Kamis, 30 April 2009

DEMOKRASI EKONOMI Vs KAPITALISME GLOBAL

King Faisal Sulaiman
Direktur LBH Malut


Amanat Konstitusi Yang Terlupakan
Harus disadari bahwa upaya untuk mewujudkan cita-cita demokrasi ekonomi yang berbasis pada kedaulatan rakyat atau kepentingan hajat hidup orang banyak tidaklah semudah dengan membalik telapak tangan. Perjuangan untuk menghadirkan demokrasi ekonomi sebagai suatu tujuan dari kemerdekaan bangsa kita merupakan perjuangan yang sesuai dengan spirit konstitusional karena sejalan dengan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni; (a) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (b) untuk memajukan kesejahteraan umum, (c) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam spektrum ini, kiranya benar apa yang dikatakan oleh Mohammad Hatta (the founding fathers) dalam surat kabar Harian Merdeka, 27 Oktober 1950, bahwa “yang kita inginkan ialah rakyat yang memiliki kedaulatan, bukan negara yang memiliki kedaulatan”.
Namun percikan pemikiran mulia mengenai konsep dasar demokrasi ekonomi Indonesia sebagaimana di ikhtiarkan oleh Sang Proklamator-Muhammad Hatta tersebut ternyata kontras dengan kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Di era globalisasi saat ini, kita harus tetap waspada terutama terhadap pengaruh paham kapitalisme global yang cenderung menyingkirkan paham nasionalisme. Kepentingan nasional Indonesia harus tetap kita utamakan sebagaimana negara-negara adidaya selalu mempertahankannya pula dengan berbagai dalih ekonomi ataupun politik dalam kondisi apapun. Pembangunan demokrasi ekonomi akan menjadi akar bagi penguatan fundamental pembangunan sistem ekonomi nasional dan menjadi dasar utama bagi realisasi nasionalisme ekonomi.
Sistem Ekonomi Dunia
Secara umum sistem perekonomian dunia dipengaruhi oleh dua sistem ekonomi yakni sistem ekonomi sosialis yang dibangun atas prinsip kolektivisme (kebersamaan-perspektif Marxisme) dan sistem ekenomi kapitalis yang didasari atas prinsip individualisme (perspektif liberalisme). Kedua sistem ini memiliki pandangan dan konsepsi yang berbeda mengenai model pembangunan atau setting perekonomian suatu negara. Sri Edi Swasono berpendapat, dalam pandangan penganut ekonomi sosialis, sistem ekonomi kapitalis hanya akan memberikan tempat pada kepentingan individu-individu yang dimonopoli oleh kaum pemodal-konglomerat sehingga distribusi keadilan ekonomi tidak merata dan hanya akan menciptakan jurang pemisah antara kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin. Kolektivisme (communitarianism) versus sosialis-marxisme, merefleksikan masyarakat (society) dengan paham kebersamaan (mutualism) dan kekeluargaan (brotherhood), berikut kepentingan-bersama (mutual-interest) yang menyertainya, ditempatkan pada kedudukan utama.
Lebih jauh, anggota-anggota masyarakat berada di bawah lindungan masyarakat sebagai makhluk-makhluk sosial (homo-socius) terangkum oleh suatu konsensus sosial (gesamt-akt) dan tunduk pada kaidah-kaidah sosial. Dari sinilah maka individual privacy setiap anggota masyarakat merupakan a societal license. Sistem ekonomi sosialis menghendaki kepemilikan bersama terhadap seluruh alat atau faktor- faktor produksi dan pendistribusiannya dimonopoli atau dikuasai negara (sistem ekonomi terpusat) atas nama kepentingan bersama-rakyat. Kepemilikan hak-hak individual kurang mendapat apresiasi secara layak. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa setiap organisasi ekonomi harus terdapat struktur dominasi negara dalam mengontrol dan mengatur secara sentralistik kegiatan perekonomian guna menciptakan pemerataan dalam distribusi keadilan ekonomi.
Paham individualisme merefleksikan individu-individu dengan paham perfect individual liberty, berikut pamrih pribadi (self-interest) yang menyertainya, ditempatkan pada kedudukan utama. Kemudian individu-individu ini bersepakat membentuk masyarakat (society) melalui suatu kontrak Sosial (social contract atau vertrag). Seperti diketahui, paham liberalisme (berdasar perfect individual liberty atau individualisme) masuk pula ke dalam kehidupan ekonomi dan menjadi sukma dasar dari ekonomi klasikal/neoklasikal. Adam Smith adalah “Nabi” atau patron saint-nya ekonomi liberalisme/neoliberalisme ini, yang menegaskan bahwa kepentingan-pribadi atau pamrih-pribadi (self-interest) adalah yang utama dalam kehidupan dan mekanisme ekonomi. Pasar mengatur mekanisme ekonomi dan pasar digerakkan oleh tangan-ajaib (an invisible-hand). Pasar diasumsikan sebagai omniscient dan omnipotent yang secara otomatis self-regulating dan self-correcting oleh adanya tangan ajaibnya Adam Smith.
Pasar dalam pengertian ini menjadi penemuan sosial terbesar dalam peradaban manusia, liberalisme dan individualisme menjadi sukma dari sistem ekonomi pasar-bebas yang lebih dikenal dengan istilah stelsel laissez-faire. Dari sinilah lahir kapitalisme dan selanjutnya berkembang menjadi imperialisme. Globalisasi neoliberalistik saat ini adalah topeng baru dari kapitalisme dan imperialisme. Namun dalam perjalanan yang panjang sejak bergemanya ide pasar-bebas Adam Smith, dalam kenyataannya pasar-bebas tenyata banyak gagal dalam peran yang diasumsikan selama ini. Apa yang terjadi justru berbagai market-failures, khususnya dalam menghadapi ketimpangan-ketimpangan struktural dalam upaya mencapai socio-economic equity, equality dan justice. Apa yang menjadi pencermatan kritis dari seorang Sri Edi Swasono diatas memang sejalan dengan realitas emprik yang dialami oleh bangsa kita. Pertanyaan yang perlu dijawab oleh anak bangsa adalah mengapa realitas kontemporer menunjukkan kecenderungan yang sungguh riskan dan paradoksal dari yang pernah dikonsepsikan para the faundhing fathers terdahulu ?
Rona Perekonomian Nasional
Dalam perspektif Sritua Arief, strategi pembangunan yang telah dilaksanakan sejak berdirinya Orde Baru sampai saat ini ialah strategi pembangunan yang berlandaskan pemikiran neoklasik kuno yang menumpukkan pertumbuhan ekonomi sebagai fokus utama pembangunan yaitu memaksimumkan produksi nasional. Faktor netral dalam strategi pembangunan ini ialah faktor modal dan teknologi. Berbagai bentuk rangsangan diberikan kepada kelompok yang paling dinamis di dalam masyarakat yaitu kelompok pengusaha untuk melaksanakan proses produksi dimana faktor modal dan teknologi memegang peranan yang paling menentukan. Pelaksanaan strategi pembangunan ini sama sekali tidak mempertimbangkan masalah-masalah sosial seperti penyerapan tenaga kerja yang luas, kemiskinan, distribusi pendapatan dan kekayaan, dan dampak teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Strategi pembangunan ini sama sekali tidak mempertimbangkan kelembagaan masyarakat yang ada. Dalam hal ini kelembagaan masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang given. Pemikiran yang melandasi strategi pembangunan ini mempostulasikan bahwa di dalam masyarakat akan terjadi suatu proses yang harmonis yang akan menyebarkan manfaat pertumbuhan ekonomi ke seluruh strata masyarakat melalui apa yang disebut mekanisme tetesan ke bawah (trickle-down mechanism). Mekanisme tetesan ke bawah dipercayai akan terjadi dalam situasi kelembagaan masyarakat yang ada, struktur sosial yang ada dan daya beli rakyat yang ada.
Menurutnya, ternyata pelaksanaan strategi pembangunan ini tidak menimbulkan tetesan ke bawah. Apa yang terjadi ialah tetesan ke atas (trickle-up) hasil-hasil pertumbuhan ekonomi. Proses ekonomi Indonesia ditandai dengan ciri yaitu yang kuat bertambah kuat dan yang lemah bertambah lemah. Hubungan yang eksploitatif terjadi antara unit-unit usaha besar dengan unit-unit usaha kecil terutama di sektor pertanian. Hubungan yang eksploitatif terjadi antara unit-unit ekonomi formal dengan sektor informal. Hubungan yang eksploitatif terjadi terhadap para konsumen melalui penentuan harga barang diatas kewajaran. Selanjutnya, hubungan yang eksploitatif terjadi antara pihak pengusaha atau pemodal terhadap kaum buruh. Keseluruhan proses eksploitasi ini menghasilkan apa yang disebut rente ekonomi.
Vrankeinstein Kapitalisme Global;
Sistem ekonomi kapitalis menginginkan kepemilikan modal sepenuhnya diserahkan kepada hasil seleksi pasar yang terjadi dalam bentuk liberalisasi-persaingan bebas yang ditandai dengan bercokolnya dominasi multinational corporation dan trans national corporation. Konsekuwensinya, kepentingan individu-individu menjadi faktor determinan dalam sistem ekonomi kapitalis yang mengarah pada mekanisme ekonomi pasar. Sistem perekonomian Indonesia dalam konteks kontomporer, dapat dikatakan telah terjebak dalam perangkap sistem kapitalisme global yang mendasarkan diri pada paham liberalisme tersebut. Sadar atau tidak sadar, sistem perekonomian nasional telah didominasi oleh pemikiran ekonomi kapitalisme abad ke-19 yang kini lebih dikenal sebagai paham neoliberalisme. Simbol supremsi kapitalisme global adalah eksistensi World Bank, IMF, dan WTO. Ketiga lembaga ini menjadi ikon kebanggaan negara-negara ekonomi kapitalis (liberalis) terutama Amerika serikat sebagai kreator dan pemuja utama paham yang telah berhasil menjajah dan mendikte sebagian besar sistem perekonomian dunia saat ini, tak terkecuali Indonoesia.
Kini kehadiran ketiga lembaga tersebut, bertindak seolah-olah selaku menteri keuangan internasional dan berkembang menjadi imperealis alias predator ekonomi dunia. Paham neoliberalisme sebenarnya merupakan hasil metamorfosa dari paham ekonomi kapital klasik versus Adam Smith. Paham ini pada prinsipnya menghendaki berkurangnya intervensi negara dalam mengatur roda perekonomian dan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar yang dikuasai oleh individu-individu. Hal ini terbukti dengan makin kokohnya kelompok pemupuk rente ekonomi dalam sistem perekonomian nasional saat ini. Kelompok pemupuk rente ekonomi ini, pada umumnya para konglomerat yang hanya mengejar profit sebesar-besarnya tanpa memperhatikan aspek kemiskinan dan penderitaan rakyat banyak. Para pelaku ekonomi yang tergolong dalam kelompok ini lazimnya berkonsipirasi dengan elit kekuasaan (oligarki politik-ekonomi) dan para birokrat pragmatis. Konsipirasi antara penguasa versus kaum pemodal-konglomerat tersebut mirip jaringan kartel yang bertujuan untuk meraih rente ekonomi semaksimum mungkin dari rakyat banyak yang merupakan kelas konsumen, produsen kecil, dan petani, nelayan dan kaum buruh tersebut.
Urgensi Demokrasi Ekonomi
Demokrasi ekonomi sejatinya dapat diterapkan dalam perekonomian nasional tanpa harus mempergunjingkan secara berlebihan peran dan mekanisme pasar. Hal terpenting yang harus diketahui ialah unsur pokok dalam perekonomian nasional adalah senantiasa bertumpu pada Pancasila dan UUD 1945 yakni bermoral, manusiawi, nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial. Prinsip-prinsip ini tidak sejalan dengan paham kapitalis-individualisme yang diajarkan oleh Adam Smith dan pengikut setianya, juga tidak seirama dengan paham sosialis-kolektivisme yang diajarkan oleh Marx dan pengikutnya. Karena itu, kedua paham tersebut tidak bisa diterapkan dalam sistem perekonomian nasional. Menurut Mubyarto, ekonomi Pancasila berbeda dengan sistim ekonomi kapitalis maupun komunis (marxist) karena dijiwai oleh ideologi Pancasila, yaitu sistim ekonomi berdasarkan azas kekeluargaan dan kegotong-royongan nasional dengan ciri: (a) Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral ; (b) Penciptaan keadaan pemerataan sosial (egalitarianism) sesuai azas kemanusiaan ; (c) Prioritas pada penciptaan perekonomian nasional yang tangguh ; (d) Koperasi merupakan soko guru perekonomian, dan bentuk paling konkrit dari usaha bersama; (e) Imbangan antara perencanaan nasional dan desentralisasi untuk menjamin keadilan ekonomi dan sosial.
Dalam mewujudkan demokrasi ekonomi, harus dibuka lebar partisipasi masyarakat Indonesia, memperhitungkan dan memanfaatkan kelembagaan-kelembagaan ekonomi kerakyatan serta harus sekuat mungkin mengarahkannya ke arah kemakmuran rakyat dan berkeadilan sosial. Kedaulatan ekonomi tidak dapat dilepaskan kepada mekanisme pasar semata, karena negara ini dibangun diatas cita-cita nasional yang tercermin dalam UUD 1945 dan idiologi Pancasila. Namun, mekanisme pasar seutuhnya, tidak mungkin menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasar yang bebas cenderung akan memperkuat kedudukan kelompok pemodal besar (konglomerat), sehingga menjurus ke arah peran serta dan penguasaan pasar oleh jumlah orang yang terbatas (unsur monopoli) oleh kalangan pemodal besar dengan sejumlah hak-hak privellege-nya.
Perlu UU Demokrasi Ekonomi
Hakikat dari demokrasi ekonomi ialah bahwa produksi yang dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat diutamakan dan bukan kemakmuran orang-seorang sebab perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi menghendaki kemakmuran bagi semua orang. Oleh sebab itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang yang berkuasa dan rakyat banyak akan ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh di tangan orang-seorang. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, oleh karennya harus dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demokrasi ekonomi Indonesia tidak harus sepenuhnya diartikan sebagai berlakunya prinsip nasionalisasi semua asset negara tanpa terkecuali dan tidak ada tempat bagi investor asing. Realitas empirik menunjukan Pertama, upaya penciptaan sistem perekonomian nasional yang tangguh, demokratis dan lebih berkeadilan sosial masih belum tercapai secara baik. Perekonomian nasional masih memberikan tempat pada kepentingan individu-individu yang dimonopoli oleh kaum pemodal-konglomerat sehingga distribusi keadilan ekonomi tidak merata dimana rakyat banyak masih menjadi korban eksploitasi ekonomi oleh kelompok kaum pemodal besar tersebut.
Kedua, proses ekonomi di Indonesia sampai saat ini masih jauh dari cita-cita nasional dan tak ubahnya merupakan replika proses eksploitasi ekonomi yang telah ada sejak zaman kolonialisme Belanda. Hal ini dikarenakan, masih menguatnya pengaruh paham kapitalsme global (ekonomi pasar bebas) yang melihat seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi dan sangat antipati terhadap semangat nasionalisasi ekonomi atas bentuk-bentuk privatisasi yang merugikan rakyat. Ketiga, masih tumbuh suburnya spraktek monopoli oleh kelompok ekonomi pemodal besar terhadap golongan ekonomi lemah yang terbangun dalam sistem oligarki ekonomi dan ditopang oleh sistem oligarki politik sehingga telah mendorong terciptanya kelompok rente ekonomi yang menguasai sektor-sektor perekenomian penting dan strategis milik negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Hal ini jelas sangat bertolak belakang dengan apa yang telah diformulasikan oleh the founding fathers Republik Indonesia yaitu pelaksanaan demokrasi ekonomi yang berbasis pada kedaulatan rakyat dan berintikan Pancasila dan UUD 1945. Disinilah letak basis argumentasi mengapa pembentukan Undang-undang tentang Demokrasi Ekonomi menjadi penting untuk segera diwujukan. Dibentuknya Undang-undang tentang Demokrasi Ekonomi disamping sebagai amanat konstitusi, juga pada akhirnya dapat menjadi instrumen hukum yang kokoh bagi pemerintah dalam membangun sistem perekonomian nasional kita. Dengan begitu arah dan strategi pembangunan ekonomi nasional kita menjadi jelas dan tidak lagi mengimpor dan menjadikan ekonomi liberal-kapitalis sebagai kiblat, karena sesungguhnya ekonomi kapitalisme global bukanlah sinterklas penyelamat ekonomi bangsa. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar