Kamis, 30 April 2009

MEMBEDAH PAYUNG HUKUM PILKADA

Oleh ;
King Faisal Sulaiman SH1,
Direktur Eksekutif LBH Maluku Utara
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Maluku Utara

Secara nasional, Pilkada langsung merupakan salah satu positive impact dari kebijakan otonomi daerah dan bagian dari proses transisional demokrasi menuju kemandirian daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Pilkada langsung Maluku Utara pada tahun ini akan menjadi faktor determinan di dalam menentukan arah pembangunan daerah ini minimal dalam lima tahun mendatang. Kini Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pilkada) dan PP Nomor 6 Tahun 2005 Junto dan PP Nomor 17 Tahun 2005 telah disepakati menjadi sandaran normatif bagi pelaksanaan Pilkada langsung. Namun masyarakat harus menyadari, kontravesi diseputar aturan main pemilihan kepala daerah secara langsung ternyata masih terus bergulir hingga sekarang. Sebagai produk hukum yang lahir dari sebuah proses politik yang cukup menguras energi bangsa, Pilkada langsung tentunya masih mengundang pro-kontra dalam kalangan masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 dan Nomor 005/PUU-III/2005, turut memberikan implikasi hukum dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Instrumen hukum Pilkada secara langsung yang sarat masalah ini, akan menjadi salah satu alat pemantik betapa dinamika politik lokal di Maluku Utara dalam waktu dekat ini akan terasa cukup panas dan bergejolak. Pendidikan politik masyarakat yang lemah dan ketidakjelasan aturan dalam UU Pilkada menjadi kontributor utama terhadap kemungkinan munculnya dinamika politik yang cenderung tidak sehat. Tulisan ini akan mencoba mendiagnosa secara sederhana beberapa problem krusial yang terkait dengan instrumen hukum pilkada langsung.
UU No. 32/2004; Sarat Ambiguitas
Amatan saya, sebetulnya sejak awal sudah terdapat kecolongan paradigma hukum dan main stream berpikir yang dipakai oleh para pembuat UU pilkada itu sendiri. Secara yuridis, Pasal 22E UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD sama sekali tidak dijadikan sebagai konsideran normatif dalam memproduksi Undang-undang Pilkada tersebut, akan tetapi justru yang dipakai sebagai konsideran utama adalah Pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945 mengenai pemerintahan daerah. Jika kita menakar dan mencoba untuk memboboti substansi dari Pasal-Pasal yang tercantum dalam UU Pilkada itu, maka kita akan menyimpulkan bahwa para pembuat Undang-undang Pilkada lebih memilih menempatkan pemilihan kepala daerah dalam koridor Pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945 ketimbang dalam bingkai Pasal 22E UUD 1945. Hal ini dilatari pada penafsiran dan pertimbangan bahwa kepala daerah pada prinsipnya dipilih secara demokratik seperti bunyi yang tertera dalam Pasal tersebut. Konsekuensinya pesta demokrasi berupa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh UU No. 32 Tahun 2004 tidak diklasifikasikan sebagai bagaian dari “pemilihan umum”, sungguh langkah yang terlalu prematur dan ambivalen.
Pasal 22E UUD 1945 menyebutkan bahwa, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD. Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Untuk itu, pemilihan kepala daerah tidak dimasukkan ke dalam Pasal 22E UUD 1945 karena pemilihan kepala daerah sudah diatur terlebih dahulu dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang secara general dam ambivalen menegaskan bahwa suksesi kepala daerah dipilih secara “demokratik”?. Perlu diketahui, Pasal 18 merupakan hasil amandemen tahap II UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 2000, sedangkan Pasal 22E merupakan hasil amandemen fase ke III UUD 1945 yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Pada saat perubahan kedua dilakukan belum ada kejelasan tentang pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung sehingga rumusan yang digunakan untuk pemilihan kepala daerah masih bersifat umum, yaitu dipilih secara demokratik. Menariknya, ketika terjadi proses amandemen tahap ketiga dilakukan, fraksi- fraksi di MPR terkesan membiarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen kedua tersebut dielaborasikan dengan sebuah produk hukum berupa UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah tersebut
Pada sisi lain, untuk melaksanakan instruksi Pasal 22E UUD 1945, diterbitkanlah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Agar lebih konsisten dengan ketentuan ayat (1) Pasal 6A UUD 1945, khususnya presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan dengan ketentuan ayat (3) Pasal 18 UUD 1945 yang menghendaki anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum, maka para pembuat undang-undang kemudian menjabarkan ketentuan ayat (4) Pasal 18 UUD 1945 menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Apabila pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR dan DPD, dan pemilihan anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dikategorikan sebagai pemilihan umum maka patut dipertanyakan, mengapa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat justru tidak dikualifisir sebagai “pemilihan umum”?.
Atau mungkin lebih ekstrim, kita bisa bertanya, Apakah paradigma hukum para pembuat undang-undang seperti ini diatas sudah tepat, jika dimaknai dari sisi legalistik dan dalam perspektif pelembagaan sistem penyelenggaraan pemilihan umum ? Hemat saya, harus ada tolak ukur yang jelas dalam mencari jawaban yang tepat terhadap sebuah political question tersebut. Saya sepakat bahwa pilihan para pembuat undang-undang tersebut sangat tidak rasional. Sesungguhnya konstitusi kita (UUD 1945) telah menggariskan bahwa, para pejabat negara dari lembaga legislatif maupun eksekutif di level pusat maupun lokal, dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pasal 6A UUD 1945 mengatur pemilihan presiden dan wakil presiden dalam satu pasangan dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Selanjuntya Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 mengatur pemilihan anggota DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota oleh rakyat melalui pemilihan umum. Begitu pula Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 telah menggariskan bahwa prose pemilihan anggota DPR oleh rakyat melalui mekanisme yang serupa yakni pemilihan umum dan Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 juga mengharuskan pemilihan anggota DPD dalam mekanisme yang sama. Namun tidak ada satupun Pasal dalam UUD 1945 yang menegaskan secara tegas bahwa pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum, melainkan hanya ditegaskan dipilih secara “demokratik” sebagaimana dalam Pasal 18 ayat (4)) UUD 1945.
Paradigma Hukum; Distortif & Keliru
Paparan diatas menyiratkan kesan yang mendalam bahwa paradigma hukum dan kerangka berpikir yang di pakai oleh pembuat Undang-undang Pilkada tersebut sungguh berbanding terbalik atau tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang tertera dalam UUD 1945. Dikatakan demikian karena, Pertama; jika pemilihan kepala daerah merujuk pada pasal tentang pemerintahan daerah (UUD 1945), maka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah idealnya tidak mencederai esensi Pasal 18 ayat (3) UUD1945. Sementara pada Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 mewajibkan (sifatnya imperatif) bahwa, proses pemilihan anggota DPRD propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota melalui pemilihan umum. Apakah mungkin yang dimaksud dengan pemerintahan daerah hanya terdiri atas DPRD tanpa kepala daerah dan perangkat daerah sebagai unsur pemerintah daerah ? Dengan tidak menempatkan pelaksanaan Pilkada sebagai pemilihan umum (kedalam ketentuan Pasal 22E UUD 1945), maka sebagian unsur pemerintahan daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dengan merujuk pada Pasal 22E UUD 1945. Sedangkan unsur lainnya dipilih secara langsung oleh rakyat dengan tidak merujuk pada Pasal 22E UUD 1945. Bila ada argumentasi hukum yang mengharuskan untuk tidak berpedoman pada Pasal 22E UUD 1945 oleh karena pemilihan kepala daerah adalah problem lokal, maka dalam pandangan saya hal ini jelas kontra-produktif dengan klausula dalam Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945 yang mengharuskan pemilihan anggota DPRD melalui pemilihan umum yang diselenggarakan oleh KPU beserta aparatnya di daerah. Bukankah pemilihan anggota DPRD juga soal lokal ?
Kedua; dari segi definitif dan nomenklatur memang proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak diformulasikan secara ekstrinsik sebagai bagian dari “pemilihan umum” tetapi uniknya secara prosedural-normatif, seluruh asas dan rangkaian proses penyelenggaran kepala daerah sama persis dengan substansi pemilihan umum, asas dan tahapan penyelenggaraan pemilihan umum, seperti terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No. 23 Tahun 2003. Perlu diketahui, substansi yang termaktub dalam UU No. 23 Tahun 2003 dan UU No. 12 Tahun 2003 sebenarnya telah dibajak atau dicopy secara kasar seluruhnya kedalam UU No. 32 Tahun 2004. Sehingga secara implisit dapat dikatakan, serangkaian proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, termasuk asas-asas dan tahapannya memiliki unsur sinonimitas semuanya dengan proses penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, DPRD dan presiden dan wakil presiden. Hemat saya, UU No. 32 Tahun 2004 yang tidak mendefinisikan secara jelas pemilihan kepala daerah sebagai pemilihan umum, maka otomatis terdapat inkonsistensi nilai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 itu sendiri. Sekali lagi perlu ditegaskan meskipun proses pemilihan anggota DPRD dilakukan melalui pemilihan umum tetapi pemilihan kepala daerah tidak melalui pemilihan umum namun sejumlah asas dan tahapan-tahapannya sejalan dengan “pemilihan umum”.
Ketiga; bila proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dikendalikan oleh komisi pemilihan umum daerah (KPUD), maka KPUD tetap terikat pada karakteristik yang bersifat nasional, yakni KPUD tetap harus independen, netral dan mandiri. Pasal-pasal tentang pemilihan kepala daerah (Pasal 56 sampai dengan Pasal 119) dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut sama sekali tidak merujuk pada sifat nasional, dan mandiri. KPU bersifat nasional berarti KPU menjadi penyelenggara pemilihan umum untuk seluruh wilayah Negara kesatuan RI, sedangkan KPUD adalah aparatnya di daerah. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, sama sekali tidak mengatur hubungan secara struktural antara lembaga KPUD dengan lembaga KPU. Idealnya makna intrinsik yang harus dipahami adalah lembaga KPU dan lembaga KPUD sejatinya bersifat mandiri dan indepnden. Justru itu, dalam melaksanakan proses pilkada langsung mestinya KPUD tidak berada atau dibawah pengaruh/intervensi politik dalam bentuk apapun. Pada kenyataannnya, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, justru mengharuskan lembaga KPUD membuat tata cara pelaksanaan semua tahap persiapan dan semua tahap pelaksanaan berdasarkan Peraturan Pemerintah, produk hukum yang hanya dibuat oleh pemerintah tanpa melibatkan DPR corong kepentingan rakyat.
Selanjutnya jika kita menginventarisir secara kasar, maka paling tidak terdapat lima Pasal kritis dalam UU Pilkada yang menghendaki penjabaran lebih lanjut dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP). Pertama, Pasal 65 ayat (4), menegaskan bahwa semua masa persiapan dan tahap pelaksanaan Pilkada sepenuhnya dikemudikan oleh KPUD dengan berpegang pada PP. Pasal 66 huruf b, KPUD menetapkan tata cara pelaksanaan Pilkada harus selaras dengan tahapan-tahapan yang tercantum dalam dalam PP. Kedua, Pasal 89 ayat (3), menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan pada pemilih akan diatur lebih lanjut dalam bentuk PP. Ketiga, Pasal 91 ayat (2), menguraikan jumlah, bahan, bentuk, ukuran, dan warna kotak suara menjadi kewenangan KPUD artinya KPUD memiliki kompotensi yuridis untuk menentukannya dengan mengacu pada PP. Keempat, Pasal 111 ayat (4) menegaskan bahwa tata cara pelantikan dan pengaturan kepala daerah akan diatur lebih lanjut dalam produk hukum baru berupa PP. Terakhir, Pasal 114 ayat (4), mengatakan bahwa segala tata cara untuk menjadi pemantau pemilihan dan pemantauan serta pencabutan hak sebagai pemantau pemilihan akan diatur pula dalam produk hukum yang dibuat oleh pemerintah.
Disamping melimpahkan kewenangan yuridis pada peraturan pemerintah (PP), Undang-undang ini juga memberikan kewenangan yang begitu besar pada KPUD untuk melakukan pengaturan dan penetapan, seperti tampak pada Pasal 65 aya (4), 65 huruf a, 66 huruf b, 66 hruf g, Pasal 66 huruf j, Pasal 74 ayat (6), Pasal 75 yayat (9), Pasal 81 ayat (3), Pasal 90 ayat (3), Pasal 91 ayat (2), Pasal 93 ayat (5), Pasal 94 ayat (2), Pasal 109 ayat (3), dan Pasal 109 ayat (4). Kewenangan KPUD terhadap Pilkada langsung dalam UU 32 tahun 2004, begitu mutlak sementara eksistensi KPU sendiri malah menglami kehilangan otoritasnya di dalam menjalankan Pilkada langsung. Mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, kampanye, pasangan calon, audit dana kampanye, hingga pengesahan dan pengangkatan kepal daerah, dan wakil kepala daerah terpilih semuanya di monopli oleh KPUD.
Nampaknya virus sentralisasi kekuasaan kian kental terasa dalam substansi Undang undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemda. Bila dikomparasikan dengan UU No. 22 tahun 1999, UU ini secara sporadis dan frontal memuntahkan kembali substansi otonomi daerah sebagai salah satu pilot poject our democracy selama ini. Kekhawatiran mendasar yang perlu diantisipasi adalah, dengan begitu banyaknya penjabaran UU No. 32 tahun 2004 kedalam sebuah produk hukum berupa PP, maka dengan sendirinya akan memberikan peluang emas bagi pemerintah atau rezim yang tengah berkuasa untuk semakin menancapkan basis politik dan status quo-nya di daerah-daerah. Betapa tidak, produk hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP), merupakan hak prerogatif pemerintah artinya hanya dibuat secara sepihak tanpa melibatkan parlemen. Ingat bahwa pemerintah itu, tidak lain adalah peserta pemenang pemilu sehingga kecil kemungkinan rezim hasil Pemilu 2004 saat ini tidak mempunyai political interest untuk mempertahankan status quo-nya.
UU No. 32 Tahun 2004 sebagia payung hukum pilkada langsung justru sama sekali tidak memberikan peran kepada KPU dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tersebut. Celakanya, penyerahan kewenangan membuat pedoman penyusunan semua tata cara persiapan dan semua tata cara tahap pelaksanaan pemilihan umum kepada Pemerintah (dengan PP) juga tidak sejalan dengan pola kerangka filosofisi para pembuat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Padahal kedua Undang-undang ini menyerahkan sepenuhnya segala proses dan tata cara penyelenggaraan Pemilihan umum kepada tanggungjawab lembaga KPU.
Hal ini sesungguhnya sangat rasionable dan accountable sebab pemerintah sebagai hasil pemilihan umum adalah peserta pemilihan umum. Oleh sebab itu, demi menjamin unsur tidak terjadi keberpihakan dan legitimsai publik dalam penyelenggaraan pemilihan umum, maka pemerintah (baca: salah satu peserta Pemilu) tidak diberi kompotensi yuridis untuk membuat peraturan pelaksanaan. Artinya KPU diberikan kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaan karena lembaga KPU sama sekali tidak berafiliasi dengan peserta pemilihan umum (Parpol) manapun. Kita harus menyadari bahwa Pemilihan kepala daerah kendati tidak dikualifisir sebagai pemilihan umum namun segala asas dan tahapannya konotatif dengan pemilihan umum, suatu hal yang sulit dipercaya. Pertanyaannya mengapa para legal drafter kita, membuat undang-undang pemerintahan daerah, khususnya tentang pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, tidak konsisten dengan UUD 1945 ? Bagi saya tidak ada yang error dengan UUD 1945. Konstitusi kita sudah sedemikian elegan dan egaliter mencoba memayungi sistem rekrutmen penyelenggara negara baik di pusat maupun daerah baik pada tataran legislatif maupun dalam ranah eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat kita melalui mekanisme pemilihan umum.
Aturan Pelaksana; Amburadul & Confuse
Ada beberapa pointer penting yang perlu di telusuri dan dikritisi secara mendalam terkait dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Perlu diketahui, Peraturan Pemerintah ini pernah direvisi melalui PP No. 17 Tahun 2005 akan tetapi hanya sedikti penajaman lebih lanjut aspek tekhnis pelaksanaan pilkada seperti yang telah diatur dalam PP No. 6 Tahun 2005. Sungguhpun sudah direvisi namun secara substansial PP No. 6 Tahun 2005 tetap memiliki bobot yang utama sebagai landasan dan pedoman bagi persiapan dan pelaksanaan pilkada langsung sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sehubungan dengan substansi yang diatur dalam PP ini, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dari kita semua. Terlebih bagi lembaga penyelenggara Pilkada langsung, terutama KPUD propinsi Maluku Utara harus memahami secara komprehensif-normatif aturan pelaksana Pilkada ini agar tidak menimbulkan sikap confuse yang dapat menggangu jalannya pesta demokrasi lokal. Krusial point yang perlu mendapat perhatian kita antara lain, aturan mengenai pembentukan panitia pengawas pilkada, independensi penyelenggara, serta pengawasan dan aspek penegakan hukum.
Pembentukan Panwas
Aspek pengawasan sangatlah urgen dalam proses penyelenggaraan pilkada demi menciptakan iklim politik yang dinamis, egaliter, demokratis serta jujur dan adil. Karena itu, pengawas Pilkada harus terdiri atas anggota-anggota yang berkualitas, berintegritas, nonpartisan, netral, objektif, dan imparsial sebagai prasyarat mutlak. Hal ini penting guna mengefektifkan dan mengoptimalkan kinerja pengawasan dalam proses pilkada yang merupakan pengalaman baru bagi kita ini. Salah satu kekurangan yang segera terlihat dengan jelas di dalam PP ini adalah kurang lengkapnya ketentuan mengenai tata cara perekrutan anggota pengawas pilkada. Bagaimana mungkin menjamin pilkada langsung yang berkualitas jika tidak dibarengi penyelenggaraan aspek pengawasan yang juga berkualitas? Bagaimana mungkin pengawasan atas semua tahap pilkada bisa dilaksanakan secara objektif dan imparsial apabila metode perekrutannya tidak melalui suatu proses yang memungkinkan terekrutnya para anggota pengawas yang andal dan berkualitas? Kekurangan lainnya adalah, PP ini hanya mengatur tata cara penelitian dan seleksi terhadap unsur dari tokoh masyarakat, padahal jelas-jelas dinyatakan dalam ayat sebelumnya bahwa, pengawas terdiri dari berbagai unsur yakni kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Lalu bagaimana tata cara penelitian dan seleksi terhadap unsur lainnya tersebut (yakni kepolisian, kejaksaan, dan perguruan tinggi)? Apakah ketidakjelasan ini tidak akan berakibat masing-masing pihak menafsirkan sendiri sesuai kepentingannya, yang pada gilirannya berkonsekuensi pada proses perekrutan personel pengawas yang kurang andal dan kurang berkualitas. Hal tersebut tidak ditemukan secara pasti dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 6 tahun 2005.
Dalam konteks ini, bisa dikatakan masih terdapat kekosongan aturan mengenai hal yang dimaksud. Sementara itu, KPUD pun memang tidak diberi kewenangan untuk membuat aturan mengenai pemilihan anggota pengawas pilkada. Sehingga, sampai saat ini masih relevan dipertanyakan, siapakah yang berwenang dan akan mengisi kevakuman aturan tersebut? Sebab, jika hal ini dibiarkan, dan proses perekrutan pengawas tetap dipaksakan diselenggarakan dengan aturan seadanya. Artinya DPRD juga tidak segera membuat regulasi yang memadai, minimal menyerupai mekanisme perekrutan Panwas Pemilu 2004 yang terus terang saja tata caranya masih lebih ideal dibandingkan aturan dalam PP ini. Jika kondisi kekurang-lengkapan pengaturan tersebut tidak mampu diatasi segera dan proses perekrutan pengawas tetap dilaksanakan dengan perangkat aturan yang demikian minim, disertai lagi potensi konflik dalam pilkada langsung, maka harapan yang begitu besar terhadap terselenggaranya pilkada yang berkualitas mulai menjadi agak menipis. Kesalahannya memang bukan semata-mata terletak pada PP ini yang sekadar menjabarkan undang-undang. Bagi saya, justru kesalahan dan kelemahan itu datang dari Undang-undang 32 tahun 2004 itu sendiri yang ternyata tidak ditambal atau diperbaiki secara baik melalui PP Nomor 6 tahun 2005 Jo PP Nomor 17 tahun 2005.
Independensi Penyelenggara
Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan penting yakni merombak mekanisme pertanggungjawaban pemilihan kepala daerah. Putusan MK ini sesuai dengan pengajuan yudicial review sejumlah parpol gurem dan LSM di Indonesia beberapa bulan setelah diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tersebut. Dalam putusannya, ditegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai penyelenggara pilkada tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada ”publik”. KPUD pun tidak mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD. Kita sepakat bahwa kemandirian KPUD sebagai penyelenggara pilkada akan terancam kalau harus bertanggung jawab kepada DPRD sebagai lembaga politik yang terdiri atas unsur-unsur parpol. Ironisnya, MK dalam putusannya justru tidak menjelaskan seperti apa bentuk pertanggungjawaban dan lembaga mana yang bisa merepresentasikan “publik” selain DPRD tersebut. Di sisi lain, soal pertanggungjawaban anggaran Pilkada juga tidak jelas. Dalam kacamata saya, meskipun tidak di rinci tetapi bila anggaran pilkada bersumber dari APBD dan bantuan dari APBN, maka mekanisme pertanggungjawabannya kepada pemerintah lewat institusi BPK/BPKP sebagai lembaga yang berkompoten dan harus disampaikan secara terbuka dan dikontrol oleh DPRD sebagai representasi wakil rakyat.
Demikian halnya KPUD yang bekerja berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) bukan pada Keputusan KPU sulit bertanggung jawab kepada KPU sebagai penyelenggara nasional. Sebagaimana diketahui KPU tidak dilibatkan sama sekali dalam pilkada, baik sisi aturan maupun anggaran. Jika MK menyebutkan KPU sebagai tempat KPUD bertanggung jawab, maka agak sulit diterima karena KPU tidak mengeluarkan produk hukum Keputusan KPU sebagai acuan KPUD. Namun jika dilihat dari sisi hierarki struktur KPU dengan KPUD maka mekanisme pertanggungjawaban kepada KPUD kepada KPU merupakan sesuatu yang logis dan dapat dipahami. Jika MK menyebutkan pertanggungjawaban KPUD kepada pemerintah maka hal itu semakin menjadikan pilkada tidak independen sebagaimana juga kalau bertanggung jawab kepada DPRD. Jadi putusan MK ini cukup membingungkan bagi publik. Publik bertanya kenapa MK tidak tegas memutuskan bahwa KPUD bertanggung jawab kepada KPU karena KPUD adalah “bawahan” secara hirarkis dari KPU. Pertanggungjawaban KPUD kepada “public” mau tidak mau mengharuskan partisipasi publik yang tinggi dalam pengawasan pilkada.
Disamping itu, adanya ketentuan di dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat memberikan fasilitas dan dukungan kepada KPUD dalam rangka menunjang kelancaran penyelenggaraan pemilihan kepala daerah juga menjadi celah intervensi politik yang kuat. Sepintas, ketentuan ini seakan-akan tidak memilik implikasi-implikasi politk yang dapat menimbulkan efek domino. Justru bila ditelaah secara lebih khusus, munculnya ketentuan ini, dapat mengakibatkan stereotip negatif akan independensi KPUD selaku penyelenggara pilkada itu sendiri. Idealnya, semua fasilitas dan dukungan tersebut sudah menjadi bagian integral dari anggaran penyelenggaraan pilkada yang dianggarkan dalam APBD, sehingga lebih dapat dipertanggungjawabkan dan dikontrol. Dalam konteks ini, justru dukungan terpenting yang semestinya diberikan oleh pemerintah daerah dalam rangka menyukseskan pilkada adalah dengan tidak membuat suatu keputusan dan/atau kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Aspek Penegakan Hukum & Pengawasan
Perlu diketahui, UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur mengenai batas waktu pelaporan dan pengkajian laporan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Hal ini jauh berbeda misalnya dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif dan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Konsekuensinya, ketentuan mengenai pengawasan dan penegakan hukum berkaitan Pilkada dalam PP ini mengacu pada ketentuan hukum yang sudah ada seperti tertera dalam Pasal 113 PP Nomor 6 Tahun 2005. Misalnya untuk tata cara penanganan kasus pidana dalam pilkada nanti maka ketentuan yang berlaku adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Secara eksplisit, baik undang-undang maupun PP yang mengatur tentang pilkada ini, ternyata tidak menjelaskan secara detail tentang semacam limitasi interval waktu harus diselesaikannya proses penyidikan, penuntutan, ataupun pemeriksaan di pengadilan. Konsekuensinya adalah penanganan terhadap tindak pidana pemilu, misalnya dari mulainya penyidikan sampai adanya suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap dapat memakan waktu sangat panjang (apalagi jika sampai tingkat banding dan/atau kasasi). Salah satu contoh yang bisa dijadikan pengalaman misalnya Pasal 82 UU Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa pasangan calon dan atau tim kampanye yang terbukti melakukan politik uang dapat dibatalkan. Jika untuk membuktikannya saja (melalui putusan yang berkekuatan hukum tetap) perlu waktu begitu lama, sehingga akhirnya masalah tersebut akan berlarut-larut.
Salah satu sebab munculnya kelemahan ini adalah karena di dalam UU 32 Tahun 2004, memisahkan antara pengaturan tentang pengawasan dengan pengaturan tentang penegakan hukum, padahal dua hal ini saling terkait erat. Sekedar komparasi, dalam Undang-undang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Undang-undang Pemilu Presiden 2004 justru mengintegrasikan kedua problem tersebut, karena didasarkan pada pandangan bahwa keduanya memiliki keterkaitan sangat erat, diatur secara bersamaan dan saling berhubungan. Proses penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum atau pilkada jelas tidak sama dengan proses penyelesaian perkara yang bersifat ordinary crime. Mestinya, mekanisme penyelesaian sengketa hukum pilkada langsung di atur secara lex specialis dan berada dalam satu lembaga yakni Mahkamah konstitusi. Hal ini sejalan dengan maksud dalam Pasal 24C UUD 1945 tentang Mahkamah Konstitusi yang kemudian dikonkritkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003.
Dari paparan singkat diatas, harapan kita semoga Pilkada langsung oktober 2007 mendatang, tidak mengebiri kemandirian, dan profesionalisme lembaga penyelenggara pilkada terutama KPUD. Hal ini dikarenakan sangat mungkin KPUD rentan terhadap intervensi politik oleh sejumlah kandidat yang berkompetisi menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kedepan, pemerintah dan DPR harus segera merivisi total atau mengganti produk hukum pilkada baru yang lebih komprehensif sehingga tidak perlu menimbulkan polemik hukum yang berlarut-larut. Secara legalistik, pengaturan mengenai Pilkada harus ditempatkan sebagai bagian dari proses pemilihan umum dan merupakan satu kesatuan yang integralistik bukan lagi seperti sekarang yang diatur secara terpisah dan amburadul sehingga rawan ancaman rekayasa politik bagi political interest. Para legal drafter tidak perlu mereduksi dan mengkonstantir secara ambivalen cara berfikir masyarakat sebab ”Anak SD-pun tahu kalau Pilkada itu sama dengan Pemilu”. Semoga segala kelemahan instrumen hukum pilkada tersebut tidak menjadi alasan pembenar untuk memberikan dukungan dan pilihan secara tidak rasional kepada kandidat yang bertarung.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar