus mengangkat jempol pada gebrakan menteri Kehutanan yang telah mengungkapkan dan menyeret para cukong illegal logging ke pengadilan dalam upaya mengatasi pembalakan liar hutan kita. Langkah tersebut hendaknya juga menjadi contoh bagi aparat penegak hukum beserta pemerintah daerah Maluku Utara dalam upaya mengatasi pelaku illegal fishing di wilayah perairan Maluku Utara. Semoga***.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar