Kamis, 30 April 2009

PILKADA DAN INFLASI KONFLIK

Oleh
King Faisal Sulaiman,

Dosen Fak. Hukum Unkhair Ternate & Legal Consultant

Barangkali kita sepakat bahwa, Pilkada langsung merupakan sebuah eksperimen berdemokrasi dalam tatanan kehidupan berpolitik bangsa ini. Sebagai sebuah eksperimen berdemokrasi, tentunya memiliki resiko yang terbilang cukup riskan pula. Seperti diketahui, sepanjang tahun 2005, terdapat kurang lebih 215 kabupaten/kota dan sebanyak 11 propinsi yang akan melaksanakan hajatan Pilkada. Dari angka 215 kabupten/kota itu, hanya 145 kabupten/kota yang sudah siap menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada juni 2005 mendatang, termasuk didalamnya zona propnisi Maluku Utara. Dari segi anggaran, diketahui bahwa sebanyak 9 propinsi dan 69 kabupaten/kota telah mengersahkan APBD 2005 untuk mendanai Pilkada. Untuk konteks, Maluku Utara meskipun hampir sebagaian besar anggaran Pilkada (kabupatne/kota) telah dipatok dalam APBD 2005 namun masih bisa dimentahkan kembali sebagai implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini. Secara administratif, propinsi Maluku Utara mempunyai lima kabupaten dan dua kota dari tujuh kabupaten/kota yang akan melaksanakan pilkada ini. Saya menduga, potensi konflik yang kemungkinan muncul dalam pemilihan kepala daerah secara langsung di propinsi seribu satu masalah ini dipastikan akan cukup siginifikan, terutama sebagai efect putusan MK. Kekhewatiran sebagian kalangan akan besarnya potensi konflik dalam pilkada di Maluku Utara adalah hal yang sangat reasonable dan realistis. Ada tiga problem krusial yang menjadi faktor pemicu utama yakni :
Pertama; Kesiapan KPUD
Kesiapan hampir semua KPUD di kabupaten dan kota di Maluku Utara yang melaksanakan hajatan Pilkada terkesan pas-pasan artinya tidak semua KPUD dinilai siap dalam menyambut ajang pesta demokrasi tersebut. Waktu yang diberikan oleh Undang-undang bagi KPUD untuk bekerja ekstra maksimal dalam menyiapkan segala perangkat untuk sukses Pilkada sangat limitatif. Dari segi pemutakhiran data jiwa pemilih dipastikan sangat tabalai alias amburadul. Mungkin untuk ukuran kota Ternate tidak terlalu bermasalah tetapi bagi daerah Halut, Halbar, Kep. Sula atau Haltim dan Tikep misalanya, pasti proses pemutkhiran data jiwa pemilih tidaklah maksimal. Memang data P4B yang dipakai dalam Pemilu legislatif dan Pilpres kemarin setidaknya membantu KPUD untuk dalam mengetahui berapa besar kuantitas dari jiwa pemilih di masing-masing kabupaten/kota. Akan tetapi, harus disadari bahwa data P4B saja tidak cukup untuk menjamin keakuratan atau validitas data terkini mengenai angka jiwa pemilih yang sebenarnya. Di satu sisi KPUD diwajibkan bekerja maksimal, tetapi di sisi lain tanggung jawab dan beban KPUD ini tidak dibarengi dengan sumber daya manusia dan sumber daya money (SDM) yang setara. Oleh karena itu, rasanya imposible, klaim hampir semua KPUD kabupaten/kota di propinsi Maluku Utara bahwa pelaksanaan Pilkada langsung akan tetap sesuai dengan jadwal alias tepat pada bulan Juni 2005.
Kedua; Imbas Putusan MK
Dengan adanya putusan MK maka semua ketentuan langkah-langkah yurids yang telah di ambil baik oleh KPUD maupun DPRD harus dieliminir demi hukum jika berbanding terbalik dengan putusan MK. Demikian halnya segala tahapan-tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung yang di instruksikan lewat putusan MK tersebut se-segera mungkin harus dilaksanakan oleh DPRD maupun KPUD dan pemerintah daerah. Terbukanya peluang bagi calon-calon non partisan atau independen yang diusung sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala oleh partai-partai gurem merupakan hal menarik yang patut dicermati oleh kita semua. Betapa tidak, peluang partai-partai kecil meski tidak mempunyai kursi dalam mengusung Jagonya justru semakin menisbahkan timbulnya potensi konflik. Aspek lain adalah problem pembentukan Panwaslu yang secara legalistik masih berada dalam ranah kompotensi DPRD. Hal ini tidak mustahil dapat menimbulkan efek domino bagi independensi Panwaslu dan sarat pula dengan intervensi partai politik peserta Pilkada. Hemat saya, kegamangan ini sangatlah mendasar sebab di tubuh DPRD terdapat beragam kepentingan dari wakil-wakil parpol yang duduk di lembaga yang “agak terhormat itu”. Dengan demikian, kita dapat berhipotesa bahwa eksistensi Panwasul masih tetap dalam kubangan tarik tambang politik yang dimainkan oleh para anggota DPRD yang notabene adala corong bagi interest partai politik, habitat mereka. Negatif impact-nya adalah, bisa jadi Panwaslu tidak bekerja dalam suasaana yang maksimal, netral dan mandiri. Hal ini dapat memancing ketidakpuasaan rakyat atas kinerja Panwaslu dan klimaksnya bisa mengarah kepada tindakan premanisme atau kanibalisme masyarakat.
Ketiga; Politik kampung Or Kampungan
Kalau kita berbicara menyangkut dengan problem politik lokal maka secara tidak langsung kita akan berbicara pula mengenai problem Etnis. Memang tidak bisa di negasikan, peta perpolitikan lokal sangat sarat dengan muatan sentimen promordial yang terbungkus dalam kamuflase SARA. Sentimen-sentimen primordial tersebut dapat bermetamorfosa dalam berbagai bentuk tingkah laku para konstituen maupun performa dan karakteristik para calon atau kandidat-kandidat yang bertarung merebut hati masyarakat itu. Sepanjang sentimen primordial itu bernilai positif seperti berperan sebagai lem perekat bagi keamanan dan ketertiban masyarakat atau memperkuat nilai-nilai sosial kemasyarakatan, justru harus di bumikan secara kontinyu dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, jika sentimen primordial tersebut berujung pada “Bakalai Antar Kampung, Makutubu, Makutalaki, Atau Maku Ten Gai Antar Keluarga” maka, ini harus menjadi common enemy alias harus dilawan oleh masyarakat. Jangankan dalam momentum Pilkada sekarang, dalam realitas kehidupan sehari-hari tidak jarang kita dapat menyaksikan dengan kasat mata betapa masyarakat kita sering “Bakalai dalam kelurahan mereka sendiri dan bahkan antar kampung gara-gara masalah Minuman Keras misalnya”. Lebih lanjut sekedar pembanding, untuk Kota Tidore Kepulauan potensi konflik dalam hajatan Pilkada ini terbilang cukup krusial dan sulit untuk dibendung. Terdapat enam paket calon walikota dan wakil walikota yang akan bertarung di negeri Sultan Nuku tersebut sementara jumlah suara jiwa pemilih yang akan diperebutkan oleh ke-enam kandidat itu di prediksi hanya berkisar 40-an hingga 50-an ribu jiwa pilih.
Jika para kandidat tersebut menggunkan sentimen primordial yang kampungan (negatif/tidak sehat) dalam merebut hati para konstituen, maka dapat dipastikan inflasi konflik horizontal antar para pendukung atau simpatisan calon tertentu semakin tak terbendung. Untuk itulah, sudah saatnya kita tanggalkan sentimen-sentimen primordial yang negatif tersebut, karena hanya akan membuat “Torang Semakin Tara Maju-Maju”. Momentum Pilkada sekarang sesungguhnya merupakan momentum bagi masing-masing daerah untuk berbenah diri kearah yang lebih baik. Jika anda ingin supaya pembangunan di daerah anda tidak jalan ditempat maka pilihlah patron yang berpandangan futuristik dan mememiliki kapabilitas keilmuan dan profesionalitas yang bagus. Lebih dari itu, jangan pilih calon-calon yang bermental KKN yang hanya menghabiskan waktu selama lima tahun hanya untuk “Dinata” memperkaya diri sendiri. Mari kita kedepenkan akal sehat dan hati nurani dalam menentukan pilihan kita. Akhirnya semoga anda tidak salah menentukan pilihan anda untuk tidak mencoblos mereka yang suka “Dinata”. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar