Kamis, 30 April 2009


PUTUSAN MK; SOLUSI ATAU PROBLEM

Oleh
King Faisal Sulaiman,
Dosen Fak. Hukum Unkhair & Legal Consultant

Prolog
PILKADA, itulah tema sentral yang kini marak diperbincangkan khalayak ramai dari level grass root hingga group elite. Kita nggak perlu kaget atau surprise, jika hajatan Pilkada sekarang disambut dengan antusias dengan segala bentuk persiapan penyelenggaraasn oleh sejumlah daerah se-antero Indonesia. Namun diluar dugaan, Putusan Mahkamah Konstitusi justru menimbulkan ambivalensi sikap oleh sejumlah infrastruktur politik lokal (Parpol, Panwas, DPRD dan KPUD) di dalam menyambut hajatan Pilkada tersebut. Betapa tidak, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagaian yudicial review atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pilkada masih dinilai konroversial. Kalangan yang pro menilai bahwa langkah yang diambil oleh MK sudah cukup adil dan mencerminkan nilai demokrasi yang cukup egaliter. Di sisi lain bagi para pihak kontra, mereka menilai bahwa putusan MK tersebut sangat banci alias justru memberikan celah hukum yang negatif dan semakin meng-alienasi unsur kepastian hukum payung hukum Pilkada yakni UU No 32/2004 dan PP No.6 tahun 2005. Memang Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) setidaknya membawa angin segar bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Namun demikian, tidak ada garansi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak akan menimbulkan implikasi hukum maupun politik yang fatal bagi pelaksanaan Pilkada tersebut. Ulasan sederhana dalam artikel ini akan mencoba menyentil dan mendiagnosa secara supel beberapa problem krusial terkait Putusan MK yang dimaksud.
Sebagaimana diketahui, permohonan uji matreril atau judicial review atas UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) diajukan oleh dua kelompok Pemohon substansi gugatan yang berbeda, yakni kelompok pertama terdiri dari sebanyak 12 pimpinan parpol se- Propinsi Sulawesi Utara. Mereka adalah Ferry Tinggogoy (PKB), Liang Gun Wa (PBSD), Jack C Parera, (PPIB), H Achmad Buchari (PBR), Wilson Buyung (PPDI), Abdullah Satjawidjaja (Ketua PPNUI), Danny Watti (PPD), Firasat Mokodompit (PKPB), Ferdinand D Lengkey (PNI-M), Anthon T Dotulong (PPDK), Bulahari (PSI), dan Sonny Lela (Partai Merdeka). Permohonan Ferry Tinggogoy dan kawan-kawannya didaftarkan ke MK pada 26 Februari 2005, dengan register nomor perkara 005/PUU-III/2005. Mereka mengajukan permohonan untuk menguji UU N0.32 tahun 2004 tentang Pemda pada penjelasan Pasal 59 ayat 1 yang menyebutkan partai politik atau gabungan partai politik adalah partai yang memiliki kursi di DPRD. Menurut para pemohon, UU No. 32 Tahun 2004 tersebut kontraproduktif dengan konstitusi kita yakni pasal 18 ayat 4 dan pasal 28 I UUD 1945.
Selain itu, pasal 59 ayat 1 UU No.32 tahun 2004, menurut pemohon, tidak mencerminkan azas demokrasi dan hanya mengakomodir kepentingan partai-partai yang memperoleh kursi di DPRD, serta diskriminatif. Menurut mereka, pasal 59 ayat 1 UU No.32/2004 juga mendiskualifikasikan partai-partai yang tidak memiliki kursi, padahal jika dilihat dari akumulasi suara sah yang diperoleh, partai tersebut memiliki suara yang cukup besar, bahkan bisa melampaui jumlah suara dari partai-partai yang mendapat kursi di DPRD. Pemohon menilai penjelasan Pasal 59 ayat 1 mengesankan adanya arogansi partai politik pemenang pemilu yang tidak memberikan peluang terjadinya perubahan secara demokratis dengan memberikan alternatif adanya pasangan calon yang bervariasi dari berbagai sumber. Permohonan ini dikabulkan MK, artinya partai-partai kecil pun berhak mengajukan calon meski kursi mereka di DPRD tidak mencapai 15% yang penting jika mereka (Parta-partai gurem) melakukan koalisi dan akumulasi suaranya mencapai minimal 15 %.
Dengan kata lain, partai yang tidak punya kursi di DPRD dapat mengajukan calon dengan menggandeng partai yang punya kursi di DPRD atau dengan menggandeng partai lain sehingga akumulasi perolehan suara hasil pemilu legislatif lalu mencapai 15 persen maka mereka berhak mengusung satu paket calon kepala daerah. Keluarnya putusan MK secara otomotis memberikan peluang dan ruang demokrasi bagi masyarakat yang lebih besar untuk mengajukan diri menjadi calon kepala daerah. Selain itu, peluang bagi parpol gurem untuk mengusung calon-calon independen yang memiliki kredibilitas dan integritas tinggi terhadap daerahnya sanga terbuka lebar. Kelompok Pemohon Uji Materiil yang kedua terdiri dari lima LSM yakni Cetro, ICW, JPPR, JAMPPI, serta YAPPIKA beserta 21 KPUD. KPUD yang dimaksud antara lain; KPUD Jatim, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Banten, DIJ, Sumut, Kaltim, Sumsel, Lampung, dan Gorontalo. Mereka mengajukan permohonan untuk menguji sejumlah Pasal-Pasal dalam UU N0.32 tahun 2004 tentang Pemda yang dianggap bermasalah atau tidak sejalan dengan UUD 1945. Permohonan ke empat LSM tersebut tercatat dengan registrasi perkara No.072/PUU-II/2004 sedangkan permohonan ke 21 KPUD yang dimaksud tercatat dalam registrasi perkara No.73/PUU-II/2004.
Mahkamah Konstitusi, hanya mengabulkan pembatalan empat di antara sepuluh Pasal yang diuji. Keempat pasal tersebut secara khusus menyangkut peran DPRD pada penyelenggaraan Pilkada. MK memutuskan bahwa untuk pertanggungjawaban penyelenggaraan Pilkada, KPUD akan bertanggungjawab langsung ke publik. Sedang kepada DPRD, KPUD hanya menyampaikan laporan penyelenggaraan. Khusus tiga pasal yang dibatalkan yakni Pasal 57 ayat 1, pasal 66 yat 3 huruf e dan pasal 67 ayat 1 huruf e, maka dengan dikabulkannya permohonan gugatan ketiga pasal tersebut berarti KPUD tidak lagi harus bertanggungjawab terhadap DPRD termasuk soal anggaran. Lebih lanjut MK menilai, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD akan merusak kemandirian, trnasparansi dan independensi proses pilkada itu sendiri. Tetapi, MK menolak gugatan pemohon untuk membatalkan pasal 65 ayat (1), pasal 89 ayat (3), pasal 94 ayat (2), dan pasal 114 ayat (4), terkait dengan peran dan keterlibatan pemerintah dalam pilkada secara langsung. Seperti diketahui, Pasal 57 ayat (1) menyebutkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD. Pasal 66 ayat (3) huruf e mengatakan tugas dan wewenang DPRD. Pasal 67 ayat (1) huruf e menyebutkan KPUD mempertanggungjawabkan anggaran kepada DPRD. Pasal 82 ayat (2) mengatakan pasangan calon atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD.
Peran DPRD Di Kebiri
Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan penting yakni merombak mekanisme pertanggungjawaban pemilihan kepala daerah. Dalam putusannya, ditegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai penyelenggara pilkada tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD seperti dalam UU Pilkda sebelumnya. Memang harus dipahami bahwa kemandirian KPUD sebagai penyelenggara pilkada tidak mungkin dicapai kalau harus bertanggung jawab kepada DPRD sebagai lembaga politik yang terdiri atas unsur-unsur parpol. DPRD yang anggotanya terdiri dari beragam wakil partai politik termasuk pelaku dalam kompetisi pilkada itu (mengajukan pasangan calon dan berkoalisi). KPUD pun tidak mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD. Sebab, hal itu juga berpotensi mengancam independensi penyelenggara pilkada. DPRD sebagai lembaga politik dianggap memiliki kepentingan politik dalam persaingan kekuasaan di tingkat lokal dan bisa mengintervensi KPUD melalui anggaran. Karena itu, KPUD harus bertanggung jawab kepada publik. Namun, MK dalam putusannya tidak merincikan secara ekstrinsik seperti apa atau lembaga mana yang bisa merepresentasikan “publik” selain DPRD tersebut. Problem pertanggungjawaban anggaran Pilkada juga tidak jelas. Dalam kacamata saya, meskipun tidak di rinci tetapi bila anggaran pilkada diberikan oleh pemda dan bantuan dari APBN, maka mekanisme pertanggungjawabannya kepada pemerintah dengan audit oleh institusi BPK/BPKP.
Memang sulit menerima alasan KPUD harus bertanggung jawab kepada DPRD karena DPRD bukan legislator dalam pengaturan pilkada yang harus dilaksanakan KPUD. Demikian halnya KPUD yang bekerja berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) bukan pada Keputusan KPU sulit bertanggung jawab kepada KPU sebagai penyelenggara nasional. Sebagaimana diketahui KPU tidak dilibatkan sama sekali dalam pilkada, baik sisi aturan maupun anggaran. Jika MK menyebutkan KPU sebagai tempat KPUD bertanggung jawab, maka agak sulit diterima karena KPU tidak mengeluarkan produk hukum Keputusan KPU sebagai acuan KPUD. Namun jika dilihat dari sisi hierarki struktur KPU dengan KPUD-KPUD maka mekanisme pertanggungjawaban kepada KPUD kepada KPU merupakan sesuatu yang logis dan dapat dipahami. Jika MK menyebutkan pertanggungjawaban KPUD kepada pemerintah maka hal itu semakin menjadikan pilkada tidak independen sebagaimana juga kalau bertanggung jawab kepada DPRD. Jadi putusan MK ini cukup membingungkan bagi publik. Publik bertanya kenapa MK tidak tegas memutuskan bahwa KPUD bertanggung jawab kepada KPU karena KPUD adalah “bawahan” secara hirarkis dari KPU. Pertanggungjawaban KPUD kepada publik mau tidak mau mengharuskan partisipasi publik yang tinggi dalam pengawasan pilkada.
MK juga menilai bahwa DPRD tidak berhak membatalkan pasangan calon yang berdasarkan putusan pengadilan, terbukti melakukan money politics atau melanggar rambu-rambu Pilkada itu sendiri. Kewenangan yuridis untuk membatalkan pasangan calon itu, dikembalikan ke KPUD karena lembaga itulah yang menetapkan pasangan calon. Dalam hal ini, MK menggunakan prinsip hukum a contrario actus, artinya pembatalan suatu tindakan hukum harus dilakukan badan yang sama dalam pembentukannya. MK memang membatalkan kewenangan DPRD untuk menerima pertanggungjawaban dari KPUD. Tetapi DPRD masih mempunyai hak untuk membentuk panwas. Seperti diketahui bahwa DPRD tidak semua kewenangan DPRD dipangkas oleh MK. DPRD masih punya satu kewenangan yuridis yakni membentuk panitia pengawas atau panwas. Dalam sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (5 dan 7) UU Pemda disebtukan bahwa pengawas provinsi/kabupaten/kota/kecamatan dibentuk oleh DPRD. Esksistensi panitia pengawas dapat dimintakan perannya secara luas untuk mengawasi kinerja anggota KPUD. Perlu diketahui bahwa Pasal yang mengatur mekanisme pemebentukan Panwas ini juga di ajukan yudicial review namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Jika disikapi secara ekstara normatif, maka pola pembentukan Panwas ini sangat berbeda dengan Pemilu 2004 yang lalu. Pada pemilu 2004 lalu, panitia pengawas dibentuk oleh KPU dan KPUD.

Pro Kontra peran KPU
Dalam kontes Pilkada 2005 sekarang, KPU sama sekali tidak begitu siginifikan memainkan perannya seperti pada pemilu legislatif dan Pilpres 2004 yang silam. Ternyata argumentasi yuridis pengamputasian kewenangan KPU dalam pilkada langsung 2005 sekarang adalah Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan umum. Pasal ini, secara eksplisit meyebutkan bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), presiden dan wakil presiden, dan DPRD. Tetapi tidak disebutkan secara jelas untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Aturan mengenai pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah ternyata atur dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah UUD 1945 yakni pada Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi; Gubernur, Bupati, dan Wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara “demokratis”. Kalau dianaliasa secara yuridis, maka setidak-tidaknya Pasal 18 Ayat (4) ini, memunculkan beberapa unsur kekurangan. Pertama, tidak ada unsur ketegasan secara eksplisit bagaimana wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota dipilih. Kedua, pemilihan kepala daerah hanya disebutkan secara parsial yang menganding unsur quasi yakni bahasa “demokratis”, artinya tidak disebutkan secara jelas sebagaimana pada Pasal tentang pemilihan umum yang menegaskan dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Apakah yang dimaksud dengan “demokratis” mengandung unsur sinonimitas dengan asas “luber jurdil” tersebut. Ketiga, secara kronologis, pengaturan Pasal 18 Ayat (4) mengenai pemerintahan daerah seperti dalam UUD 1945 merupakan hasil amendemen tahap II, sedangkan Pasal 22E UUD 1945 tentang pemilu adalah hasil dari perubahan atau amandemen UUD 1945 tahap III. Mestinya para pembuat konstitusi dapat memasukkan pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah sebagai bagian dari pemilu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22E UUD 1945. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dijadikan acuan oleh pemerintah dalam membuat PP Pilkada No 6/2005. Sedangkan UU Pemda juga berpedoman pada pasal Pemda UUD 1945 dalam penyusunannya termasuk pointer pemilihan kepala daerah langsung tidak mengacu kepada Pasal 22E UUD 1945 tentang Pemilu. Jadi sesungguhnya Pasal 22E UUD 1945 sama sekali dikeluarkan dari acuan dalam membentuk UU Pemda dan PP Pilkada yang juga mengatur pemilihan kepala daerah.
Ada Kesan Ambivalen
Jika tilik secara cermat, terdapat ambiguitas penafsiran dan inkonsistensi yuridis atas Putusan MK tersebut. Seperti diketahui bahwa ternyata dasar hukum amar putusan MK yang tidak diberlakukan secara menyeluruh terhadap pengambilan keputusan tersebut. Dasar hukum MK untuk mengabulkan sebagian permohonan adalah untuk menjaga independensi KPUD, menjaga kualitas pilkada, pentingnya asas luber dan jurdil. Tetapi, dasar pertimbangan hukum tersebut tidak dijadikan dasar bagi pasal-pasal yang menyatakan keterlibatan pemerintah. Keterlibatan pemerintah semata-mata merupakan perintah UU No 32/2004, tanpa menyinggung kekhawatiran besarnya potensi intervensi pemerintah dalam proses pilkada. Dengan demikian kendati putusan MK ini memberikan ruang partisipasi publik dalam yang lebih longgar dalam frame demokrasi, namun putusan MK tersebut tetap tidak mampu membaptiskan kualitas dan nilai-nilai demokrasi secara perfecto dalam pentas pemilihan kepala daerah secara langsung.
Ada hal lain yang juga menarik perhatian kita yakni pertimbangan MK yang terkesan meragukan independensi KPUD dapat terjaga dengan sistem yang berlaku saat ini, tapi justru tidak menganulirnya. Majelis hakim MK bahkan menyinggung tidak terjaminnya independensi KPUD akan mengganggu hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan sebagaimana diatur pasal 1 (2) UUD 1945 dan jaminan kepastian hukum dalam pasal 28D UUD 1945. Lebih lucu lagi, MK justru menganjurkan supaya di masa datang penyelenggaraan Pilkada langsung idealnya di bawah kendali dan tanggung jawab KPU. Acuan yang dipakai adalah pasal 22E UUD 1945 yang mengatur tentang pemilu. Sejumlah alasan yang di kemukakan MK, antara lain, demi efisiensi penyelenggaraan pemilu oleh lembaga yang independen, profesional, didukung sistem yang kuat dengan segala perangkat kelembagaan dan pranatanya. KPU Pusat pun diwajibkan tetap melakukan koordinasi dan supervisi kepada KPUD karena hierarkinya tetap ada. Satu pasal lain yang juga ditolak MK adalah pasal 106 (1 sampai 7). Lima LSM dan 21 KPUD menganggap perselisihan hasil pilkada bukan wewenang Mahkamah Agung (MA), tetapi harus diputus MK, seperti halnya Pemilu 2004 lalu. Pemikiran itu tetap berangkat dari asumsi para majelis hakim MK bahwa Pilkada adalah bentuk pemilu. Tapi, karena pembentuk Undang-undang (legal drafter) Pemda tidak menentukan pilkada langsung merupakan pemilu, MK memandang bahwa perselisihan Pilkada merupakan tambahan kewenangan MA yang diberikan UU. Hal itu diatur dalam pasal 24A (1) UUD 1945. Hemat saya sikap MK yang tetap memberikan peluang bagi MA dalam gugatan perkara pilkada dapat memancing intervensi kekuasan atau politik oleh pemerintah.
Hemat saya agar tidak terjadi ambivalensi pola pemkanaan terhadap UU Pilkada itu sendiri, maka idealnya pilkada langsung harus tetap diletakkan dalam kerangka Pemilihan Umum. Sejatinya, MK harus mengabulkan semua permohonan uji materiil. Proses penyelenggaraan Pilkada seyogyanya diserahkan kepada KPU, KPUD provinsi, dan KPUD kabupaten/kota sebagai penyelenggara pemilu secara nasional, tetap, dan mandiri sehingga tidak lagi menimbulkan implikasi hukum dan politik yang menyesatkan masyarakat. Putusan MK kali ini disamping terdapat nilai demokrasinya, tetapi ternyata juga memberikan pemahaman yang berwahyu arti. Di satu sisi Mahkamah Konstitusi kita menolak secara normatif legalistik bahwa Pilkada langsung bukanlah atau tidak bisa diketagorikan sebagai pemilu. Sementara di sisi lain, MK menginstruksikan dan mengakui bahwa segala tahapan dan proses serta asas- asas dalam penyelenggaraan pilkada mengikuti prosedur dan asas-asas pemilu sebagaimana dalam UUD 1945 Junto UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Legisltaif dan UU No. 23 tentang Pemilu Pilpres dan Wapres. Sikap MK yang menolak permohonan yang diajukan KPUD dan sejumlah LSM tentang Pilkada harus menjadi bagian dari Pemilu, sesungguhnya mencerminkan bahwa hakim MK mungkin kurang atau bahkan pura-pura tidak tahu legal spirit yang terkandung dalam UUD 1945. Kita dapat berhipotesa bahwa anak Sekolah Dasar pun tahu jikalau ditanya pemilihan Walikota/Bupati itu Pemilu atau bukan, mereka pasti dengan lantang menjawab itu pemilu !!. Saya menduga bahwa terdapat intervensi politik yang cukup kuat dari pemerintah dalam proses putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sehingga walhasil terjadi diseenting oponion yang amat mencolok yakni 3: 6. Pada kenyataanya para hakim MK sebanyak tiga orang yang melakukan dissenting opinion itu, sejalan dengan para saksi ahli yang juga menghendaki Pilkada harus merupakan bagian dari Pemilu.
Menurut Smita, dalam UU Pemda, Depdagri memang tidak memiliki wewenang besar. Tapi, alokasi anggaran yang diperolehnya bisa sangat besar. Misalnya, dengan pengajuan anggaran pengadaan perangkat TI Pilkada yang sebenarnya sudah dimiliki KPU Pusat. Oleh karena perlu beberapa langkah antisipatif dan emergency yang harus ditempuh pasca keluarr putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini. Pertama; mendorong keras KPU Pusat mengajukan sengketa kewenangan antar lembaga dalam pilkada (KPU vs Depdagri) ke MK. Kedua; Perlu segara merevisi Undang-undang tentang MK untuk lebih memantapkan independensi Mahkamah Konstitusi. Ketiga, mendesak MPR untuk mengubah kembali pasal tentang pemilu dalam konstitusi. Idealnya agar tidak terjadi sikap ambivalen, keseluruhan Pasal yang bertalian dengan Pemilu harus digabungkan dalam Pasal 22 UUD 1945. Upaya untuk menyelaraskan pemilihan kepala daerah dengan pemilihan umum akan menemui kendala secara konstitusional. Hal ini bisa diatasi bila pasal 22E UUD 1945 di tinjau kembali artinya harus sempurnakan bahwa pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah adalah satu rangkaian pemilihan umum sehingga dengan demikian kita tidak perlu berdebat lagi apakah KPU berfungsi sebagai penyelenggara pilkada atau tidak.
Efek putusan MK
Dengan dihapuskannya beberapa pasal dalam UU Pemda, maka aturan-aturan yang terkait dengan pilkada dalam PP Pilkada juga harus direvisi. Pasal-pasal terkait adalah pasal 4 ayat (4) PP Pilkada tentang KPUD bertanggung jawab kepada DPRD, pasal 6 ayat (e) PP Pilkada tentang KPUD mempertanggungjawabkan anggaran pilkada kepada DPRD, Pasal 64 ayat (2) tentang pembatalan pasangan calon oleh DPRD dan penjelasan tentang partai politik/gabungan partai politik yang boleh mengajukan calon. Revisi PP Pilkada tidak membutuhkan waktu yang lama sehingga pilkada yang dijadwalkan bulan Juni mendatang tetap dapat dilaksanakan. Pemerintah harus segera mengeluarkan Perpu dan PP Pilkada hasil revisi agar proses persiapan pilkada tidak tersendat. Anggaran pilkada yang berasal dari APBN dan APBD tentu harus diawasi secara ketat karena belum ada aturan ke mana KPUD harus mempertanggungjawabkannya. Jika dana ini berasal dari anggaran Depdagri yang dialokasikan oleh APBN/APBD maka kemungkinan besar mekanisme pertanggungjawabanannya kepada pemerintah dan pemda/pemkot. Hal ini mendorong kekhawatiran bahwa KPUD dalam menjalankan tugasnya tidak independen/mandiri. Namun setidaknya KPUD sementara ini lepas dari shadow DPRD yang dikuasai politisi partai yang juga sekaligus pemain pilkada nanti. Sangat tepat jika, dilihat dari sisi politik DPRD. Tapi jika DPRD dilihat sebagai representasi/wakil rakyat yang bertanggung jawab kepada rakyat, maka peran DPRD dalam pilkada dapat dibenarkan. Namun jika kita mencermati sepak terjang dan performa para anggota DPRD pada periode silam dan sekarang agak diragukan keberpihakannya pada kepentingan umum. Fakta berbicara bahwa sebagaian besar wakil rakyat kita masih suka melakukan “politik dagang kambing”' untuk mencapai tujuan politik partai/kelompoknya terutama dalam perebutan kepala daerah.
Putusan MK yang membatalkan empat pasal dan satu penjelasan UU Pemda/2004 setidaknya menimbulkan perubahan proses pelaksanaan pilkada. Kekhawatiran bahwa DPRD dapat mengintervensi proses pilkada dapat dieliminasi. Dalam UU Pemda memang ada kewenangan strategis KPUD yang diambil oleh DPRD terutama pembatalan calon. Namun putusan MK sepenuhnya memberikan kewenangan pada KPUD untuk melaksanakan pilkada tanpa dapat diintervensi oleh institusi lain, kecuali dari sisi anggaran dan aturan pilkada dalam PP yang masih mengkhawatirkan. Di samping itu, kemungkinan calon tunggal karena pembatasan calon kepala daerah minimal 15% suara partai/gabungan yang memiliki kursi DPRD dapat dihindari. Justru sebaliknya akan banyak calon yang muncul dari partai-partai kecil yang dalam pemilu legislatif 2004 lalu memiliki suara sah namun tidak memiliki kursi DPRD karena tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP). Persaingan dan suasana politik lokal/daerah akan semakin meriah. Tidak menutup kemungkinan kandidat dari kalangan independen atau non partisan ikut meramaikan bursa Pilkada melalui partai-partai yang tidak punya kursi DPRD. Dengan begitu paling tidak, potensi konflik antarcalon atau antarpendukung calon yang mengakibatkan konflik horizontal dapat di minimalisir. Politisasi yang berkembang di DPRD untuk menjegal calon dalam pilkada tidak lagi dapat dilakukan karena
kewenangan penetapan calon sepenuhnya berada di tangan KPUD sehingga turut menghindari timbulnya konflik antar partai. Ingat Pilkada sebagai pesta demokrasi rakyat yang baru terjadi dalam tradisi sejarah politik nasional kita selama ini. Sebagai sebuah fenomana baru dalam transisi demokrasi yang kini berlangsung, keberhasilan dan kegagalan, pelaksanaan Pilkada 2005 akan menjadi faktor deterministik bagi kualitas berdemokrasi bangsa kita yang masih gemar “KORUPSI DAN BER-MONEY POLITIK ini”. Sekian ****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar