Kamis, 30 April 2009

SINDROM MONEY POLITIK

Oleh ;

King Faisal Sulaiman SH,

Akademisi & Konsultan Hukum
Direktur LBH Malut
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Malut

Masyarakat Maluku Utara kini dihadapkan salah satu hajatan politik lokal yakni pemilihan kepala daerah secara langsung. Sebentar lagi kita akan mengetahui siapa yang bakal menjadi Sang Maestro baru kita. Kebijakan politik hukum mengisyaratkan, proses rotasi kekuasaan seorang kepala daerah merupakan amanat rakyat lewat Undang-undang yang harus dipahami sebagai bagian terpenting dalam rangka menjaga kesinambungan tata kelola pemerintahan yang demokratis. Proses pemilihan kepala daerah kali ini tentunya memiliki makna tersendiri dihati masyarakat. Dikatakan demikian, karena baru pertama seorang Gubernur Maluku Utara dan Bupati Halmahera Tengah akan dipilih secara langsung oleh rakyat. Sudah bisa ditebak, spektrum politik Pilkada ditahun 2007 ini pasti berbeda resonansinya. Bercermin pada pengalaman, ketika konsep pemilihan langsung belum diterapkan, proses Pilkada hampir bisa dipastikan rakyat tidak memiliki akses politk secara langsung dengan Sang Kandidat yang menjadi idolanya. Suara rakyat seringkali diterjemahkan secara sepihak oleh wakil rakyatnya sehingga komunikasi politik praktis tidak berjalan diagonal antara rakyat dengan Sang kandidat. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat kala itu menjadi semacam gladiator politik yang begitu hegomoni dalam menentukan kemenangan dan atau kegagalan seoarang kandidat.
Konsekuensinya, politik bagi-bagi ang pao (money politics) tumbuh sumbur bak cendawan dimusim hujan diantara kalangan mereka yang katanya mewakili kepentingan rakyat itu. Memang harus diakui bahwa trend politik uang dalam setiap hajatan pemilu (Pilkada) menjadi momok politik yang sulit dihindari. Bukan berarti kita turut membiarkan bahkan melegitimasi fenomena ini. Mestinya menjadi PR-buat kita sekarang adalah jurus apa yang bisa dipakai untuk menganulir praktek politik kotor yang tidak mendewasakan masyarakat tersebut. Harus disadari, fenomena jual-beli suara dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung saat ini, bukan berarti telah sirna dari pandangan kita. Justru praktek money politics disetiap hajatan Pilkada dalam konteks sekarang berjalan seolah tak terkendali.
Praktek money politik uang tidak bisa ditafsirkan dalam arti yang sempit.Artinya proses jual-beli suara demi meraih dukungan dan simpati rakyat terjadi bukan hanya dalam bentuk pemberian sejumlah uang tunai secara langsung akan tetapi dapat pula berbentuk pemberian benda maupun dikemas dalam sejumlah kegiatan-kegiatan fisik lainnya. Sebetulnya praktek politik uang merupakan bentuk tindakan korupsi dalam pemilu (pilkada) itu sendiri, meskipun dari aspek politik orang lebih mengenal dengan terminologi politik uang. Dalam terminologi hukum, praktek politik uang dimasukan dalam kejahatan atau tindak pidana suap sebagaimana diatur dalam KUHP. Problem kejahatan politik jual-beli suara ini ini, secara general terdapat beberapa bentuk modus operandinya. Kegiatan yang bernuansa money politics tidak hanya melanda para konstituen dan partai politik namun lembaga-lembaga penyelenggara Pilkada terutama KPUD dan lembaga pengawas (Panwas) justru tidak luput dari praktek illegal tersebut. Berikut akan disajikan beberapa modus operandi parektek yang dimaksud.
Pertama; intervensi terhadap penyelenggara pilkada; hal ini lazimnya dimainkan oleh kandidat lewat Tim Suksesnya dan bahkan melibatkan partai politik yang mengusung kandidat yang bersangkutan. Praktek semodel ini umumnya bertujuan untuk mementahkan kembali proses pilkada yang fair play dan konstitusional. Pola yang dimainkan yakni dengan menyuap para penyelenggara pilkada dengan segudang kompensasi politik lainnya, mulai dari KPUD, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), PPS dan KPPS yang berada pada level kecamatan, Desa/kelurahan dan bahkan pada petugas pengawas pemilu (Panwas) sekalipun. Lembaga-lembaga penyelenggara pilkada ini dipaksa bekerja sesuai dengan order (pesan sponsor) alias dari kandidat tertentu. Caranya yaitu dengan melakukan praktek-praktek curang seperti membatalkan calon kandidat tertentu secara sepihak, memperlambat atau mempersulit pendaftaran kandidat tertentu, membatalkan atau mengganti kartu suara yang sah, dan memanipulasi hasil rekapitulasi perhitungan suara atau penggandaan jumlah pemilih bahkan mendiamkan praktek money politics yang dilakukan tim sukses dari kandidat tertentu.
Harus disadari, sesungguhnya praktek politik kotor seperti ini sangatlah berbahaya karena dapat mempengaruhi independensi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah itu sendiri dan berpotensi besar menyulut konflik horizontal antara massa para kandidat. Masyarakat akan semakin hilang kepercayaannya terhadap kinerja lembaga penyelenggara pilkada sehingga mereka yang merasa dirugikan atau diperlakukan tidak adil akan mencoba untuk mengkonsolidasi diri secara massif dengan menempuh cara-cara yang anarkhis untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Salah satu imbas politik adalah maraknya tindakan main hakim sendiri oleh sejumlah pendukung kandidat tertentu yang merasa tidak puas atas kinerja lembaga penyelenggara pilkada yang dapat berujung pada aksi-aksi pengrusakan dan pembakaran terhadap fasilitas ataupun kantor-kantor lembaga penyelenggara pilkada taruhlah seperti KPUD. Setidaknya kita harus bercermin pada pengalaman proses pilkada disejumlah kabupaten dan kota di Maluku Utara pada tahun kemarin. Lembaga penyelenggara pilkada yang telah dilumuri dengan sejumlah permainan politik uang tersebut secara tidak langsung telah melakukan dosa politik dengan mengkebiri hak-hak politik rakyat sekaligus mencederai amanat yang diberikan oleh rakyat. Lembaga penyelenggara pilkada yang telah terlibat dalam praktek money politics ini sudah pasti menisbatkan dirinya sebagai corong dan kaki tangan politk bagi kandidat tertentu, sungguh suatu hal yang sangat tragis dan menyayat rasa keadilan masyarakat.
Kedua; Praktek beli pengaruh yaitu upaya yang dilakukan para kandidat lewat Tim Suksesnya dengan membeli tokoh masyarakat seperti pemuka agama dan para pemuka adat untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan politik mereka. Pengaruh ikatan primordial antara masyarakat dengan pemuka adat, agama dan tokoh masyarakat lainnya, hingga saat ini terasa masih sangat kental sehingga peluang untuk melakukan praktek beli pengaruh sangatlah besar dalam rangka memobilisasi suara para konstituen untuk memberikan suaranya pada satu kandidat tertentu. Hemat saya, strategi pembelian pengaruh dalam kondisi pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung saat ini, terbilang cukup mumpuni disamping pendekatan beli suara yang sudah tak asing lagi selama ini. Upaya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat dalam pemillihan kepala daerah secara langsung memang membutuhkan biaya yang relatif lebih besar ketimbang dengan sistem pemilihan kepala daerah sebelumnya yang hanya dipilih oleh anggota DPRD. Itulah sebabnya mengapa kemudiaan praktek influence buying menjadi alasan utama bagi para kandidat demi meraih simpati dengan cara membeli pengaruh para tokoh-tokoh masyarakat tersebut. Anda bisa lihat saat ini spanduk dukungan dan pamflet para kandidat serta brosur yang bermuatan politik hampir ditemukan disetiap rumah warga dan bahkan terjadi kapling kelurahan yang seolah menandaskan ada legitimasi terselubung dari tokoh masyarakat atau bahkan kepala Desa/Kelurahan tertentu seperti sebuah spanduk yang bertuliskan ”Anda Memasuki Kawasan titik..titik.” ada juga pada kelurahan lain terpampang spanduk yang berbunyi ”Disini Bukan Kawasan titik..titik..Bung”. Para kandidat yang ingin menjadi pejabat publik alias kepala daerah, dengan kekuatan uang dan koneksinya dia dengan mudah mempengaruhi para tokoh masyarakat bahkan pemuka agama. Tragisnya, jika dukungan para tokoh agama atau pemuka masyarakat ini hanya didasari atas tebal tipisnya amplop yang disodorkan maka hal ini dapat mempengaruhi kualitas hasil dari pilkada itu sendiri.
Bentuk yang terakhir dari money politics adalah praktek beli suara. Cara yang satu ini memang bentuk korupsi dalam pemilu (pilkada) yang paling dikenal oleh kita selama ini. Praktek beli suara sendiri tidak sekadar terjadi pada saat pencoblosan suara atau pada saat kampanye pilkada berlangsung, akan tetapi justru yang paling sering dilakukan ketika proses pilkada belum dilaksanakan. Hal ini biasanya dilakukan dengan mensiasati beragam kegiatan atau acara yang mengundang perhatian orang dan menyedot kehadiran masyarakat, sebut saja peletakan batu pertama dan atau peresmian Gereja, Mesjid, pembukaan turnamen atau pertandingan olahraga antar kampung atau kabupaten, kerja bhakti sosial di tingkat RT, RW ataupun kelurahan, acara pengajian, bahkan arisan ibu-ibu PKK atau Dharma wanita sekalipun. Disisi lain, praktek beli suara pada saat kampanye atau pilkada berlangsung, sering kita temukan dalam bentuk pemberian kupon bensin untuk massa kampanye, amplop tunai, hingga gerilya atau sering dikenal dengan istilah serangan fajar dari kampung satu ke kampung lain. Praktek pembelian suara sesungguhnya merupakan upaya ilegal dari kandidat dan partai politik untuk mempengaruhi suara pemilih dengan memberikan uang atau bentuk bantuan lainnya. Sekali lagi masyarakat perlu memahami bahwa praktek beli suara terdiri 1001 cara (berbagai macam cara), tergantung pada metode yang dipakai dan besar kecilnya jumlah uang yang dimiliki kandidat atau partai politik tersebut
Saya ingin menegaskan bahwa aroma money politcs pada saat berlangsungnya kampanye pemilihan kepala daerah (Pilgub Malut dan Bupati Halteng) diprediksi sangatlah besar. Setidaknya, gambaran sejumlah praktek politik uang dengan pola mendompleng sejumlah acara atau kegiatan-kegiatan bermuatan politis saat ini menjadi indikator yang jelas bagi kita semua. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa propinsi ini masih membutuhkan konsep pembangunan daerah yang tidak dibangun atas kompromi-kompromi politik pragmatis yang mengabaikan kepentingan masyarakat secara umum. Kini, berbagai motto, jargon, atau visi dan misi, ”dimuntahkan” oleh para kandidat dan tim suskses. Memang setiap kandidat dijamin oleh konstitusi bebas menawarkan dan menjelaskan program-program konkrit pembangunan daerah dihadapan rakyat.
Namun masyarakat perlu dewasa untuk memberikan suaranya kepada setiap kandidat yang saling berebut dan meraih simpati dihati masyarakat tersebut. Masyarakat harus menyadari bahwa ada kandidat kepala daerah yang layak untuk dipilih karena memiliki program kerja yang jelas dan komitmen kuat untuk siap memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup rakyat seperti; menciptakan sejumlah lapangan kerja, perbaiki kinerja birokrasi yang masih lambat, perbaiki nasib nelayan dan kaum petani, mengurangi angka kemisikinan serta pengangguran di daerah ini secara nyata dan bertanggungjawab.
Di sisi lain, masyarakat juga harus tahu bahwa ada juga kandidat yang mencalonkan diri hanya untuk merebut kekuasaan dan setelah itu dia hanya berfikir untuk menghamburkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD-duit rakyat). Karena itu, saya menyarankan masyarakat jangan terkecoh dengan praktek-praktek money politics sebagaimana dijelaskan secara sederahan di atas. Peluang untuk melakukan korupsi dalam momentum pilkada 2007 ini lewat praktek-praktek money politics cukup besar, sebab tidak jarang sumber keuangan untuk melakukan praktek money politics diambil dari duit masyarakat yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan dalam beragam model kegiatan dan proyek-proyek Ali Baba masuk kampung. Akhirnya jika kita berharap prestasi pembanguan daerah ini dalam rentang waktu lima tahun ke depan lebih bagus maka jangan pilih kandidat yang kerjaanya hanya ”Tebar Pesona” dan tidak mempunyai ”Master plan” yang jelas dalam membangun daerah ini. Saya kira bapak ibu lebih pandai untuk menyimpulkannya sendiri. Hm...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar