Oleh
King Faisal Sulaiman,
Dosen Fak. Hukum Unkhair Ternate & Legal Consultant
Barangkali kita sepakat bahwa, Pilkada langsung merupakan sebuah eksperimen berdemokrasi dalam tatanan kehidupan berpolitik bangsa ini. Sebagai sebuah eksperimen berdemokrasi, tentunya memiliki resiko yang terbilang cukup riskan pula. Seperti diketahui, sepanjang tahun 2005, terdapat kurang lebih 215 kabupaten/kota dan sebanyak 11 propinsi yang akan melaksanakan hajatan Pilkada. Dari angka 215 kabupten/kota itu, hanya 145 kabupten/kota yang sudah siap menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada juni 2005 mendatang, termasuk didalamnya zona propnisi Maluku Utara. Dari segi anggaran, diketahui bahwa sebanyak 9 propinsi dan 69 kabupaten/kota telah mengersahkan APBD 2005 untuk mendanai Pilkada. Untuk konteks, Maluku Utara meskipun hampir sebagaian besar anggaran Pilkada (kabupatne/kota) telah dipatok dalam APBD 2005 namun masih bisa dimentahkan kembali sebagai implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini. Secara administratif, propinsi Maluku Utara mempunyai lima kabupaten dan dua kota dari tujuh kabupaten/kota yang akan melaksanakan pilkada ini. Saya menduga, potensi konflik yang kemungkinan muncul dalam pemilihan kepala daerah secara langsung di propinsi seribu satu masalah ini dipastikan akan cukup siginifikan, terutama sebagai efect putusan MK. Kekhewatiran sebagian kalangan akan besarnya potensi konflik dalam pilkada di Maluku Utara adalah hal yang sangat reasonable dan realistis. Ada tiga problem krusial yang menjadi faktor pemicu utama yakni :
Pertama; Kesiapan KPUD
Kesiapan hampir semua KPUD di kabupaten dan kota di Maluku Utara yang melaksanakan hajatan Pilkada terkesan pas-pasan artinya tidak semua KPUD dinilai siap dalam menyambut ajang pesta demokrasi tersebut. Waktu yang diberikan oleh Undang-undang bagi KPUD untuk bekerja ekstra maksimal dalam menyiapkan segala perangkat untuk sukses Pilkada sangat limitatif. Dari segi pemutakhiran data jiwa pemilih dipastikan sangat tabalai alias amburadul. Mungkin untuk ukuran kota Ternate tidak terlalu bermasalah tetapi bagi daerah Halut, Halbar, Kep. Sula atau Haltim dan Tikep misalanya, pasti proses pemutkhiran data jiwa pemilih tidaklah maksimal. Memang data P4B yang dipakai dalam Pemilu legislatif dan Pilpres kemarin setidaknya membantu KPUD untuk dalam mengetahui berapa besar kuantitas dari jiwa pemilih di masing-masing kabupaten/kota. Akan tetapi, harus disadari bahwa data P4B saja tidak cukup untuk menjamin keakuratan atau validitas data terkini mengenai angka jiwa pemilih yang sebenarnya. Di satu sisi KPUD diwajibkan bekerja maksimal, tetapi di sisi lain tanggung jawab dan beban KPUD ini tidak dibarengi dengan sumber daya manusia dan sumber daya money (SDM) yang setara. Oleh karena itu, rasanya imposible, klaim hampir semua KPUD kabupaten/kota di propinsi Maluku Utara bahwa pelaksanaan Pilkada langsung akan tetap sesuai dengan jadwal alias tepat pada bulan Juni 2005.
Kedua; Imbas Putusan MK
Dengan adanya putusan MK maka semua ketentuan langkah-langkah yurids yang telah di ambil baik oleh KPUD maupun DPRD harus dieliminir demi hukum jika berbanding terbalik dengan putusan MK. Demikian halnya segala tahapan-tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung yang di instruksikan lewat putusan MK tersebut se-segera mungkin harus dilaksanakan oleh DPRD maupun KPUD dan pemerintah daerah. Terbukanya peluang bagi calon-calon non partisan atau independen yang diusung sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala oleh partai-partai gurem merupakan hal menarik yang patut dicermati oleh kita semua. Betapa tidak, peluang partai-partai kecil meski tidak mempunyai kursi dalam mengusung Jagonya justru semakin menisbahkan timbulnya potensi konflik. Aspek lain adalah problem pembentukan Panwaslu yang secara legalistik masih berada dalam ranah kompotensi DPRD. Hal ini tidak mustahil dapat menimbulkan efek domino bagi independensi Panwaslu dan sarat pula dengan intervensi partai politik peserta Pilkada. Hemat saya, kegamangan ini sangatlah mendasar sebab di tubuh DPRD terdapat beragam kepentingan dari wakil-wakil parpol yang duduk di lembaga yang “agak terhormat itu”. Dengan demikian, kita dapat berhipotesa bahwa eksistensi Panwasul masih tetap dalam kubangan tarik tambang politik yang dimainkan oleh para anggota DPRD yang notabene adala corong bagi interest partai politik, habitat mereka. Negatif impact-nya adalah, bisa jadi Panwaslu tidak bekerja dalam suasaana yang maksimal, netral dan mandiri. Hal ini dapat memancing ketidakpuasaan rakyat atas kinerja Panwaslu dan klimaksnya bisa mengarah kepada tindakan premanisme atau kanibalisme masyarakat.
Ketiga; Politik kampung Or Kampungan
Kalau kita berbicara menyangkut dengan problem politik lokal maka secara tidak langsung kita akan berbicara pula mengenai problem Etnis. Memang tidak bisa di negasikan, peta perpolitikan lokal sangat sarat dengan muatan sentimen promordial yang terbungkus dalam kamuflase SARA. Sentimen-sentimen primordial tersebut dapat bermetamorfosa dalam berbagai bentuk tingkah laku para konstituen maupun performa dan karakteristik para calon atau kandidat-kandidat yang bertarung merebut hati masyarakat itu. Sepanjang sentimen primordial itu bernilai positif seperti berperan sebagai lem perekat bagi keamanan dan ketertiban masyarakat atau memperkuat nilai-nilai sosial kemasyarakatan, justru harus di bumikan secara kontinyu dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, jika sentimen primordial tersebut berujung pada “Bakalai Antar Kampung, Makutubu, Makutalaki, Atau Maku Ten Gai Antar Keluarga” maka, ini harus menjadi common enemy alias harus dilawan oleh masyarakat. Jangankan dalam momentum Pilkada sekarang, dalam realitas kehidupan sehari-hari tidak jarang kita dapat menyaksikan dengan kasat mata betapa masyarakat kita sering “Bakalai dalam kelurahan mereka sendiri dan bahkan antar kampung gara-gara masalah Minuman Keras misalnya”. Lebih lanjut sekedar pembanding, untuk Kota Tidore Kepulauan potensi konflik dalam hajatan Pilkada ini terbilang cukup krusial dan sulit untuk dibendung. Terdapat enam paket calon walikota dan wakil walikota yang akan bertarung di negeri Sultan Nuku tersebut sementara jumlah suara jiwa pemilih yang akan diperebutkan oleh ke-enam kandidat itu di prediksi hanya berkisar 40-an hingga 50-an ribu jiwa pilih.
Jika para kandidat tersebut menggunkan sentimen primordial yang kampungan (negatif/tidak sehat) dalam merebut hati para konstituen, maka dapat dipastikan inflasi konflik horizontal antar para pendukung atau simpatisan calon tertentu semakin tak terbendung. Untuk itulah, sudah saatnya kita tanggalkan sentimen-sentimen primordial yang negatif tersebut, karena hanya akan membuat “Torang Semakin Tara Maju-Maju”. Momentum Pilkada sekarang sesungguhnya merupakan momentum bagi masing-masing daerah untuk berbenah diri kearah yang lebih baik. Jika anda ingin supaya pembangunan di daerah anda tidak jalan ditempat maka pilihlah patron yang berpandangan futuristik dan mememiliki kapabilitas keilmuan dan profesionalitas yang bagus. Lebih dari itu, jangan pilih calon-calon yang bermental KKN yang hanya menghabiskan waktu selama lima tahun hanya untuk “Dinata” memperkaya diri sendiri. Mari kita kedepenkan akal sehat dan hati nurani dalam menentukan pilihan kita. Akhirnya semoga anda tidak salah menentukan pilihan anda untuk tidak mencoblos mereka yang suka “Dinata”. ***
Kamis, 30 April 2009
SINDROM MONEY POLITIK
Oleh ;
King Faisal Sulaiman SH,
Akademisi & Konsultan Hukum
Direktur LBH Malut
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Malut
Masyarakat Maluku Utara kini dihadapkan salah satu hajatan politik lokal yakni pemilihan kepala daerah secara langsung. Sebentar lagi kita akan mengetahui siapa yang bakal menjadi Sang Maestro baru kita. Kebijakan politik hukum mengisyaratkan, proses rotasi kekuasaan seorang kepala daerah merupakan amanat rakyat lewat Undang-undang yang harus dipahami sebagai bagian terpenting dalam rangka menjaga kesinambungan tata kelola pemerintahan yang demokratis. Proses pemilihan kepala daerah kali ini tentunya memiliki makna tersendiri dihati masyarakat. Dikatakan demikian, karena baru pertama seorang Gubernur Maluku Utara dan Bupati Halmahera Tengah akan dipilih secara langsung oleh rakyat. Sudah bisa ditebak, spektrum politik Pilkada ditahun 2007 ini pasti berbeda resonansinya. Bercermin pada pengalaman, ketika konsep pemilihan langsung belum diterapkan, proses Pilkada hampir bisa dipastikan rakyat tidak memiliki akses politk secara langsung dengan Sang Kandidat yang menjadi idolanya. Suara rakyat seringkali diterjemahkan secara sepihak oleh wakil rakyatnya sehingga komunikasi politik praktis tidak berjalan diagonal antara rakyat dengan Sang kandidat. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat kala itu menjadi semacam gladiator politik yang begitu hegomoni dalam menentukan kemenangan dan atau kegagalan seoarang kandidat.
Konsekuensinya, politik bagi-bagi ang pao (money politics) tumbuh sumbur bak cendawan dimusim hujan diantara kalangan mereka yang katanya mewakili kepentingan rakyat itu. Memang harus diakui bahwa trend politik uang dalam setiap hajatan pemilu (Pilkada) menjadi momok politik yang sulit dihindari. Bukan berarti kita turut membiarkan bahkan melegitimasi fenomena ini. Mestinya menjadi PR-buat kita sekarang adalah jurus apa yang bisa dipakai untuk menganulir praktek politik kotor yang tidak mendewasakan masyarakat tersebut. Harus disadari, fenomena jual-beli suara dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung saat ini, bukan berarti telah sirna dari pandangan kita. Justru praktek money politics disetiap hajatan Pilkada dalam konteks sekarang berjalan seolah tak terkendali.
Praktek money politik uang tidak bisa ditafsirkan dalam arti yang sempit.Artinya proses jual-beli suara demi meraih dukungan dan simpati rakyat terjadi bukan hanya dalam bentuk pemberian sejumlah uang tunai secara langsung akan tetapi dapat pula berbentuk pemberian benda maupun dikemas dalam sejumlah kegiatan-kegiatan fisik lainnya. Sebetulnya praktek politik uang merupakan bentuk tindakan korupsi dalam pemilu (pilkada) itu sendiri, meskipun dari aspek politik orang lebih mengenal dengan terminologi politik uang. Dalam terminologi hukum, praktek politik uang dimasukan dalam kejahatan atau tindak pidana suap sebagaimana diatur dalam KUHP. Problem kejahatan politik jual-beli suara ini ini, secara general terdapat beberapa bentuk modus operandinya. Kegiatan yang bernuansa money politics tidak hanya melanda para konstituen dan partai politik namun lembaga-lembaga penyelenggara Pilkada terutama KPUD dan lembaga pengawas (Panwas) justru tidak luput dari praktek illegal tersebut. Berikut akan disajikan beberapa modus operandi parektek yang dimaksud.
Pertama; intervensi terhadap penyelenggara pilkada; hal ini lazimnya dimainkan oleh kandidat lewat Tim Suksesnya dan bahkan melibatkan partai politik yang mengusung kandidat yang bersangkutan. Praktek semodel ini umumnya bertujuan untuk mementahkan kembali proses pilkada yang fair play dan konstitusional. Pola yang dimainkan yakni dengan menyuap para penyelenggara pilkada dengan segudang kompensasi politik lainnya, mulai dari KPUD, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), PPS dan KPPS yang berada pada level kecamatan, Desa/kelurahan dan bahkan pada petugas pengawas pemilu (Panwas) sekalipun. Lembaga-lembaga penyelenggara pilkada ini dipaksa bekerja sesuai dengan order (pesan sponsor) alias dari kandidat tertentu. Caranya yaitu dengan melakukan praktek-praktek curang seperti membatalkan calon kandidat tertentu secara sepihak, memperlambat atau mempersulit pendaftaran kandidat tertentu, membatalkan atau mengganti kartu suara yang sah, dan memanipulasi hasil rekapitulasi perhitungan suara atau penggandaan jumlah pemilih bahkan mendiamkan praktek money politics yang dilakukan tim sukses dari kandidat tertentu.
Harus disadari, sesungguhnya praktek politik kotor seperti ini sangatlah berbahaya karena dapat mempengaruhi independensi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah itu sendiri dan berpotensi besar menyulut konflik horizontal antara massa para kandidat. Masyarakat akan semakin hilang kepercayaannya terhadap kinerja lembaga penyelenggara pilkada sehingga mereka yang merasa dirugikan atau diperlakukan tidak adil akan mencoba untuk mengkonsolidasi diri secara massif dengan menempuh cara-cara yang anarkhis untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Salah satu imbas politik adalah maraknya tindakan main hakim sendiri oleh sejumlah pendukung kandidat tertentu yang merasa tidak puas atas kinerja lembaga penyelenggara pilkada yang dapat berujung pada aksi-aksi pengrusakan dan pembakaran terhadap fasilitas ataupun kantor-kantor lembaga penyelenggara pilkada taruhlah seperti KPUD. Setidaknya kita harus bercermin pada pengalaman proses pilkada disejumlah kabupaten dan kota di Maluku Utara pada tahun kemarin. Lembaga penyelenggara pilkada yang telah dilumuri dengan sejumlah permainan politik uang tersebut secara tidak langsung telah melakukan dosa politik dengan mengkebiri hak-hak politik rakyat sekaligus mencederai amanat yang diberikan oleh rakyat. Lembaga penyelenggara pilkada yang telah terlibat dalam praktek money politics ini sudah pasti menisbatkan dirinya sebagai corong dan kaki tangan politk bagi kandidat tertentu, sungguh suatu hal yang sangat tragis dan menyayat rasa keadilan masyarakat.
Kedua; Praktek beli pengaruh yaitu upaya yang dilakukan para kandidat lewat Tim Suksesnya dengan membeli tokoh masyarakat seperti pemuka agama dan para pemuka adat untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan politik mereka. Pengaruh ikatan primordial antara masyarakat dengan pemuka adat, agama dan tokoh masyarakat lainnya, hingga saat ini terasa masih sangat kental sehingga peluang untuk melakukan praktek beli pengaruh sangatlah besar dalam rangka memobilisasi suara para konstituen untuk memberikan suaranya pada satu kandidat tertentu. Hemat saya, strategi pembelian pengaruh dalam kondisi pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung saat ini, terbilang cukup mumpuni disamping pendekatan beli suara yang sudah tak asing lagi selama ini. Upaya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat dalam pemillihan kepala daerah secara langsung memang membutuhkan biaya yang relatif lebih besar ketimbang dengan sistem pemilihan kepala daerah sebelumnya yang hanya dipilih oleh anggota DPRD. Itulah sebabnya mengapa kemudiaan praktek influence buying menjadi alasan utama bagi para kandidat demi meraih simpati dengan cara membeli pengaruh para tokoh-tokoh masyarakat tersebut. Anda bisa lihat saat ini spanduk dukungan dan pamflet para kandidat serta brosur yang bermuatan politik hampir ditemukan disetiap rumah warga dan bahkan terjadi kapling kelurahan yang seolah menandaskan ada legitimasi terselubung dari tokoh masyarakat atau bahkan kepala Desa/Kelurahan tertentu seperti sebuah spanduk yang bertuliskan ”Anda Memasuki Kawasan titik..titik.” ada juga pada kelurahan lain terpampang spanduk yang berbunyi ”Disini Bukan Kawasan titik..titik..Bung”. Para kandidat yang ingin menjadi pejabat publik alias kepala daerah, dengan kekuatan uang dan koneksinya dia dengan mudah mempengaruhi para tokoh masyarakat bahkan pemuka agama. Tragisnya, jika dukungan para tokoh agama atau pemuka masyarakat ini hanya didasari atas tebal tipisnya amplop yang disodorkan maka hal ini dapat mempengaruhi kualitas hasil dari pilkada itu sendiri.
Bentuk yang terakhir dari money politics adalah praktek beli suara. Cara yang satu ini memang bentuk korupsi dalam pemilu (pilkada) yang paling dikenal oleh kita selama ini. Praktek beli suara sendiri tidak sekadar terjadi pada saat pencoblosan suara atau pada saat kampanye pilkada berlangsung, akan tetapi justru yang paling sering dilakukan ketika proses pilkada belum dilaksanakan. Hal ini biasanya dilakukan dengan mensiasati beragam kegiatan atau acara yang mengundang perhatian orang dan menyedot kehadiran masyarakat, sebut saja peletakan batu pertama dan atau peresmian Gereja, Mesjid, pembukaan turnamen atau pertandingan olahraga antar kampung atau kabupaten, kerja bhakti sosial di tingkat RT, RW ataupun kelurahan, acara pengajian, bahkan arisan ibu-ibu PKK atau Dharma wanita sekalipun. Disisi lain, praktek beli suara pada saat kampanye atau pilkada berlangsung, sering kita temukan dalam bentuk pemberian kupon bensin untuk massa kampanye, amplop tunai, hingga gerilya atau sering dikenal dengan istilah serangan fajar dari kampung satu ke kampung lain. Praktek pembelian suara sesungguhnya merupakan upaya ilegal dari kandidat dan partai politik untuk mempengaruhi suara pemilih dengan memberikan uang atau bentuk bantuan lainnya. Sekali lagi masyarakat perlu memahami bahwa praktek beli suara terdiri 1001 cara (berbagai macam cara), tergantung pada metode yang dipakai dan besar kecilnya jumlah uang yang dimiliki kandidat atau partai politik tersebut
Saya ingin menegaskan bahwa aroma money politcs pada saat berlangsungnya kampanye pemilihan kepala daerah (Pilgub Malut dan Bupati Halteng) diprediksi sangatlah besar. Setidaknya, gambaran sejumlah praktek politik uang dengan pola mendompleng sejumlah acara atau kegiatan-kegiatan bermuatan politis saat ini menjadi indikator yang jelas bagi kita semua. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa propinsi ini masih membutuhkan konsep pembangunan daerah yang tidak dibangun atas kompromi-kompromi politik pragmatis yang mengabaikan kepentingan masyarakat secara umum. Kini, berbagai motto, jargon, atau visi dan misi, ”dimuntahkan” oleh para kandidat dan tim suskses. Memang setiap kandidat dijamin oleh konstitusi bebas menawarkan dan menjelaskan program-program konkrit pembangunan daerah dihadapan rakyat.
Namun masyarakat perlu dewasa untuk memberikan suaranya kepada setiap kandidat yang saling berebut dan meraih simpati dihati masyarakat tersebut. Masyarakat harus menyadari bahwa ada kandidat kepala daerah yang layak untuk dipilih karena memiliki program kerja yang jelas dan komitmen kuat untuk siap memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup rakyat seperti; menciptakan sejumlah lapangan kerja, perbaiki kinerja birokrasi yang masih lambat, perbaiki nasib nelayan dan kaum petani, mengurangi angka kemisikinan serta pengangguran di daerah ini secara nyata dan bertanggungjawab.
Di sisi lain, masyarakat juga harus tahu bahwa ada juga kandidat yang mencalonkan diri hanya untuk merebut kekuasaan dan setelah itu dia hanya berfikir untuk menghamburkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD-duit rakyat). Karena itu, saya menyarankan masyarakat jangan terkecoh dengan praktek-praktek money politics sebagaimana dijelaskan secara sederahan di atas. Peluang untuk melakukan korupsi dalam momentum pilkada 2007 ini lewat praktek-praktek money politics cukup besar, sebab tidak jarang sumber keuangan untuk melakukan praktek money politics diambil dari duit masyarakat yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan dalam beragam model kegiatan dan proyek-proyek Ali Baba masuk kampung. Akhirnya jika kita berharap prestasi pembanguan daerah ini dalam rentang waktu lima tahun ke depan lebih bagus maka jangan pilih kandidat yang kerjaanya hanya ”Tebar Pesona” dan tidak mempunyai ”Master plan” yang jelas dalam membangun daerah ini. Saya kira bapak ibu lebih pandai untuk menyimpulkannya sendiri. Hm...
King Faisal Sulaiman SH,
Akademisi & Konsultan Hukum
Direktur LBH Malut
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Malut
Masyarakat Maluku Utara kini dihadapkan salah satu hajatan politik lokal yakni pemilihan kepala daerah secara langsung. Sebentar lagi kita akan mengetahui siapa yang bakal menjadi Sang Maestro baru kita. Kebijakan politik hukum mengisyaratkan, proses rotasi kekuasaan seorang kepala daerah merupakan amanat rakyat lewat Undang-undang yang harus dipahami sebagai bagian terpenting dalam rangka menjaga kesinambungan tata kelola pemerintahan yang demokratis. Proses pemilihan kepala daerah kali ini tentunya memiliki makna tersendiri dihati masyarakat. Dikatakan demikian, karena baru pertama seorang Gubernur Maluku Utara dan Bupati Halmahera Tengah akan dipilih secara langsung oleh rakyat. Sudah bisa ditebak, spektrum politik Pilkada ditahun 2007 ini pasti berbeda resonansinya. Bercermin pada pengalaman, ketika konsep pemilihan langsung belum diterapkan, proses Pilkada hampir bisa dipastikan rakyat tidak memiliki akses politk secara langsung dengan Sang Kandidat yang menjadi idolanya. Suara rakyat seringkali diterjemahkan secara sepihak oleh wakil rakyatnya sehingga komunikasi politik praktis tidak berjalan diagonal antara rakyat dengan Sang kandidat. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat kala itu menjadi semacam gladiator politik yang begitu hegomoni dalam menentukan kemenangan dan atau kegagalan seoarang kandidat.
Konsekuensinya, politik bagi-bagi ang pao (money politics) tumbuh sumbur bak cendawan dimusim hujan diantara kalangan mereka yang katanya mewakili kepentingan rakyat itu. Memang harus diakui bahwa trend politik uang dalam setiap hajatan pemilu (Pilkada) menjadi momok politik yang sulit dihindari. Bukan berarti kita turut membiarkan bahkan melegitimasi fenomena ini. Mestinya menjadi PR-buat kita sekarang adalah jurus apa yang bisa dipakai untuk menganulir praktek politik kotor yang tidak mendewasakan masyarakat tersebut. Harus disadari, fenomena jual-beli suara dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung saat ini, bukan berarti telah sirna dari pandangan kita. Justru praktek money politics disetiap hajatan Pilkada dalam konteks sekarang berjalan seolah tak terkendali.
Praktek money politik uang tidak bisa ditafsirkan dalam arti yang sempit.Artinya proses jual-beli suara demi meraih dukungan dan simpati rakyat terjadi bukan hanya dalam bentuk pemberian sejumlah uang tunai secara langsung akan tetapi dapat pula berbentuk pemberian benda maupun dikemas dalam sejumlah kegiatan-kegiatan fisik lainnya. Sebetulnya praktek politik uang merupakan bentuk tindakan korupsi dalam pemilu (pilkada) itu sendiri, meskipun dari aspek politik orang lebih mengenal dengan terminologi politik uang. Dalam terminologi hukum, praktek politik uang dimasukan dalam kejahatan atau tindak pidana suap sebagaimana diatur dalam KUHP. Problem kejahatan politik jual-beli suara ini ini, secara general terdapat beberapa bentuk modus operandinya. Kegiatan yang bernuansa money politics tidak hanya melanda para konstituen dan partai politik namun lembaga-lembaga penyelenggara Pilkada terutama KPUD dan lembaga pengawas (Panwas) justru tidak luput dari praktek illegal tersebut. Berikut akan disajikan beberapa modus operandi parektek yang dimaksud.
Pertama; intervensi terhadap penyelenggara pilkada; hal ini lazimnya dimainkan oleh kandidat lewat Tim Suksesnya dan bahkan melibatkan partai politik yang mengusung kandidat yang bersangkutan. Praktek semodel ini umumnya bertujuan untuk mementahkan kembali proses pilkada yang fair play dan konstitusional. Pola yang dimainkan yakni dengan menyuap para penyelenggara pilkada dengan segudang kompensasi politik lainnya, mulai dari KPUD, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), PPS dan KPPS yang berada pada level kecamatan, Desa/kelurahan dan bahkan pada petugas pengawas pemilu (Panwas) sekalipun. Lembaga-lembaga penyelenggara pilkada ini dipaksa bekerja sesuai dengan order (pesan sponsor) alias dari kandidat tertentu. Caranya yaitu dengan melakukan praktek-praktek curang seperti membatalkan calon kandidat tertentu secara sepihak, memperlambat atau mempersulit pendaftaran kandidat tertentu, membatalkan atau mengganti kartu suara yang sah, dan memanipulasi hasil rekapitulasi perhitungan suara atau penggandaan jumlah pemilih bahkan mendiamkan praktek money politics yang dilakukan tim sukses dari kandidat tertentu.
Harus disadari, sesungguhnya praktek politik kotor seperti ini sangatlah berbahaya karena dapat mempengaruhi independensi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah itu sendiri dan berpotensi besar menyulut konflik horizontal antara massa para kandidat. Masyarakat akan semakin hilang kepercayaannya terhadap kinerja lembaga penyelenggara pilkada sehingga mereka yang merasa dirugikan atau diperlakukan tidak adil akan mencoba untuk mengkonsolidasi diri secara massif dengan menempuh cara-cara yang anarkhis untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Salah satu imbas politik adalah maraknya tindakan main hakim sendiri oleh sejumlah pendukung kandidat tertentu yang merasa tidak puas atas kinerja lembaga penyelenggara pilkada yang dapat berujung pada aksi-aksi pengrusakan dan pembakaran terhadap fasilitas ataupun kantor-kantor lembaga penyelenggara pilkada taruhlah seperti KPUD. Setidaknya kita harus bercermin pada pengalaman proses pilkada disejumlah kabupaten dan kota di Maluku Utara pada tahun kemarin. Lembaga penyelenggara pilkada yang telah dilumuri dengan sejumlah permainan politik uang tersebut secara tidak langsung telah melakukan dosa politik dengan mengkebiri hak-hak politik rakyat sekaligus mencederai amanat yang diberikan oleh rakyat. Lembaga penyelenggara pilkada yang telah terlibat dalam praktek money politics ini sudah pasti menisbatkan dirinya sebagai corong dan kaki tangan politk bagi kandidat tertentu, sungguh suatu hal yang sangat tragis dan menyayat rasa keadilan masyarakat.
Kedua; Praktek beli pengaruh yaitu upaya yang dilakukan para kandidat lewat Tim Suksesnya dengan membeli tokoh masyarakat seperti pemuka agama dan para pemuka adat untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan politik mereka. Pengaruh ikatan primordial antara masyarakat dengan pemuka adat, agama dan tokoh masyarakat lainnya, hingga saat ini terasa masih sangat kental sehingga peluang untuk melakukan praktek beli pengaruh sangatlah besar dalam rangka memobilisasi suara para konstituen untuk memberikan suaranya pada satu kandidat tertentu. Hemat saya, strategi pembelian pengaruh dalam kondisi pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung saat ini, terbilang cukup mumpuni disamping pendekatan beli suara yang sudah tak asing lagi selama ini. Upaya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat dalam pemillihan kepala daerah secara langsung memang membutuhkan biaya yang relatif lebih besar ketimbang dengan sistem pemilihan kepala daerah sebelumnya yang hanya dipilih oleh anggota DPRD. Itulah sebabnya mengapa kemudiaan praktek influence buying menjadi alasan utama bagi para kandidat demi meraih simpati dengan cara membeli pengaruh para tokoh-tokoh masyarakat tersebut. Anda bisa lihat saat ini spanduk dukungan dan pamflet para kandidat serta brosur yang bermuatan politik hampir ditemukan disetiap rumah warga dan bahkan terjadi kapling kelurahan yang seolah menandaskan ada legitimasi terselubung dari tokoh masyarakat atau bahkan kepala Desa/Kelurahan tertentu seperti sebuah spanduk yang bertuliskan ”Anda Memasuki Kawasan titik..titik.” ada juga pada kelurahan lain terpampang spanduk yang berbunyi ”Disini Bukan Kawasan titik..titik..Bung”. Para kandidat yang ingin menjadi pejabat publik alias kepala daerah, dengan kekuatan uang dan koneksinya dia dengan mudah mempengaruhi para tokoh masyarakat bahkan pemuka agama. Tragisnya, jika dukungan para tokoh agama atau pemuka masyarakat ini hanya didasari atas tebal tipisnya amplop yang disodorkan maka hal ini dapat mempengaruhi kualitas hasil dari pilkada itu sendiri.
Bentuk yang terakhir dari money politics adalah praktek beli suara. Cara yang satu ini memang bentuk korupsi dalam pemilu (pilkada) yang paling dikenal oleh kita selama ini. Praktek beli suara sendiri tidak sekadar terjadi pada saat pencoblosan suara atau pada saat kampanye pilkada berlangsung, akan tetapi justru yang paling sering dilakukan ketika proses pilkada belum dilaksanakan. Hal ini biasanya dilakukan dengan mensiasati beragam kegiatan atau acara yang mengundang perhatian orang dan menyedot kehadiran masyarakat, sebut saja peletakan batu pertama dan atau peresmian Gereja, Mesjid, pembukaan turnamen atau pertandingan olahraga antar kampung atau kabupaten, kerja bhakti sosial di tingkat RT, RW ataupun kelurahan, acara pengajian, bahkan arisan ibu-ibu PKK atau Dharma wanita sekalipun. Disisi lain, praktek beli suara pada saat kampanye atau pilkada berlangsung, sering kita temukan dalam bentuk pemberian kupon bensin untuk massa kampanye, amplop tunai, hingga gerilya atau sering dikenal dengan istilah serangan fajar dari kampung satu ke kampung lain. Praktek pembelian suara sesungguhnya merupakan upaya ilegal dari kandidat dan partai politik untuk mempengaruhi suara pemilih dengan memberikan uang atau bentuk bantuan lainnya. Sekali lagi masyarakat perlu memahami bahwa praktek beli suara terdiri 1001 cara (berbagai macam cara), tergantung pada metode yang dipakai dan besar kecilnya jumlah uang yang dimiliki kandidat atau partai politik tersebut
Saya ingin menegaskan bahwa aroma money politcs pada saat berlangsungnya kampanye pemilihan kepala daerah (Pilgub Malut dan Bupati Halteng) diprediksi sangatlah besar. Setidaknya, gambaran sejumlah praktek politik uang dengan pola mendompleng sejumlah acara atau kegiatan-kegiatan bermuatan politis saat ini menjadi indikator yang jelas bagi kita semua. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa propinsi ini masih membutuhkan konsep pembangunan daerah yang tidak dibangun atas kompromi-kompromi politik pragmatis yang mengabaikan kepentingan masyarakat secara umum. Kini, berbagai motto, jargon, atau visi dan misi, ”dimuntahkan” oleh para kandidat dan tim suskses. Memang setiap kandidat dijamin oleh konstitusi bebas menawarkan dan menjelaskan program-program konkrit pembangunan daerah dihadapan rakyat.
Namun masyarakat perlu dewasa untuk memberikan suaranya kepada setiap kandidat yang saling berebut dan meraih simpati dihati masyarakat tersebut. Masyarakat harus menyadari bahwa ada kandidat kepala daerah yang layak untuk dipilih karena memiliki program kerja yang jelas dan komitmen kuat untuk siap memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup rakyat seperti; menciptakan sejumlah lapangan kerja, perbaiki kinerja birokrasi yang masih lambat, perbaiki nasib nelayan dan kaum petani, mengurangi angka kemisikinan serta pengangguran di daerah ini secara nyata dan bertanggungjawab.
Di sisi lain, masyarakat juga harus tahu bahwa ada juga kandidat yang mencalonkan diri hanya untuk merebut kekuasaan dan setelah itu dia hanya berfikir untuk menghamburkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD-duit rakyat). Karena itu, saya menyarankan masyarakat jangan terkecoh dengan praktek-praktek money politics sebagaimana dijelaskan secara sederahan di atas. Peluang untuk melakukan korupsi dalam momentum pilkada 2007 ini lewat praktek-praktek money politics cukup besar, sebab tidak jarang sumber keuangan untuk melakukan praktek money politics diambil dari duit masyarakat yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan dalam beragam model kegiatan dan proyek-proyek Ali Baba masuk kampung. Akhirnya jika kita berharap prestasi pembanguan daerah ini dalam rentang waktu lima tahun ke depan lebih bagus maka jangan pilih kandidat yang kerjaanya hanya ”Tebar Pesona” dan tidak mempunyai ”Master plan” yang jelas dalam membangun daerah ini. Saya kira bapak ibu lebih pandai untuk menyimpulkannya sendiri. Hm...
MEMBEDAH PAYUNG HUKUM PILKADA
Oleh ;
King Faisal Sulaiman SH1,
Direktur Eksekutif LBH Maluku Utara
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Maluku Utara
Secara nasional, Pilkada langsung merupakan salah satu positive impact dari kebijakan otonomi daerah dan bagian dari proses transisional demokrasi menuju kemandirian daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Pilkada langsung Maluku Utara pada tahun ini akan menjadi faktor determinan di dalam menentukan arah pembangunan daerah ini minimal dalam lima tahun mendatang. Kini Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pilkada) dan PP Nomor 6 Tahun 2005 Junto dan PP Nomor 17 Tahun 2005 telah disepakati menjadi sandaran normatif bagi pelaksanaan Pilkada langsung. Namun masyarakat harus menyadari, kontravesi diseputar aturan main pemilihan kepala daerah secara langsung ternyata masih terus bergulir hingga sekarang. Sebagai produk hukum yang lahir dari sebuah proses politik yang cukup menguras energi bangsa, Pilkada langsung tentunya masih mengundang pro-kontra dalam kalangan masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 dan Nomor 005/PUU-III/2005, turut memberikan implikasi hukum dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Instrumen hukum Pilkada secara langsung yang sarat masalah ini, akan menjadi salah satu alat pemantik betapa dinamika politik lokal di Maluku Utara dalam waktu dekat ini akan terasa cukup panas dan bergejolak. Pendidikan politik masyarakat yang lemah dan ketidakjelasan aturan dalam UU Pilkada menjadi kontributor utama terhadap kemungkinan munculnya dinamika politik yang cenderung tidak sehat. Tulisan ini akan mencoba mendiagnosa secara sederhana beberapa problem krusial yang terkait dengan instrumen hukum pilkada langsung.
UU No. 32/2004; Sarat Ambiguitas
Amatan saya, sebetulnya sejak awal sudah terdapat kecolongan paradigma hukum dan main stream berpikir yang dipakai oleh para pembuat UU pilkada itu sendiri. Secara yuridis, Pasal 22E UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD sama sekali tidak dijadikan sebagai konsideran normatif dalam memproduksi Undang-undang Pilkada tersebut, akan tetapi justru yang dipakai sebagai konsideran utama adalah Pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945 mengenai pemerintahan daerah. Jika kita menakar dan mencoba untuk memboboti substansi dari Pasal-Pasal yang tercantum dalam UU Pilkada itu, maka kita akan menyimpulkan bahwa para pembuat Undang-undang Pilkada lebih memilih menempatkan pemilihan kepala daerah dalam koridor Pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945 ketimbang dalam bingkai Pasal 22E UUD 1945. Hal ini dilatari pada penafsiran dan pertimbangan bahwa kepala daerah pada prinsipnya dipilih secara demokratik seperti bunyi yang tertera dalam Pasal tersebut. Konsekuensinya pesta demokrasi berupa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh UU No. 32 Tahun 2004 tidak diklasifikasikan sebagai bagaian dari “pemilihan umum”, sungguh langkah yang terlalu prematur dan ambivalen.
Pasal 22E UUD 1945 menyebutkan bahwa, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD. Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Untuk itu, pemilihan kepala daerah tidak dimasukkan ke dalam Pasal 22E UUD 1945 karena pemilihan kepala daerah sudah diatur terlebih dahulu dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang secara general dam ambivalen menegaskan bahwa suksesi kepala daerah dipilih secara “demokratik”?. Perlu diketahui, Pasal 18 merupakan hasil amandemen tahap II UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 2000, sedangkan Pasal 22E merupakan hasil amandemen fase ke III UUD 1945 yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Pada saat perubahan kedua dilakukan belum ada kejelasan tentang pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung sehingga rumusan yang digunakan untuk pemilihan kepala daerah masih bersifat umum, yaitu dipilih secara demokratik. Menariknya, ketika terjadi proses amandemen tahap ketiga dilakukan, fraksi- fraksi di MPR terkesan membiarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen kedua tersebut dielaborasikan dengan sebuah produk hukum berupa UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah tersebut
Pada sisi lain, untuk melaksanakan instruksi Pasal 22E UUD 1945, diterbitkanlah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Agar lebih konsisten dengan ketentuan ayat (1) Pasal 6A UUD 1945, khususnya presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan dengan ketentuan ayat (3) Pasal 18 UUD 1945 yang menghendaki anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum, maka para pembuat undang-undang kemudian menjabarkan ketentuan ayat (4) Pasal 18 UUD 1945 menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Apabila pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR dan DPD, dan pemilihan anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dikategorikan sebagai pemilihan umum maka patut dipertanyakan, mengapa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat justru tidak dikualifisir sebagai “pemilihan umum”?.
Atau mungkin lebih ekstrim, kita bisa bertanya, Apakah paradigma hukum para pembuat undang-undang seperti ini diatas sudah tepat, jika dimaknai dari sisi legalistik dan dalam perspektif pelembagaan sistem penyelenggaraan pemilihan umum ? Hemat saya, harus ada tolak ukur yang jelas dalam mencari jawaban yang tepat terhadap sebuah political question tersebut. Saya sepakat bahwa pilihan para pembuat undang-undang tersebut sangat tidak rasional. Sesungguhnya konstitusi kita (UUD 1945) telah menggariskan bahwa, para pejabat negara dari lembaga legislatif maupun eksekutif di level pusat maupun lokal, dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pasal 6A UUD 1945 mengatur pemilihan presiden dan wakil presiden dalam satu pasangan dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Selanjuntya Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 mengatur pemilihan anggota DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota oleh rakyat melalui pemilihan umum. Begitu pula Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 telah menggariskan bahwa prose pemilihan anggota DPR oleh rakyat melalui mekanisme yang serupa yakni pemilihan umum dan Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 juga mengharuskan pemilihan anggota DPD dalam mekanisme yang sama. Namun tidak ada satupun Pasal dalam UUD 1945 yang menegaskan secara tegas bahwa pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum, melainkan hanya ditegaskan dipilih secara “demokratik” sebagaimana dalam Pasal 18 ayat (4)) UUD 1945.
Paradigma Hukum; Distortif & Keliru
Paparan diatas menyiratkan kesan yang mendalam bahwa paradigma hukum dan kerangka berpikir yang di pakai oleh pembuat Undang-undang Pilkada tersebut sungguh berbanding terbalik atau tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang tertera dalam UUD 1945. Dikatakan demikian karena, Pertama; jika pemilihan kepala daerah merujuk pada pasal tentang pemerintahan daerah (UUD 1945), maka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah idealnya tidak mencederai esensi Pasal 18 ayat (3) UUD1945. Sementara pada Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 mewajibkan (sifatnya imperatif) bahwa, proses pemilihan anggota DPRD propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota melalui pemilihan umum. Apakah mungkin yang dimaksud dengan pemerintahan daerah hanya terdiri atas DPRD tanpa kepala daerah dan perangkat daerah sebagai unsur pemerintah daerah ? Dengan tidak menempatkan pelaksanaan Pilkada sebagai pemilihan umum (kedalam ketentuan Pasal 22E UUD 1945), maka sebagian unsur pemerintahan daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dengan merujuk pada Pasal 22E UUD 1945. Sedangkan unsur lainnya dipilih secara langsung oleh rakyat dengan tidak merujuk pada Pasal 22E UUD 1945. Bila ada argumentasi hukum yang mengharuskan untuk tidak berpedoman pada Pasal 22E UUD 1945 oleh karena pemilihan kepala daerah adalah problem lokal, maka dalam pandangan saya hal ini jelas kontra-produktif dengan klausula dalam Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945 yang mengharuskan pemilihan anggota DPRD melalui pemilihan umum yang diselenggarakan oleh KPU beserta aparatnya di daerah. Bukankah pemilihan anggota DPRD juga soal lokal ?
Kedua; dari segi definitif dan nomenklatur memang proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak diformulasikan secara ekstrinsik sebagai bagian dari “pemilihan umum” tetapi uniknya secara prosedural-normatif, seluruh asas dan rangkaian proses penyelenggaran kepala daerah sama persis dengan substansi pemilihan umum, asas dan tahapan penyelenggaraan pemilihan umum, seperti terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No. 23 Tahun 2003. Perlu diketahui, substansi yang termaktub dalam UU No. 23 Tahun 2003 dan UU No. 12 Tahun 2003 sebenarnya telah dibajak atau dicopy secara kasar seluruhnya kedalam UU No. 32 Tahun 2004. Sehingga secara implisit dapat dikatakan, serangkaian proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, termasuk asas-asas dan tahapannya memiliki unsur sinonimitas semuanya dengan proses penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, DPRD dan presiden dan wakil presiden. Hemat saya, UU No. 32 Tahun 2004 yang tidak mendefinisikan secara jelas pemilihan kepala daerah sebagai pemilihan umum, maka otomatis terdapat inkonsistensi nilai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 itu sendiri. Sekali lagi perlu ditegaskan meskipun proses pemilihan anggota DPRD dilakukan melalui pemilihan umum tetapi pemilihan kepala daerah tidak melalui pemilihan umum namun sejumlah asas dan tahapan-tahapannya sejalan dengan “pemilihan umum”.
Ketiga; bila proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dikendalikan oleh komisi pemilihan umum daerah (KPUD), maka KPUD tetap terikat pada karakteristik yang bersifat nasional, yakni KPUD tetap harus independen, netral dan mandiri. Pasal-pasal tentang pemilihan kepala daerah (Pasal 56 sampai dengan Pasal 119) dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut sama sekali tidak merujuk pada sifat nasional, dan mandiri. KPU bersifat nasional berarti KPU menjadi penyelenggara pemilihan umum untuk seluruh wilayah Negara kesatuan RI, sedangkan KPUD adalah aparatnya di daerah. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, sama sekali tidak mengatur hubungan secara struktural antara lembaga KPUD dengan lembaga KPU. Idealnya makna intrinsik yang harus dipahami adalah lembaga KPU dan lembaga KPUD sejatinya bersifat mandiri dan indepnden. Justru itu, dalam melaksanakan proses pilkada langsung mestinya KPUD tidak berada atau dibawah pengaruh/intervensi politik dalam bentuk apapun. Pada kenyataannnya, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, justru mengharuskan lembaga KPUD membuat tata cara pelaksanaan semua tahap persiapan dan semua tahap pelaksanaan berdasarkan Peraturan Pemerintah, produk hukum yang hanya dibuat oleh pemerintah tanpa melibatkan DPR corong kepentingan rakyat.
Selanjutnya jika kita menginventarisir secara kasar, maka paling tidak terdapat lima Pasal kritis dalam UU Pilkada yang menghendaki penjabaran lebih lanjut dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP). Pertama, Pasal 65 ayat (4), menegaskan bahwa semua masa persiapan dan tahap pelaksanaan Pilkada sepenuhnya dikemudikan oleh KPUD dengan berpegang pada PP. Pasal 66 huruf b, KPUD menetapkan tata cara pelaksanaan Pilkada harus selaras dengan tahapan-tahapan yang tercantum dalam dalam PP. Kedua, Pasal 89 ayat (3), menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan pada pemilih akan diatur lebih lanjut dalam bentuk PP. Ketiga, Pasal 91 ayat (2), menguraikan jumlah, bahan, bentuk, ukuran, dan warna kotak suara menjadi kewenangan KPUD artinya KPUD memiliki kompotensi yuridis untuk menentukannya dengan mengacu pada PP. Keempat, Pasal 111 ayat (4) menegaskan bahwa tata cara pelantikan dan pengaturan kepala daerah akan diatur lebih lanjut dalam produk hukum baru berupa PP. Terakhir, Pasal 114 ayat (4), mengatakan bahwa segala tata cara untuk menjadi pemantau pemilihan dan pemantauan serta pencabutan hak sebagai pemantau pemilihan akan diatur pula dalam produk hukum yang dibuat oleh pemerintah.
Disamping melimpahkan kewenangan yuridis pada peraturan pemerintah (PP), Undang-undang ini juga memberikan kewenangan yang begitu besar pada KPUD untuk melakukan pengaturan dan penetapan, seperti tampak pada Pasal 65 aya (4), 65 huruf a, 66 huruf b, 66 hruf g, Pasal 66 huruf j, Pasal 74 ayat (6), Pasal 75 yayat (9), Pasal 81 ayat (3), Pasal 90 ayat (3), Pasal 91 ayat (2), Pasal 93 ayat (5), Pasal 94 ayat (2), Pasal 109 ayat (3), dan Pasal 109 ayat (4). Kewenangan KPUD terhadap Pilkada langsung dalam UU 32 tahun 2004, begitu mutlak sementara eksistensi KPU sendiri malah menglami kehilangan otoritasnya di dalam menjalankan Pilkada langsung. Mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, kampanye, pasangan calon, audit dana kampanye, hingga pengesahan dan pengangkatan kepal daerah, dan wakil kepala daerah terpilih semuanya di monopli oleh KPUD.
Nampaknya virus sentralisasi kekuasaan kian kental terasa dalam substansi Undang undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemda. Bila dikomparasikan dengan UU No. 22 tahun 1999, UU ini secara sporadis dan frontal memuntahkan kembali substansi otonomi daerah sebagai salah satu pilot poject our democracy selama ini. Kekhawatiran mendasar yang perlu diantisipasi adalah, dengan begitu banyaknya penjabaran UU No. 32 tahun 2004 kedalam sebuah produk hukum berupa PP, maka dengan sendirinya akan memberikan peluang emas bagi pemerintah atau rezim yang tengah berkuasa untuk semakin menancapkan basis politik dan status quo-nya di daerah-daerah. Betapa tidak, produk hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP), merupakan hak prerogatif pemerintah artinya hanya dibuat secara sepihak tanpa melibatkan parlemen. Ingat bahwa pemerintah itu, tidak lain adalah peserta pemenang pemilu sehingga kecil kemungkinan rezim hasil Pemilu 2004 saat ini tidak mempunyai political interest untuk mempertahankan status quo-nya.
UU No. 32 Tahun 2004 sebagia payung hukum pilkada langsung justru sama sekali tidak memberikan peran kepada KPU dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tersebut. Celakanya, penyerahan kewenangan membuat pedoman penyusunan semua tata cara persiapan dan semua tata cara tahap pelaksanaan pemilihan umum kepada Pemerintah (dengan PP) juga tidak sejalan dengan pola kerangka filosofisi para pembuat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Padahal kedua Undang-undang ini menyerahkan sepenuhnya segala proses dan tata cara penyelenggaraan Pemilihan umum kepada tanggungjawab lembaga KPU.
Hal ini sesungguhnya sangat rasionable dan accountable sebab pemerintah sebagai hasil pemilihan umum adalah peserta pemilihan umum. Oleh sebab itu, demi menjamin unsur tidak terjadi keberpihakan dan legitimsai publik dalam penyelenggaraan pemilihan umum, maka pemerintah (baca: salah satu peserta Pemilu) tidak diberi kompotensi yuridis untuk membuat peraturan pelaksanaan. Artinya KPU diberikan kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaan karena lembaga KPU sama sekali tidak berafiliasi dengan peserta pemilihan umum (Parpol) manapun. Kita harus menyadari bahwa Pemilihan kepala daerah kendati tidak dikualifisir sebagai pemilihan umum namun segala asas dan tahapannya konotatif dengan pemilihan umum, suatu hal yang sulit dipercaya. Pertanyaannya mengapa para legal drafter kita, membuat undang-undang pemerintahan daerah, khususnya tentang pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, tidak konsisten dengan UUD 1945 ? Bagi saya tidak ada yang error dengan UUD 1945. Konstitusi kita sudah sedemikian elegan dan egaliter mencoba memayungi sistem rekrutmen penyelenggara negara baik di pusat maupun daerah baik pada tataran legislatif maupun dalam ranah eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat kita melalui mekanisme pemilihan umum.
Aturan Pelaksana; Amburadul & Confuse
Ada beberapa pointer penting yang perlu di telusuri dan dikritisi secara mendalam terkait dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Perlu diketahui, Peraturan Pemerintah ini pernah direvisi melalui PP No. 17 Tahun 2005 akan tetapi hanya sedikti penajaman lebih lanjut aspek tekhnis pelaksanaan pilkada seperti yang telah diatur dalam PP No. 6 Tahun 2005. Sungguhpun sudah direvisi namun secara substansial PP No. 6 Tahun 2005 tetap memiliki bobot yang utama sebagai landasan dan pedoman bagi persiapan dan pelaksanaan pilkada langsung sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sehubungan dengan substansi yang diatur dalam PP ini, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dari kita semua. Terlebih bagi lembaga penyelenggara Pilkada langsung, terutama KPUD propinsi Maluku Utara harus memahami secara komprehensif-normatif aturan pelaksana Pilkada ini agar tidak menimbulkan sikap confuse yang dapat menggangu jalannya pesta demokrasi lokal. Krusial point yang perlu mendapat perhatian kita antara lain, aturan mengenai pembentukan panitia pengawas pilkada, independensi penyelenggara, serta pengawasan dan aspek penegakan hukum.
Pembentukan Panwas
Aspek pengawasan sangatlah urgen dalam proses penyelenggaraan pilkada demi menciptakan iklim politik yang dinamis, egaliter, demokratis serta jujur dan adil. Karena itu, pengawas Pilkada harus terdiri atas anggota-anggota yang berkualitas, berintegritas, nonpartisan, netral, objektif, dan imparsial sebagai prasyarat mutlak. Hal ini penting guna mengefektifkan dan mengoptimalkan kinerja pengawasan dalam proses pilkada yang merupakan pengalaman baru bagi kita ini. Salah satu kekurangan yang segera terlihat dengan jelas di dalam PP ini adalah kurang lengkapnya ketentuan mengenai tata cara perekrutan anggota pengawas pilkada. Bagaimana mungkin menjamin pilkada langsung yang berkualitas jika tidak dibarengi penyelenggaraan aspek pengawasan yang juga berkualitas? Bagaimana mungkin pengawasan atas semua tahap pilkada bisa dilaksanakan secara objektif dan imparsial apabila metode perekrutannya tidak melalui suatu proses yang memungkinkan terekrutnya para anggota pengawas yang andal dan berkualitas? Kekurangan lainnya adalah, PP ini hanya mengatur tata cara penelitian dan seleksi terhadap unsur dari tokoh masyarakat, padahal jelas-jelas dinyatakan dalam ayat sebelumnya bahwa, pengawas terdiri dari berbagai unsur yakni kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Lalu bagaimana tata cara penelitian dan seleksi terhadap unsur lainnya tersebut (yakni kepolisian, kejaksaan, dan perguruan tinggi)? Apakah ketidakjelasan ini tidak akan berakibat masing-masing pihak menafsirkan sendiri sesuai kepentingannya, yang pada gilirannya berkonsekuensi pada proses perekrutan personel pengawas yang kurang andal dan kurang berkualitas. Hal tersebut tidak ditemukan secara pasti dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 6 tahun 2005.
Dalam konteks ini, bisa dikatakan masih terdapat kekosongan aturan mengenai hal yang dimaksud. Sementara itu, KPUD pun memang tidak diberi kewenangan untuk membuat aturan mengenai pemilihan anggota pengawas pilkada. Sehingga, sampai saat ini masih relevan dipertanyakan, siapakah yang berwenang dan akan mengisi kevakuman aturan tersebut? Sebab, jika hal ini dibiarkan, dan proses perekrutan pengawas tetap dipaksakan diselenggarakan dengan aturan seadanya. Artinya DPRD juga tidak segera membuat regulasi yang memadai, minimal menyerupai mekanisme perekrutan Panwas Pemilu 2004 yang terus terang saja tata caranya masih lebih ideal dibandingkan aturan dalam PP ini. Jika kondisi kekurang-lengkapan pengaturan tersebut tidak mampu diatasi segera dan proses perekrutan pengawas tetap dilaksanakan dengan perangkat aturan yang demikian minim, disertai lagi potensi konflik dalam pilkada langsung, maka harapan yang begitu besar terhadap terselenggaranya pilkada yang berkualitas mulai menjadi agak menipis. Kesalahannya memang bukan semata-mata terletak pada PP ini yang sekadar menjabarkan undang-undang. Bagi saya, justru kesalahan dan kelemahan itu datang dari Undang-undang 32 tahun 2004 itu sendiri yang ternyata tidak ditambal atau diperbaiki secara baik melalui PP Nomor 6 tahun 2005 Jo PP Nomor 17 tahun 2005.
Independensi Penyelenggara
Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan penting yakni merombak mekanisme pertanggungjawaban pemilihan kepala daerah. Putusan MK ini sesuai dengan pengajuan yudicial review sejumlah parpol gurem dan LSM di Indonesia beberapa bulan setelah diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tersebut. Dalam putusannya, ditegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai penyelenggara pilkada tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada ”publik”. KPUD pun tidak mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD. Kita sepakat bahwa kemandirian KPUD sebagai penyelenggara pilkada akan terancam kalau harus bertanggung jawab kepada DPRD sebagai lembaga politik yang terdiri atas unsur-unsur parpol. Ironisnya, MK dalam putusannya justru tidak menjelaskan seperti apa bentuk pertanggungjawaban dan lembaga mana yang bisa merepresentasikan “publik” selain DPRD tersebut. Di sisi lain, soal pertanggungjawaban anggaran Pilkada juga tidak jelas. Dalam kacamata saya, meskipun tidak di rinci tetapi bila anggaran pilkada bersumber dari APBD dan bantuan dari APBN, maka mekanisme pertanggungjawabannya kepada pemerintah lewat institusi BPK/BPKP sebagai lembaga yang berkompoten dan harus disampaikan secara terbuka dan dikontrol oleh DPRD sebagai representasi wakil rakyat.
Demikian halnya KPUD yang bekerja berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) bukan pada Keputusan KPU sulit bertanggung jawab kepada KPU sebagai penyelenggara nasional. Sebagaimana diketahui KPU tidak dilibatkan sama sekali dalam pilkada, baik sisi aturan maupun anggaran. Jika MK menyebutkan KPU sebagai tempat KPUD bertanggung jawab, maka agak sulit diterima karena KPU tidak mengeluarkan produk hukum Keputusan KPU sebagai acuan KPUD. Namun jika dilihat dari sisi hierarki struktur KPU dengan KPUD maka mekanisme pertanggungjawaban kepada KPUD kepada KPU merupakan sesuatu yang logis dan dapat dipahami. Jika MK menyebutkan pertanggungjawaban KPUD kepada pemerintah maka hal itu semakin menjadikan pilkada tidak independen sebagaimana juga kalau bertanggung jawab kepada DPRD. Jadi putusan MK ini cukup membingungkan bagi publik. Publik bertanya kenapa MK tidak tegas memutuskan bahwa KPUD bertanggung jawab kepada KPU karena KPUD adalah “bawahan” secara hirarkis dari KPU. Pertanggungjawaban KPUD kepada “public” mau tidak mau mengharuskan partisipasi publik yang tinggi dalam pengawasan pilkada.
Disamping itu, adanya ketentuan di dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat memberikan fasilitas dan dukungan kepada KPUD dalam rangka menunjang kelancaran penyelenggaraan pemilihan kepala daerah juga menjadi celah intervensi politik yang kuat. Sepintas, ketentuan ini seakan-akan tidak memilik implikasi-implikasi politk yang dapat menimbulkan efek domino. Justru bila ditelaah secara lebih khusus, munculnya ketentuan ini, dapat mengakibatkan stereotip negatif akan independensi KPUD selaku penyelenggara pilkada itu sendiri. Idealnya, semua fasilitas dan dukungan tersebut sudah menjadi bagian integral dari anggaran penyelenggaraan pilkada yang dianggarkan dalam APBD, sehingga lebih dapat dipertanggungjawabkan dan dikontrol. Dalam konteks ini, justru dukungan terpenting yang semestinya diberikan oleh pemerintah daerah dalam rangka menyukseskan pilkada adalah dengan tidak membuat suatu keputusan dan/atau kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Aspek Penegakan Hukum & Pengawasan
Perlu diketahui, UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur mengenai batas waktu pelaporan dan pengkajian laporan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Hal ini jauh berbeda misalnya dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif dan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Konsekuensinya, ketentuan mengenai pengawasan dan penegakan hukum berkaitan Pilkada dalam PP ini mengacu pada ketentuan hukum yang sudah ada seperti tertera dalam Pasal 113 PP Nomor 6 Tahun 2005. Misalnya untuk tata cara penanganan kasus pidana dalam pilkada nanti maka ketentuan yang berlaku adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Secara eksplisit, baik undang-undang maupun PP yang mengatur tentang pilkada ini, ternyata tidak menjelaskan secara detail tentang semacam limitasi interval waktu harus diselesaikannya proses penyidikan, penuntutan, ataupun pemeriksaan di pengadilan. Konsekuensinya adalah penanganan terhadap tindak pidana pemilu, misalnya dari mulainya penyidikan sampai adanya suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap dapat memakan waktu sangat panjang (apalagi jika sampai tingkat banding dan/atau kasasi). Salah satu contoh yang bisa dijadikan pengalaman misalnya Pasal 82 UU Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa pasangan calon dan atau tim kampanye yang terbukti melakukan politik uang dapat dibatalkan. Jika untuk membuktikannya saja (melalui putusan yang berkekuatan hukum tetap) perlu waktu begitu lama, sehingga akhirnya masalah tersebut akan berlarut-larut.
Salah satu sebab munculnya kelemahan ini adalah karena di dalam UU 32 Tahun 2004, memisahkan antara pengaturan tentang pengawasan dengan pengaturan tentang penegakan hukum, padahal dua hal ini saling terkait erat. Sekedar komparasi, dalam Undang-undang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Undang-undang Pemilu Presiden 2004 justru mengintegrasikan kedua problem tersebut, karena didasarkan pada pandangan bahwa keduanya memiliki keterkaitan sangat erat, diatur secara bersamaan dan saling berhubungan. Proses penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum atau pilkada jelas tidak sama dengan proses penyelesaian perkara yang bersifat ordinary crime. Mestinya, mekanisme penyelesaian sengketa hukum pilkada langsung di atur secara lex specialis dan berada dalam satu lembaga yakni Mahkamah konstitusi. Hal ini sejalan dengan maksud dalam Pasal 24C UUD 1945 tentang Mahkamah Konstitusi yang kemudian dikonkritkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003.
Dari paparan singkat diatas, harapan kita semoga Pilkada langsung oktober 2007 mendatang, tidak mengebiri kemandirian, dan profesionalisme lembaga penyelenggara pilkada terutama KPUD. Hal ini dikarenakan sangat mungkin KPUD rentan terhadap intervensi politik oleh sejumlah kandidat yang berkompetisi menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kedepan, pemerintah dan DPR harus segera merivisi total atau mengganti produk hukum pilkada baru yang lebih komprehensif sehingga tidak perlu menimbulkan polemik hukum yang berlarut-larut. Secara legalistik, pengaturan mengenai Pilkada harus ditempatkan sebagai bagian dari proses pemilihan umum dan merupakan satu kesatuan yang integralistik bukan lagi seperti sekarang yang diatur secara terpisah dan amburadul sehingga rawan ancaman rekayasa politik bagi political interest. Para legal drafter tidak perlu mereduksi dan mengkonstantir secara ambivalen cara berfikir masyarakat sebab ”Anak SD-pun tahu kalau Pilkada itu sama dengan Pemilu”. Semoga segala kelemahan instrumen hukum pilkada tersebut tidak menjadi alasan pembenar untuk memberikan dukungan dan pilihan secara tidak rasional kepada kandidat yang bertarung.****
King Faisal Sulaiman SH1,
Direktur Eksekutif LBH Maluku Utara
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Maluku Utara
Secara nasional, Pilkada langsung merupakan salah satu positive impact dari kebijakan otonomi daerah dan bagian dari proses transisional demokrasi menuju kemandirian daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Pilkada langsung Maluku Utara pada tahun ini akan menjadi faktor determinan di dalam menentukan arah pembangunan daerah ini minimal dalam lima tahun mendatang. Kini Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pilkada) dan PP Nomor 6 Tahun 2005 Junto dan PP Nomor 17 Tahun 2005 telah disepakati menjadi sandaran normatif bagi pelaksanaan Pilkada langsung. Namun masyarakat harus menyadari, kontravesi diseputar aturan main pemilihan kepala daerah secara langsung ternyata masih terus bergulir hingga sekarang. Sebagai produk hukum yang lahir dari sebuah proses politik yang cukup menguras energi bangsa, Pilkada langsung tentunya masih mengundang pro-kontra dalam kalangan masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 dan Nomor 005/PUU-III/2005, turut memberikan implikasi hukum dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Instrumen hukum Pilkada secara langsung yang sarat masalah ini, akan menjadi salah satu alat pemantik betapa dinamika politik lokal di Maluku Utara dalam waktu dekat ini akan terasa cukup panas dan bergejolak. Pendidikan politik masyarakat yang lemah dan ketidakjelasan aturan dalam UU Pilkada menjadi kontributor utama terhadap kemungkinan munculnya dinamika politik yang cenderung tidak sehat. Tulisan ini akan mencoba mendiagnosa secara sederhana beberapa problem krusial yang terkait dengan instrumen hukum pilkada langsung.
UU No. 32/2004; Sarat Ambiguitas
Amatan saya, sebetulnya sejak awal sudah terdapat kecolongan paradigma hukum dan main stream berpikir yang dipakai oleh para pembuat UU pilkada itu sendiri. Secara yuridis, Pasal 22E UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD sama sekali tidak dijadikan sebagai konsideran normatif dalam memproduksi Undang-undang Pilkada tersebut, akan tetapi justru yang dipakai sebagai konsideran utama adalah Pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945 mengenai pemerintahan daerah. Jika kita menakar dan mencoba untuk memboboti substansi dari Pasal-Pasal yang tercantum dalam UU Pilkada itu, maka kita akan menyimpulkan bahwa para pembuat Undang-undang Pilkada lebih memilih menempatkan pemilihan kepala daerah dalam koridor Pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945 ketimbang dalam bingkai Pasal 22E UUD 1945. Hal ini dilatari pada penafsiran dan pertimbangan bahwa kepala daerah pada prinsipnya dipilih secara demokratik seperti bunyi yang tertera dalam Pasal tersebut. Konsekuensinya pesta demokrasi berupa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh UU No. 32 Tahun 2004 tidak diklasifikasikan sebagai bagaian dari “pemilihan umum”, sungguh langkah yang terlalu prematur dan ambivalen.
Pasal 22E UUD 1945 menyebutkan bahwa, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD. Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Untuk itu, pemilihan kepala daerah tidak dimasukkan ke dalam Pasal 22E UUD 1945 karena pemilihan kepala daerah sudah diatur terlebih dahulu dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang secara general dam ambivalen menegaskan bahwa suksesi kepala daerah dipilih secara “demokratik”?. Perlu diketahui, Pasal 18 merupakan hasil amandemen tahap II UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 2000, sedangkan Pasal 22E merupakan hasil amandemen fase ke III UUD 1945 yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Pada saat perubahan kedua dilakukan belum ada kejelasan tentang pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung sehingga rumusan yang digunakan untuk pemilihan kepala daerah masih bersifat umum, yaitu dipilih secara demokratik. Menariknya, ketika terjadi proses amandemen tahap ketiga dilakukan, fraksi- fraksi di MPR terkesan membiarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen kedua tersebut dielaborasikan dengan sebuah produk hukum berupa UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah tersebut
Pada sisi lain, untuk melaksanakan instruksi Pasal 22E UUD 1945, diterbitkanlah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Agar lebih konsisten dengan ketentuan ayat (1) Pasal 6A UUD 1945, khususnya presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan dengan ketentuan ayat (3) Pasal 18 UUD 1945 yang menghendaki anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum, maka para pembuat undang-undang kemudian menjabarkan ketentuan ayat (4) Pasal 18 UUD 1945 menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Apabila pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR dan DPD, dan pemilihan anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dikategorikan sebagai pemilihan umum maka patut dipertanyakan, mengapa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat justru tidak dikualifisir sebagai “pemilihan umum”?.
Atau mungkin lebih ekstrim, kita bisa bertanya, Apakah paradigma hukum para pembuat undang-undang seperti ini diatas sudah tepat, jika dimaknai dari sisi legalistik dan dalam perspektif pelembagaan sistem penyelenggaraan pemilihan umum ? Hemat saya, harus ada tolak ukur yang jelas dalam mencari jawaban yang tepat terhadap sebuah political question tersebut. Saya sepakat bahwa pilihan para pembuat undang-undang tersebut sangat tidak rasional. Sesungguhnya konstitusi kita (UUD 1945) telah menggariskan bahwa, para pejabat negara dari lembaga legislatif maupun eksekutif di level pusat maupun lokal, dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pasal 6A UUD 1945 mengatur pemilihan presiden dan wakil presiden dalam satu pasangan dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Selanjuntya Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 mengatur pemilihan anggota DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota oleh rakyat melalui pemilihan umum. Begitu pula Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 telah menggariskan bahwa prose pemilihan anggota DPR oleh rakyat melalui mekanisme yang serupa yakni pemilihan umum dan Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 juga mengharuskan pemilihan anggota DPD dalam mekanisme yang sama. Namun tidak ada satupun Pasal dalam UUD 1945 yang menegaskan secara tegas bahwa pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum, melainkan hanya ditegaskan dipilih secara “demokratik” sebagaimana dalam Pasal 18 ayat (4)) UUD 1945.
Paradigma Hukum; Distortif & Keliru
Paparan diatas menyiratkan kesan yang mendalam bahwa paradigma hukum dan kerangka berpikir yang di pakai oleh pembuat Undang-undang Pilkada tersebut sungguh berbanding terbalik atau tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang tertera dalam UUD 1945. Dikatakan demikian karena, Pertama; jika pemilihan kepala daerah merujuk pada pasal tentang pemerintahan daerah (UUD 1945), maka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah idealnya tidak mencederai esensi Pasal 18 ayat (3) UUD1945. Sementara pada Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 mewajibkan (sifatnya imperatif) bahwa, proses pemilihan anggota DPRD propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota melalui pemilihan umum. Apakah mungkin yang dimaksud dengan pemerintahan daerah hanya terdiri atas DPRD tanpa kepala daerah dan perangkat daerah sebagai unsur pemerintah daerah ? Dengan tidak menempatkan pelaksanaan Pilkada sebagai pemilihan umum (kedalam ketentuan Pasal 22E UUD 1945), maka sebagian unsur pemerintahan daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dengan merujuk pada Pasal 22E UUD 1945. Sedangkan unsur lainnya dipilih secara langsung oleh rakyat dengan tidak merujuk pada Pasal 22E UUD 1945. Bila ada argumentasi hukum yang mengharuskan untuk tidak berpedoman pada Pasal 22E UUD 1945 oleh karena pemilihan kepala daerah adalah problem lokal, maka dalam pandangan saya hal ini jelas kontra-produktif dengan klausula dalam Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945 yang mengharuskan pemilihan anggota DPRD melalui pemilihan umum yang diselenggarakan oleh KPU beserta aparatnya di daerah. Bukankah pemilihan anggota DPRD juga soal lokal ?
Kedua; dari segi definitif dan nomenklatur memang proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak diformulasikan secara ekstrinsik sebagai bagian dari “pemilihan umum” tetapi uniknya secara prosedural-normatif, seluruh asas dan rangkaian proses penyelenggaran kepala daerah sama persis dengan substansi pemilihan umum, asas dan tahapan penyelenggaraan pemilihan umum, seperti terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No. 23 Tahun 2003. Perlu diketahui, substansi yang termaktub dalam UU No. 23 Tahun 2003 dan UU No. 12 Tahun 2003 sebenarnya telah dibajak atau dicopy secara kasar seluruhnya kedalam UU No. 32 Tahun 2004. Sehingga secara implisit dapat dikatakan, serangkaian proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, termasuk asas-asas dan tahapannya memiliki unsur sinonimitas semuanya dengan proses penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, DPRD dan presiden dan wakil presiden. Hemat saya, UU No. 32 Tahun 2004 yang tidak mendefinisikan secara jelas pemilihan kepala daerah sebagai pemilihan umum, maka otomatis terdapat inkonsistensi nilai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 itu sendiri. Sekali lagi perlu ditegaskan meskipun proses pemilihan anggota DPRD dilakukan melalui pemilihan umum tetapi pemilihan kepala daerah tidak melalui pemilihan umum namun sejumlah asas dan tahapan-tahapannya sejalan dengan “pemilihan umum”.
Ketiga; bila proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dikendalikan oleh komisi pemilihan umum daerah (KPUD), maka KPUD tetap terikat pada karakteristik yang bersifat nasional, yakni KPUD tetap harus independen, netral dan mandiri. Pasal-pasal tentang pemilihan kepala daerah (Pasal 56 sampai dengan Pasal 119) dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut sama sekali tidak merujuk pada sifat nasional, dan mandiri. KPU bersifat nasional berarti KPU menjadi penyelenggara pemilihan umum untuk seluruh wilayah Negara kesatuan RI, sedangkan KPUD adalah aparatnya di daerah. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, sama sekali tidak mengatur hubungan secara struktural antara lembaga KPUD dengan lembaga KPU. Idealnya makna intrinsik yang harus dipahami adalah lembaga KPU dan lembaga KPUD sejatinya bersifat mandiri dan indepnden. Justru itu, dalam melaksanakan proses pilkada langsung mestinya KPUD tidak berada atau dibawah pengaruh/intervensi politik dalam bentuk apapun. Pada kenyataannnya, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, justru mengharuskan lembaga KPUD membuat tata cara pelaksanaan semua tahap persiapan dan semua tahap pelaksanaan berdasarkan Peraturan Pemerintah, produk hukum yang hanya dibuat oleh pemerintah tanpa melibatkan DPR corong kepentingan rakyat.
Selanjutnya jika kita menginventarisir secara kasar, maka paling tidak terdapat lima Pasal kritis dalam UU Pilkada yang menghendaki penjabaran lebih lanjut dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP). Pertama, Pasal 65 ayat (4), menegaskan bahwa semua masa persiapan dan tahap pelaksanaan Pilkada sepenuhnya dikemudikan oleh KPUD dengan berpegang pada PP. Pasal 66 huruf b, KPUD menetapkan tata cara pelaksanaan Pilkada harus selaras dengan tahapan-tahapan yang tercantum dalam dalam PP. Kedua, Pasal 89 ayat (3), menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan pada pemilih akan diatur lebih lanjut dalam bentuk PP. Ketiga, Pasal 91 ayat (2), menguraikan jumlah, bahan, bentuk, ukuran, dan warna kotak suara menjadi kewenangan KPUD artinya KPUD memiliki kompotensi yuridis untuk menentukannya dengan mengacu pada PP. Keempat, Pasal 111 ayat (4) menegaskan bahwa tata cara pelantikan dan pengaturan kepala daerah akan diatur lebih lanjut dalam produk hukum baru berupa PP. Terakhir, Pasal 114 ayat (4), mengatakan bahwa segala tata cara untuk menjadi pemantau pemilihan dan pemantauan serta pencabutan hak sebagai pemantau pemilihan akan diatur pula dalam produk hukum yang dibuat oleh pemerintah.
Disamping melimpahkan kewenangan yuridis pada peraturan pemerintah (PP), Undang-undang ini juga memberikan kewenangan yang begitu besar pada KPUD untuk melakukan pengaturan dan penetapan, seperti tampak pada Pasal 65 aya (4), 65 huruf a, 66 huruf b, 66 hruf g, Pasal 66 huruf j, Pasal 74 ayat (6), Pasal 75 yayat (9), Pasal 81 ayat (3), Pasal 90 ayat (3), Pasal 91 ayat (2), Pasal 93 ayat (5), Pasal 94 ayat (2), Pasal 109 ayat (3), dan Pasal 109 ayat (4). Kewenangan KPUD terhadap Pilkada langsung dalam UU 32 tahun 2004, begitu mutlak sementara eksistensi KPU sendiri malah menglami kehilangan otoritasnya di dalam menjalankan Pilkada langsung. Mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, kampanye, pasangan calon, audit dana kampanye, hingga pengesahan dan pengangkatan kepal daerah, dan wakil kepala daerah terpilih semuanya di monopli oleh KPUD.
Nampaknya virus sentralisasi kekuasaan kian kental terasa dalam substansi Undang undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemda. Bila dikomparasikan dengan UU No. 22 tahun 1999, UU ini secara sporadis dan frontal memuntahkan kembali substansi otonomi daerah sebagai salah satu pilot poject our democracy selama ini. Kekhawatiran mendasar yang perlu diantisipasi adalah, dengan begitu banyaknya penjabaran UU No. 32 tahun 2004 kedalam sebuah produk hukum berupa PP, maka dengan sendirinya akan memberikan peluang emas bagi pemerintah atau rezim yang tengah berkuasa untuk semakin menancapkan basis politik dan status quo-nya di daerah-daerah. Betapa tidak, produk hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP), merupakan hak prerogatif pemerintah artinya hanya dibuat secara sepihak tanpa melibatkan parlemen. Ingat bahwa pemerintah itu, tidak lain adalah peserta pemenang pemilu sehingga kecil kemungkinan rezim hasil Pemilu 2004 saat ini tidak mempunyai political interest untuk mempertahankan status quo-nya.
UU No. 32 Tahun 2004 sebagia payung hukum pilkada langsung justru sama sekali tidak memberikan peran kepada KPU dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tersebut. Celakanya, penyerahan kewenangan membuat pedoman penyusunan semua tata cara persiapan dan semua tata cara tahap pelaksanaan pemilihan umum kepada Pemerintah (dengan PP) juga tidak sejalan dengan pola kerangka filosofisi para pembuat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Padahal kedua Undang-undang ini menyerahkan sepenuhnya segala proses dan tata cara penyelenggaraan Pemilihan umum kepada tanggungjawab lembaga KPU.
Hal ini sesungguhnya sangat rasionable dan accountable sebab pemerintah sebagai hasil pemilihan umum adalah peserta pemilihan umum. Oleh sebab itu, demi menjamin unsur tidak terjadi keberpihakan dan legitimsai publik dalam penyelenggaraan pemilihan umum, maka pemerintah (baca: salah satu peserta Pemilu) tidak diberi kompotensi yuridis untuk membuat peraturan pelaksanaan. Artinya KPU diberikan kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaan karena lembaga KPU sama sekali tidak berafiliasi dengan peserta pemilihan umum (Parpol) manapun. Kita harus menyadari bahwa Pemilihan kepala daerah kendati tidak dikualifisir sebagai pemilihan umum namun segala asas dan tahapannya konotatif dengan pemilihan umum, suatu hal yang sulit dipercaya. Pertanyaannya mengapa para legal drafter kita, membuat undang-undang pemerintahan daerah, khususnya tentang pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, tidak konsisten dengan UUD 1945 ? Bagi saya tidak ada yang error dengan UUD 1945. Konstitusi kita sudah sedemikian elegan dan egaliter mencoba memayungi sistem rekrutmen penyelenggara negara baik di pusat maupun daerah baik pada tataran legislatif maupun dalam ranah eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat kita melalui mekanisme pemilihan umum.
Aturan Pelaksana; Amburadul & Confuse
Ada beberapa pointer penting yang perlu di telusuri dan dikritisi secara mendalam terkait dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Perlu diketahui, Peraturan Pemerintah ini pernah direvisi melalui PP No. 17 Tahun 2005 akan tetapi hanya sedikti penajaman lebih lanjut aspek tekhnis pelaksanaan pilkada seperti yang telah diatur dalam PP No. 6 Tahun 2005. Sungguhpun sudah direvisi namun secara substansial PP No. 6 Tahun 2005 tetap memiliki bobot yang utama sebagai landasan dan pedoman bagi persiapan dan pelaksanaan pilkada langsung sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sehubungan dengan substansi yang diatur dalam PP ini, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dari kita semua. Terlebih bagi lembaga penyelenggara Pilkada langsung, terutama KPUD propinsi Maluku Utara harus memahami secara komprehensif-normatif aturan pelaksana Pilkada ini agar tidak menimbulkan sikap confuse yang dapat menggangu jalannya pesta demokrasi lokal. Krusial point yang perlu mendapat perhatian kita antara lain, aturan mengenai pembentukan panitia pengawas pilkada, independensi penyelenggara, serta pengawasan dan aspek penegakan hukum.
Pembentukan Panwas
Aspek pengawasan sangatlah urgen dalam proses penyelenggaraan pilkada demi menciptakan iklim politik yang dinamis, egaliter, demokratis serta jujur dan adil. Karena itu, pengawas Pilkada harus terdiri atas anggota-anggota yang berkualitas, berintegritas, nonpartisan, netral, objektif, dan imparsial sebagai prasyarat mutlak. Hal ini penting guna mengefektifkan dan mengoptimalkan kinerja pengawasan dalam proses pilkada yang merupakan pengalaman baru bagi kita ini. Salah satu kekurangan yang segera terlihat dengan jelas di dalam PP ini adalah kurang lengkapnya ketentuan mengenai tata cara perekrutan anggota pengawas pilkada. Bagaimana mungkin menjamin pilkada langsung yang berkualitas jika tidak dibarengi penyelenggaraan aspek pengawasan yang juga berkualitas? Bagaimana mungkin pengawasan atas semua tahap pilkada bisa dilaksanakan secara objektif dan imparsial apabila metode perekrutannya tidak melalui suatu proses yang memungkinkan terekrutnya para anggota pengawas yang andal dan berkualitas? Kekurangan lainnya adalah, PP ini hanya mengatur tata cara penelitian dan seleksi terhadap unsur dari tokoh masyarakat, padahal jelas-jelas dinyatakan dalam ayat sebelumnya bahwa, pengawas terdiri dari berbagai unsur yakni kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Lalu bagaimana tata cara penelitian dan seleksi terhadap unsur lainnya tersebut (yakni kepolisian, kejaksaan, dan perguruan tinggi)? Apakah ketidakjelasan ini tidak akan berakibat masing-masing pihak menafsirkan sendiri sesuai kepentingannya, yang pada gilirannya berkonsekuensi pada proses perekrutan personel pengawas yang kurang andal dan kurang berkualitas. Hal tersebut tidak ditemukan secara pasti dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 6 tahun 2005.
Dalam konteks ini, bisa dikatakan masih terdapat kekosongan aturan mengenai hal yang dimaksud. Sementara itu, KPUD pun memang tidak diberi kewenangan untuk membuat aturan mengenai pemilihan anggota pengawas pilkada. Sehingga, sampai saat ini masih relevan dipertanyakan, siapakah yang berwenang dan akan mengisi kevakuman aturan tersebut? Sebab, jika hal ini dibiarkan, dan proses perekrutan pengawas tetap dipaksakan diselenggarakan dengan aturan seadanya. Artinya DPRD juga tidak segera membuat regulasi yang memadai, minimal menyerupai mekanisme perekrutan Panwas Pemilu 2004 yang terus terang saja tata caranya masih lebih ideal dibandingkan aturan dalam PP ini. Jika kondisi kekurang-lengkapan pengaturan tersebut tidak mampu diatasi segera dan proses perekrutan pengawas tetap dilaksanakan dengan perangkat aturan yang demikian minim, disertai lagi potensi konflik dalam pilkada langsung, maka harapan yang begitu besar terhadap terselenggaranya pilkada yang berkualitas mulai menjadi agak menipis. Kesalahannya memang bukan semata-mata terletak pada PP ini yang sekadar menjabarkan undang-undang. Bagi saya, justru kesalahan dan kelemahan itu datang dari Undang-undang 32 tahun 2004 itu sendiri yang ternyata tidak ditambal atau diperbaiki secara baik melalui PP Nomor 6 tahun 2005 Jo PP Nomor 17 tahun 2005.
Independensi Penyelenggara
Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan penting yakni merombak mekanisme pertanggungjawaban pemilihan kepala daerah. Putusan MK ini sesuai dengan pengajuan yudicial review sejumlah parpol gurem dan LSM di Indonesia beberapa bulan setelah diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tersebut. Dalam putusannya, ditegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai penyelenggara pilkada tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada ”publik”. KPUD pun tidak mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD. Kita sepakat bahwa kemandirian KPUD sebagai penyelenggara pilkada akan terancam kalau harus bertanggung jawab kepada DPRD sebagai lembaga politik yang terdiri atas unsur-unsur parpol. Ironisnya, MK dalam putusannya justru tidak menjelaskan seperti apa bentuk pertanggungjawaban dan lembaga mana yang bisa merepresentasikan “publik” selain DPRD tersebut. Di sisi lain, soal pertanggungjawaban anggaran Pilkada juga tidak jelas. Dalam kacamata saya, meskipun tidak di rinci tetapi bila anggaran pilkada bersumber dari APBD dan bantuan dari APBN, maka mekanisme pertanggungjawabannya kepada pemerintah lewat institusi BPK/BPKP sebagai lembaga yang berkompoten dan harus disampaikan secara terbuka dan dikontrol oleh DPRD sebagai representasi wakil rakyat.
Demikian halnya KPUD yang bekerja berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) bukan pada Keputusan KPU sulit bertanggung jawab kepada KPU sebagai penyelenggara nasional. Sebagaimana diketahui KPU tidak dilibatkan sama sekali dalam pilkada, baik sisi aturan maupun anggaran. Jika MK menyebutkan KPU sebagai tempat KPUD bertanggung jawab, maka agak sulit diterima karena KPU tidak mengeluarkan produk hukum Keputusan KPU sebagai acuan KPUD. Namun jika dilihat dari sisi hierarki struktur KPU dengan KPUD maka mekanisme pertanggungjawaban kepada KPUD kepada KPU merupakan sesuatu yang logis dan dapat dipahami. Jika MK menyebutkan pertanggungjawaban KPUD kepada pemerintah maka hal itu semakin menjadikan pilkada tidak independen sebagaimana juga kalau bertanggung jawab kepada DPRD. Jadi putusan MK ini cukup membingungkan bagi publik. Publik bertanya kenapa MK tidak tegas memutuskan bahwa KPUD bertanggung jawab kepada KPU karena KPUD adalah “bawahan” secara hirarkis dari KPU. Pertanggungjawaban KPUD kepada “public” mau tidak mau mengharuskan partisipasi publik yang tinggi dalam pengawasan pilkada.
Disamping itu, adanya ketentuan di dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat memberikan fasilitas dan dukungan kepada KPUD dalam rangka menunjang kelancaran penyelenggaraan pemilihan kepala daerah juga menjadi celah intervensi politik yang kuat. Sepintas, ketentuan ini seakan-akan tidak memilik implikasi-implikasi politk yang dapat menimbulkan efek domino. Justru bila ditelaah secara lebih khusus, munculnya ketentuan ini, dapat mengakibatkan stereotip negatif akan independensi KPUD selaku penyelenggara pilkada itu sendiri. Idealnya, semua fasilitas dan dukungan tersebut sudah menjadi bagian integral dari anggaran penyelenggaraan pilkada yang dianggarkan dalam APBD, sehingga lebih dapat dipertanggungjawabkan dan dikontrol. Dalam konteks ini, justru dukungan terpenting yang semestinya diberikan oleh pemerintah daerah dalam rangka menyukseskan pilkada adalah dengan tidak membuat suatu keputusan dan/atau kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Aspek Penegakan Hukum & Pengawasan
Perlu diketahui, UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur mengenai batas waktu pelaporan dan pengkajian laporan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Hal ini jauh berbeda misalnya dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif dan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Konsekuensinya, ketentuan mengenai pengawasan dan penegakan hukum berkaitan Pilkada dalam PP ini mengacu pada ketentuan hukum yang sudah ada seperti tertera dalam Pasal 113 PP Nomor 6 Tahun 2005. Misalnya untuk tata cara penanganan kasus pidana dalam pilkada nanti maka ketentuan yang berlaku adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Secara eksplisit, baik undang-undang maupun PP yang mengatur tentang pilkada ini, ternyata tidak menjelaskan secara detail tentang semacam limitasi interval waktu harus diselesaikannya proses penyidikan, penuntutan, ataupun pemeriksaan di pengadilan. Konsekuensinya adalah penanganan terhadap tindak pidana pemilu, misalnya dari mulainya penyidikan sampai adanya suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap dapat memakan waktu sangat panjang (apalagi jika sampai tingkat banding dan/atau kasasi). Salah satu contoh yang bisa dijadikan pengalaman misalnya Pasal 82 UU Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa pasangan calon dan atau tim kampanye yang terbukti melakukan politik uang dapat dibatalkan. Jika untuk membuktikannya saja (melalui putusan yang berkekuatan hukum tetap) perlu waktu begitu lama, sehingga akhirnya masalah tersebut akan berlarut-larut.
Salah satu sebab munculnya kelemahan ini adalah karena di dalam UU 32 Tahun 2004, memisahkan antara pengaturan tentang pengawasan dengan pengaturan tentang penegakan hukum, padahal dua hal ini saling terkait erat. Sekedar komparasi, dalam Undang-undang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Undang-undang Pemilu Presiden 2004 justru mengintegrasikan kedua problem tersebut, karena didasarkan pada pandangan bahwa keduanya memiliki keterkaitan sangat erat, diatur secara bersamaan dan saling berhubungan. Proses penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum atau pilkada jelas tidak sama dengan proses penyelesaian perkara yang bersifat ordinary crime. Mestinya, mekanisme penyelesaian sengketa hukum pilkada langsung di atur secara lex specialis dan berada dalam satu lembaga yakni Mahkamah konstitusi. Hal ini sejalan dengan maksud dalam Pasal 24C UUD 1945 tentang Mahkamah Konstitusi yang kemudian dikonkritkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003.
Dari paparan singkat diatas, harapan kita semoga Pilkada langsung oktober 2007 mendatang, tidak mengebiri kemandirian, dan profesionalisme lembaga penyelenggara pilkada terutama KPUD. Hal ini dikarenakan sangat mungkin KPUD rentan terhadap intervensi politik oleh sejumlah kandidat yang berkompetisi menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kedepan, pemerintah dan DPR harus segera merivisi total atau mengganti produk hukum pilkada baru yang lebih komprehensif sehingga tidak perlu menimbulkan polemik hukum yang berlarut-larut. Secara legalistik, pengaturan mengenai Pilkada harus ditempatkan sebagai bagian dari proses pemilihan umum dan merupakan satu kesatuan yang integralistik bukan lagi seperti sekarang yang diatur secara terpisah dan amburadul sehingga rawan ancaman rekayasa politik bagi political interest. Para legal drafter tidak perlu mereduksi dan mengkonstantir secara ambivalen cara berfikir masyarakat sebab ”Anak SD-pun tahu kalau Pilkada itu sama dengan Pemilu”. Semoga segala kelemahan instrumen hukum pilkada tersebut tidak menjadi alasan pembenar untuk memberikan dukungan dan pilihan secara tidak rasional kepada kandidat yang bertarung.****

PUTUSAN MK; SOLUSI ATAU PROBLEM
Oleh
King Faisal Sulaiman,
Dosen Fak. Hukum Unkhair & Legal Consultant
Prolog
PILKADA, itulah tema sentral yang kini marak diperbincangkan khalayak ramai dari level grass root hingga group elite. Kita nggak perlu kaget atau surprise, jika hajatan Pilkada sekarang disambut dengan antusias dengan segala bentuk persiapan penyelenggaraasn oleh sejumlah daerah se-antero Indonesia. Namun diluar dugaan, Putusan Mahkamah Konstitusi justru menimbulkan ambivalensi sikap oleh sejumlah infrastruktur politik lokal (Parpol, Panwas, DPRD dan KPUD) di dalam menyambut hajatan Pilkada tersebut. Betapa tidak, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagaian yudicial review atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pilkada masih dinilai konroversial. Kalangan yang pro menilai bahwa langkah yang diambil oleh MK sudah cukup adil dan mencerminkan nilai demokrasi yang cukup egaliter. Di sisi lain bagi para pihak kontra, mereka menilai bahwa putusan MK tersebut sangat banci alias justru memberikan celah hukum yang negatif dan semakin meng-alienasi unsur kepastian hukum payung hukum Pilkada yakni UU No 32/2004 dan PP No.6 tahun 2005. Memang Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) setidaknya membawa angin segar bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Namun demikian, tidak ada garansi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak akan menimbulkan implikasi hukum maupun politik yang fatal bagi pelaksanaan Pilkada tersebut. Ulasan sederhana dalam artikel ini akan mencoba menyentil dan mendiagnosa secara supel beberapa problem krusial terkait Putusan MK yang dimaksud.
Sebagaimana diketahui, permohonan uji matreril atau judicial review atas UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) diajukan oleh dua kelompok Pemohon substansi gugatan yang berbeda, yakni kelompok pertama terdiri dari sebanyak 12 pimpinan parpol se- Propinsi Sulawesi Utara. Mereka adalah Ferry Tinggogoy (PKB), Liang Gun Wa (PBSD), Jack C Parera, (PPIB), H Achmad Buchari (PBR), Wilson Buyung (PPDI), Abdullah Satjawidjaja (Ketua PPNUI), Danny Watti (PPD), Firasat Mokodompit (PKPB), Ferdinand D Lengkey (PNI-M), Anthon T Dotulong (PPDK), Bulahari (PSI), dan Sonny Lela (Partai Merdeka). Permohonan Ferry Tinggogoy dan kawan-kawannya didaftarkan ke MK pada 26 Februari 2005, dengan register nomor perkara 005/PUU-III/2005. Mereka mengajukan permohonan untuk menguji UU N0.32 tahun 2004 tentang Pemda pada penjelasan Pasal 59 ayat 1 yang menyebutkan partai politik atau gabungan partai politik adalah partai yang memiliki kursi di DPRD. Menurut para pemohon, UU No. 32 Tahun 2004 tersebut kontraproduktif dengan konstitusi kita yakni pasal 18 ayat 4 dan pasal 28 I UUD 1945.
Selain itu, pasal 59 ayat 1 UU No.32 tahun 2004, menurut pemohon, tidak mencerminkan azas demokrasi dan hanya mengakomodir kepentingan partai-partai yang memperoleh kursi di DPRD, serta diskriminatif. Menurut mereka, pasal 59 ayat 1 UU No.32/2004 juga mendiskualifikasikan partai-partai yang tidak memiliki kursi, padahal jika dilihat dari akumulasi suara sah yang diperoleh, partai tersebut memiliki suara yang cukup besar, bahkan bisa melampaui jumlah suara dari partai-partai yang mendapat kursi di DPRD. Pemohon menilai penjelasan Pasal 59 ayat 1 mengesankan adanya arogansi partai politik pemenang pemilu yang tidak memberikan peluang terjadinya perubahan secara demokratis dengan memberikan alternatif adanya pasangan calon yang bervariasi dari berbagai sumber. Permohonan ini dikabulkan MK, artinya partai-partai kecil pun berhak mengajukan calon meski kursi mereka di DPRD tidak mencapai 15% yang penting jika mereka (Parta-partai gurem) melakukan koalisi dan akumulasi suaranya mencapai minimal 15 %.
Dengan kata lain, partai yang tidak punya kursi di DPRD dapat mengajukan calon dengan menggandeng partai yang punya kursi di DPRD atau dengan menggandeng partai lain sehingga akumulasi perolehan suara hasil pemilu legislatif lalu mencapai 15 persen maka mereka berhak mengusung satu paket calon kepala daerah. Keluarnya putusan MK secara otomotis memberikan peluang dan ruang demokrasi bagi masyarakat yang lebih besar untuk mengajukan diri menjadi calon kepala daerah. Selain itu, peluang bagi parpol gurem untuk mengusung calon-calon independen yang memiliki kredibilitas dan integritas tinggi terhadap daerahnya sanga terbuka lebar. Kelompok Pemohon Uji Materiil yang kedua terdiri dari lima LSM yakni Cetro, ICW, JPPR, JAMPPI, serta YAPPIKA beserta 21 KPUD. KPUD yang dimaksud antara lain; KPUD Jatim, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Banten, DIJ, Sumut, Kaltim, Sumsel, Lampung, dan Gorontalo. Mereka mengajukan permohonan untuk menguji sejumlah Pasal-Pasal dalam UU N0.32 tahun 2004 tentang Pemda yang dianggap bermasalah atau tidak sejalan dengan UUD 1945. Permohonan ke empat LSM tersebut tercatat dengan registrasi perkara No.072/PUU-II/2004 sedangkan permohonan ke 21 KPUD yang dimaksud tercatat dalam registrasi perkara No.73/PUU-II/2004.
Mahkamah Konstitusi, hanya mengabulkan pembatalan empat di antara sepuluh Pasal yang diuji. Keempat pasal tersebut secara khusus menyangkut peran DPRD pada penyelenggaraan Pilkada. MK memutuskan bahwa untuk pertanggungjawaban penyelenggaraan Pilkada, KPUD akan bertanggungjawab langsung ke publik. Sedang kepada DPRD, KPUD hanya menyampaikan laporan penyelenggaraan. Khusus tiga pasal yang dibatalkan yakni Pasal 57 ayat 1, pasal 66 yat 3 huruf e dan pasal 67 ayat 1 huruf e, maka dengan dikabulkannya permohonan gugatan ketiga pasal tersebut berarti KPUD tidak lagi harus bertanggungjawab terhadap DPRD termasuk soal anggaran. Lebih lanjut MK menilai, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD akan merusak kemandirian, trnasparansi dan independensi proses pilkada itu sendiri. Tetapi, MK menolak gugatan pemohon untuk membatalkan pasal 65 ayat (1), pasal 89 ayat (3), pasal 94 ayat (2), dan pasal 114 ayat (4), terkait dengan peran dan keterlibatan pemerintah dalam pilkada secara langsung. Seperti diketahui, Pasal 57 ayat (1) menyebutkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD. Pasal 66 ayat (3) huruf e mengatakan tugas dan wewenang DPRD. Pasal 67 ayat (1) huruf e menyebutkan KPUD mempertanggungjawabkan anggaran kepada DPRD. Pasal 82 ayat (2) mengatakan pasangan calon atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD.
Peran DPRD Di Kebiri
Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan penting yakni merombak mekanisme pertanggungjawaban pemilihan kepala daerah. Dalam putusannya, ditegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai penyelenggara pilkada tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD seperti dalam UU Pilkda sebelumnya. Memang harus dipahami bahwa kemandirian KPUD sebagai penyelenggara pilkada tidak mungkin dicapai kalau harus bertanggung jawab kepada DPRD sebagai lembaga politik yang terdiri atas unsur-unsur parpol. DPRD yang anggotanya terdiri dari beragam wakil partai politik termasuk pelaku dalam kompetisi pilkada itu (mengajukan pasangan calon dan berkoalisi). KPUD pun tidak mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD. Sebab, hal itu juga berpotensi mengancam independensi penyelenggara pilkada. DPRD sebagai lembaga politik dianggap memiliki kepentingan politik dalam persaingan kekuasaan di tingkat lokal dan bisa mengintervensi KPUD melalui anggaran. Karena itu, KPUD harus bertanggung jawab kepada publik. Namun, MK dalam putusannya tidak merincikan secara ekstrinsik seperti apa atau lembaga mana yang bisa merepresentasikan “publik” selain DPRD tersebut. Problem pertanggungjawaban anggaran Pilkada juga tidak jelas. Dalam kacamata saya, meskipun tidak di rinci tetapi bila anggaran pilkada diberikan oleh pemda dan bantuan dari APBN, maka mekanisme pertanggungjawabannya kepada pemerintah dengan audit oleh institusi BPK/BPKP.
Memang sulit menerima alasan KPUD harus bertanggung jawab kepada DPRD karena DPRD bukan legislator dalam pengaturan pilkada yang harus dilaksanakan KPUD. Demikian halnya KPUD yang bekerja berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) bukan pada Keputusan KPU sulit bertanggung jawab kepada KPU sebagai penyelenggara nasional. Sebagaimana diketahui KPU tidak dilibatkan sama sekali dalam pilkada, baik sisi aturan maupun anggaran. Jika MK menyebutkan KPU sebagai tempat KPUD bertanggung jawab, maka agak sulit diterima karena KPU tidak mengeluarkan produk hukum Keputusan KPU sebagai acuan KPUD. Namun jika dilihat dari sisi hierarki struktur KPU dengan KPUD-KPUD maka mekanisme pertanggungjawaban kepada KPUD kepada KPU merupakan sesuatu yang logis dan dapat dipahami. Jika MK menyebutkan pertanggungjawaban KPUD kepada pemerintah maka hal itu semakin menjadikan pilkada tidak independen sebagaimana juga kalau bertanggung jawab kepada DPRD. Jadi putusan MK ini cukup membingungkan bagi publik. Publik bertanya kenapa MK tidak tegas memutuskan bahwa KPUD bertanggung jawab kepada KPU karena KPUD adalah “bawahan” secara hirarkis dari KPU. Pertanggungjawaban KPUD kepada publik mau tidak mau mengharuskan partisipasi publik yang tinggi dalam pengawasan pilkada.
MK juga menilai bahwa DPRD tidak berhak membatalkan pasangan calon yang berdasarkan putusan pengadilan, terbukti melakukan money politics atau melanggar rambu-rambu Pilkada itu sendiri. Kewenangan yuridis untuk membatalkan pasangan calon itu, dikembalikan ke KPUD karena lembaga itulah yang menetapkan pasangan calon. Dalam hal ini, MK menggunakan prinsip hukum a contrario actus, artinya pembatalan suatu tindakan hukum harus dilakukan badan yang sama dalam pembentukannya. MK memang membatalkan kewenangan DPRD untuk menerima pertanggungjawaban dari KPUD. Tetapi DPRD masih mempunyai hak untuk membentuk panwas. Seperti diketahui bahwa DPRD tidak semua kewenangan DPRD dipangkas oleh MK. DPRD masih punya satu kewenangan yuridis yakni membentuk panitia pengawas atau panwas. Dalam sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (5 dan 7) UU Pemda disebtukan bahwa pengawas provinsi/kabupaten/kota/kecamatan dibentuk oleh DPRD. Esksistensi panitia pengawas dapat dimintakan perannya secara luas untuk mengawasi kinerja anggota KPUD. Perlu diketahui bahwa Pasal yang mengatur mekanisme pemebentukan Panwas ini juga di ajukan yudicial review namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Jika disikapi secara ekstara normatif, maka pola pembentukan Panwas ini sangat berbeda dengan Pemilu 2004 yang lalu. Pada pemilu 2004 lalu, panitia pengawas dibentuk oleh KPU dan KPUD.
Pro Kontra peran KPU
Dalam kontes Pilkada 2005 sekarang, KPU sama sekali tidak begitu siginifikan memainkan perannya seperti pada pemilu legislatif dan Pilpres 2004 yang silam. Ternyata argumentasi yuridis pengamputasian kewenangan KPU dalam pilkada langsung 2005 sekarang adalah Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan umum. Pasal ini, secara eksplisit meyebutkan bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), presiden dan wakil presiden, dan DPRD. Tetapi tidak disebutkan secara jelas untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Aturan mengenai pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah ternyata atur dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah UUD 1945 yakni pada Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi; Gubernur, Bupati, dan Wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara “demokratis”. Kalau dianaliasa secara yuridis, maka setidak-tidaknya Pasal 18 Ayat (4) ini, memunculkan beberapa unsur kekurangan. Pertama, tidak ada unsur ketegasan secara eksplisit bagaimana wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota dipilih. Kedua, pemilihan kepala daerah hanya disebutkan secara parsial yang menganding unsur quasi yakni bahasa “demokratis”, artinya tidak disebutkan secara jelas sebagaimana pada Pasal tentang pemilihan umum yang menegaskan dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Apakah yang dimaksud dengan “demokratis” mengandung unsur sinonimitas dengan asas “luber jurdil” tersebut. Ketiga, secara kronologis, pengaturan Pasal 18 Ayat (4) mengenai pemerintahan daerah seperti dalam UUD 1945 merupakan hasil amendemen tahap II, sedangkan Pasal 22E UUD 1945 tentang pemilu adalah hasil dari perubahan atau amandemen UUD 1945 tahap III. Mestinya para pembuat konstitusi dapat memasukkan pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah sebagai bagian dari pemilu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22E UUD 1945. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dijadikan acuan oleh pemerintah dalam membuat PP Pilkada No 6/2005. Sedangkan UU Pemda juga berpedoman pada pasal Pemda UUD 1945 dalam penyusunannya termasuk pointer pemilihan kepala daerah langsung tidak mengacu kepada Pasal 22E UUD 1945 tentang Pemilu. Jadi sesungguhnya Pasal 22E UUD 1945 sama sekali dikeluarkan dari acuan dalam membentuk UU Pemda dan PP Pilkada yang juga mengatur pemilihan kepala daerah.
Ada Kesan Ambivalen
Jika tilik secara cermat, terdapat ambiguitas penafsiran dan inkonsistensi yuridis atas Putusan MK tersebut. Seperti diketahui bahwa ternyata dasar hukum amar putusan MK yang tidak diberlakukan secara menyeluruh terhadap pengambilan keputusan tersebut. Dasar hukum MK untuk mengabulkan sebagian permohonan adalah untuk menjaga independensi KPUD, menjaga kualitas pilkada, pentingnya asas luber dan jurdil. Tetapi, dasar pertimbangan hukum tersebut tidak dijadikan dasar bagi pasal-pasal yang menyatakan keterlibatan pemerintah. Keterlibatan pemerintah semata-mata merupakan perintah UU No 32/2004, tanpa menyinggung kekhawatiran besarnya potensi intervensi pemerintah dalam proses pilkada. Dengan demikian kendati putusan MK ini memberikan ruang partisipasi publik dalam yang lebih longgar dalam frame demokrasi, namun putusan MK tersebut tetap tidak mampu membaptiskan kualitas dan nilai-nilai demokrasi secara perfecto dalam pentas pemilihan kepala daerah secara langsung.
Ada hal lain yang juga menarik perhatian kita yakni pertimbangan MK yang terkesan meragukan independensi KPUD dapat terjaga dengan sistem yang berlaku saat ini, tapi justru tidak menganulirnya. Majelis hakim MK bahkan menyinggung tidak terjaminnya independensi KPUD akan mengganggu hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan sebagaimana diatur pasal 1 (2) UUD 1945 dan jaminan kepastian hukum dalam pasal 28D UUD 1945. Lebih lucu lagi, MK justru menganjurkan supaya di masa datang penyelenggaraan Pilkada langsung idealnya di bawah kendali dan tanggung jawab KPU. Acuan yang dipakai adalah pasal 22E UUD 1945 yang mengatur tentang pemilu. Sejumlah alasan yang di kemukakan MK, antara lain, demi efisiensi penyelenggaraan pemilu oleh lembaga yang independen, profesional, didukung sistem yang kuat dengan segala perangkat kelembagaan dan pranatanya. KPU Pusat pun diwajibkan tetap melakukan koordinasi dan supervisi kepada KPUD karena hierarkinya tetap ada. Satu pasal lain yang juga ditolak MK adalah pasal 106 (1 sampai 7). Lima LSM dan 21 KPUD menganggap perselisihan hasil pilkada bukan wewenang Mahkamah Agung (MA), tetapi harus diputus MK, seperti halnya Pemilu 2004 lalu. Pemikiran itu tetap berangkat dari asumsi para majelis hakim MK bahwa Pilkada adalah bentuk pemilu. Tapi, karena pembentuk Undang-undang (legal drafter) Pemda tidak menentukan pilkada langsung merupakan pemilu, MK memandang bahwa perselisihan Pilkada merupakan tambahan kewenangan MA yang diberikan UU. Hal itu diatur dalam pasal 24A (1) UUD 1945. Hemat saya sikap MK yang tetap memberikan peluang bagi MA dalam gugatan perkara pilkada dapat memancing intervensi kekuasan atau politik oleh pemerintah.
Hemat saya agar tidak terjadi ambivalensi pola pemkanaan terhadap UU Pilkada itu sendiri, maka idealnya pilkada langsung harus tetap diletakkan dalam kerangka Pemilihan Umum. Sejatinya, MK harus mengabulkan semua permohonan uji materiil. Proses penyelenggaraan Pilkada seyogyanya diserahkan kepada KPU, KPUD provinsi, dan KPUD kabupaten/kota sebagai penyelenggara pemilu secara nasional, tetap, dan mandiri sehingga tidak lagi menimbulkan implikasi hukum dan politik yang menyesatkan masyarakat. Putusan MK kali ini disamping terdapat nilai demokrasinya, tetapi ternyata juga memberikan pemahaman yang berwahyu arti. Di satu sisi Mahkamah Konstitusi kita menolak secara normatif legalistik bahwa Pilkada langsung bukanlah atau tidak bisa diketagorikan sebagai pemilu. Sementara di sisi lain, MK menginstruksikan dan mengakui bahwa segala tahapan dan proses serta asas- asas dalam penyelenggaraan pilkada mengikuti prosedur dan asas-asas pemilu sebagaimana dalam UUD 1945 Junto UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Legisltaif dan UU No. 23 tentang Pemilu Pilpres dan Wapres. Sikap MK yang menolak permohonan yang diajukan KPUD dan sejumlah LSM tentang Pilkada harus menjadi bagian dari Pemilu, sesungguhnya mencerminkan bahwa hakim MK mungkin kurang atau bahkan pura-pura tidak tahu legal spirit yang terkandung dalam UUD 1945. Kita dapat berhipotesa bahwa anak Sekolah Dasar pun tahu jikalau ditanya pemilihan Walikota/Bupati itu Pemilu atau bukan, mereka pasti dengan lantang menjawab itu pemilu !!. Saya menduga bahwa terdapat intervensi politik yang cukup kuat dari pemerintah dalam proses putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sehingga walhasil terjadi diseenting oponion yang amat mencolok yakni 3: 6. Pada kenyataanya para hakim MK sebanyak tiga orang yang melakukan dissenting opinion itu, sejalan dengan para saksi ahli yang juga menghendaki Pilkada harus merupakan bagian dari Pemilu.
Menurut Smita, dalam UU Pemda, Depdagri memang tidak memiliki wewenang besar. Tapi, alokasi anggaran yang diperolehnya bisa sangat besar. Misalnya, dengan pengajuan anggaran pengadaan perangkat TI Pilkada yang sebenarnya sudah dimiliki KPU Pusat. Oleh karena perlu beberapa langkah antisipatif dan emergency yang harus ditempuh pasca keluarr putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini. Pertama; mendorong keras KPU Pusat mengajukan sengketa kewenangan antar lembaga dalam pilkada (KPU vs Depdagri) ke MK. Kedua; Perlu segara merevisi Undang-undang tentang MK untuk lebih memantapkan independensi Mahkamah Konstitusi. Ketiga, mendesak MPR untuk mengubah kembali pasal tentang pemilu dalam konstitusi. Idealnya agar tidak terjadi sikap ambivalen, keseluruhan Pasal yang bertalian dengan Pemilu harus digabungkan dalam Pasal 22 UUD 1945. Upaya untuk menyelaraskan pemilihan kepala daerah dengan pemilihan umum akan menemui kendala secara konstitusional. Hal ini bisa diatasi bila pasal 22E UUD 1945 di tinjau kembali artinya harus sempurnakan bahwa pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah adalah satu rangkaian pemilihan umum sehingga dengan demikian kita tidak perlu berdebat lagi apakah KPU berfungsi sebagai penyelenggara pilkada atau tidak.
Efek putusan MK
Dengan dihapuskannya beberapa pasal dalam UU Pemda, maka aturan-aturan yang terkait dengan pilkada dalam PP Pilkada juga harus direvisi. Pasal-pasal terkait adalah pasal 4 ayat (4) PP Pilkada tentang KPUD bertanggung jawab kepada DPRD, pasal 6 ayat (e) PP Pilkada tentang KPUD mempertanggungjawabkan anggaran pilkada kepada DPRD, Pasal 64 ayat (2) tentang pembatalan pasangan calon oleh DPRD dan penjelasan tentang partai politik/gabungan partai politik yang boleh mengajukan calon. Revisi PP Pilkada tidak membutuhkan waktu yang lama sehingga pilkada yang dijadwalkan bulan Juni mendatang tetap dapat dilaksanakan. Pemerintah harus segera mengeluarkan Perpu dan PP Pilkada hasil revisi agar proses persiapan pilkada tidak tersendat. Anggaran pilkada yang berasal dari APBN dan APBD tentu harus diawasi secara ketat karena belum ada aturan ke mana KPUD harus mempertanggungjawabkannya. Jika dana ini berasal dari anggaran Depdagri yang dialokasikan oleh APBN/APBD maka kemungkinan besar mekanisme pertanggungjawabanannya kepada pemerintah dan pemda/pemkot. Hal ini mendorong kekhawatiran bahwa KPUD dalam menjalankan tugasnya tidak independen/mandiri. Namun setidaknya KPUD sementara ini lepas dari shadow DPRD yang dikuasai politisi partai yang juga sekaligus pemain pilkada nanti. Sangat tepat jika, dilihat dari sisi politik DPRD. Tapi jika DPRD dilihat sebagai representasi/wakil rakyat yang bertanggung jawab kepada rakyat, maka peran DPRD dalam pilkada dapat dibenarkan. Namun jika kita mencermati sepak terjang dan performa para anggota DPRD pada periode silam dan sekarang agak diragukan keberpihakannya pada kepentingan umum. Fakta berbicara bahwa sebagaian besar wakil rakyat kita masih suka melakukan “politik dagang kambing”' untuk mencapai tujuan politik partai/kelompoknya terutama dalam perebutan kepala daerah.
Putusan MK yang membatalkan empat pasal dan satu penjelasan UU Pemda/2004 setidaknya menimbulkan perubahan proses pelaksanaan pilkada. Kekhawatiran bahwa DPRD dapat mengintervensi proses pilkada dapat dieliminasi. Dalam UU Pemda memang ada kewenangan strategis KPUD yang diambil oleh DPRD terutama pembatalan calon. Namun putusan MK sepenuhnya memberikan kewenangan pada KPUD untuk melaksanakan pilkada tanpa dapat diintervensi oleh institusi lain, kecuali dari sisi anggaran dan aturan pilkada dalam PP yang masih mengkhawatirkan. Di samping itu, kemungkinan calon tunggal karena pembatasan calon kepala daerah minimal 15% suara partai/gabungan yang memiliki kursi DPRD dapat dihindari. Justru sebaliknya akan banyak calon yang muncul dari partai-partai kecil yang dalam pemilu legislatif 2004 lalu memiliki suara sah namun tidak memiliki kursi DPRD karena tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP). Persaingan dan suasana politik lokal/daerah akan semakin meriah. Tidak menutup kemungkinan kandidat dari kalangan independen atau non partisan ikut meramaikan bursa Pilkada melalui partai-partai yang tidak punya kursi DPRD. Dengan begitu paling tidak, potensi konflik antarcalon atau antarpendukung calon yang mengakibatkan konflik horizontal dapat di minimalisir. Politisasi yang berkembang di DPRD untuk menjegal calon dalam pilkada tidak lagi dapat dilakukan karena
kewenangan penetapan calon sepenuhnya berada di tangan KPUD sehingga turut menghindari timbulnya konflik antar partai. Ingat Pilkada sebagai pesta demokrasi rakyat yang baru terjadi dalam tradisi sejarah politik nasional kita selama ini. Sebagai sebuah fenomana baru dalam transisi demokrasi yang kini berlangsung, keberhasilan dan kegagalan, pelaksanaan Pilkada 2005 akan menjadi faktor deterministik bagi kualitas berdemokrasi bangsa kita yang masih gemar “KORUPSI DAN BER-MONEY POLITIK ini”. Sekian ****
Selasa, 28 April 2009
CARUT MARUT LEGISLASI RUU DI SENAYAN

CARUT MARUT LEGISLASI RUU DI SENAYAN
King Faisal Sulaiman
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Malut
A. Abstraksi Umum
Sebagaimana diketahui, politik hukum yang menyangkut rencana pembangunan materi hukum di Indonesia pada saat ini termuat di dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Artinya pemetaan rencana tentang undang-undang apa yang akan dibuat dalam periode tertentu dapat dilihat pada Prolegnas tersebut. Program legislasi nasional (Prolegnas) merupakan proses penting dalam perencanaan penyusunan undang-undang. Melalui Prolegnas, undang-undang yang akan diproritaskan dalam periode kerja DPR dan DPD serta Pemerintah akan diformulasikan secara sistematis dan sejalan dengan kebutuhan produk hukum secara nasional. Secara operasional Prolegnas memuat daftar rancangan undang-undang yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional.
Program legislasi nasional (Prolegnas) merupakan grand design utama di bidang produk hukum yang dilakukan oleh DPR dan DPD serta Pemerintah. Program legislasi nasional (Prolegnas) secara sempit bisa diartikan sebagai penyusunan suatu daftar materi perundang-undangan. Program legislasi nasional (Prolegnas) sebagai bagian pembangunan hukum nasional adalah instrumen perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan tingkat pusat yang memuat skala prioritas program legislasi Jangka Menengah dan Tahunan yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI bersama Pemerintah sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Dalam kerangka ini, Prolegnas tidak semata-mata merupakan daftar keinginan penyusunan rancangan undang-undang (RUU), tapi benar-benar bersentuhan dengan spirit pembangunan hukum secara komprehensif.
Penyusunan Prolegnas sebenarnya telah melalui berbagai kajian oleh DPR dan Pemerintah, namun Prolegnas sayangnya dalam beberapa sisi tidak memperhatikan aspirasi dari instansi terkait seperti DPD dan stakeholder lain. Akibatnya, beberapa RUU yang dalam prosesnya, sejatinya bermitra pada kondisi obyektif masyarakat justru meninggalkan aspirasi masyarakat itu sendiri. Dalam tataran ini, sudah selayaknya pembuatan produk hukum berupa Undang-undang pada level pusat harus juga mempertimbangkan dan mengakomodir kebutuhan riil di daerah-daerah dan aspirasi yang berkembang agar sejalan dengan tuntutan pembangunan di daerah.
B. Potret Legislasi RUU oleh DPR
Seperti kita ketahui, pasca amandemen UUD 1945 terjadi perubahan ekstrem terhadap fungsi legislasi DPR. Jika sebelum amandemen UUD 1945, DPR berdasarkan rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) hanya mempunyai fungsi legislasi yang lemah dalam proses pembentukan UU. Namun, pasca amandemen pertama UUD 1945, rumusan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) mengalami perubahan yang sangat signifikan sehingga berimplikasi pada menempatkan DPR sebagai lembaga utama pemegang kekuasaan pembuatan Undang-undang. Selain kedua pasal tersebut, dominasi DPR dalam proses legislasi diperkuat dengan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Pada awal Februari 2005, DPR dan pemerintah menyetujui Prolegnas yang memuat daftar 284 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan diselesaikan pada periode DPR hasil Pemilu 2004. Persetujuan ini menimbulkan persoalan karena faktanya acap-kali tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam penyusunan RUU tersebut.
Secara prosedural normatif, penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan, yaitu Badan Legislasi DPR. Dalam proses tersebut, Badan Legislasi dapat meminta atau memperoleh bahan atau masukan dari lembaga DPD dan masyarakat terutama para penggiat social (Ornop/NGO) serta sejumlah stakeholder terkait. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Legislasi, dikoordinasikan dengan pemerintah bukan dengan DPD melalui menteri yang terkait dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas tersebut.
Dengan demikian, posisi dilematis DPD dalam proses legislasi RUU oleh DPR, hanyalah sebatas berpartisipasi dalam tahapan pengajuan RUU dan memberikan masukan kepada DPR, itupun jikalau diminta oleh DPR. Artinya, tidak ada unsur imperatif (keharusan) dalam partisipasi atau pemberian masukan dan pengajuan sebuah RUU oleh DPD kepada DPR. Lebih jauh, setiap rancangan yang diajukan oleh DPR, Presiden, dan DPD terlebih dahulu harus dimasukkan dalam program negislasi Nasional. Sebab pembentukan program legislasi nasional merupakan perintah UU No.10 tahun 2004, dimana perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu program legislasi nasional. Kemudian, dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar program legislasi nasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (3) UU No.10 tahun 2004. Ketentuan pada Pasal 17 ayat (3) tersebut, tidak berlaku bagi rancangan undang-undang yang berasal dari DPD di luar program legislasi nasional. Sekali lagi DPD tidak diberikan sama sekali kewenangan mutlak untuk mengajukan RUU terlebih dalam kondisi yang memerlukan pengaturan yang tidak tercantum dalam program legislasi nasional (emergency).
C.Potret Legislasi RUU oleh DPD
Secara normatif, Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal yang sama ditegaskan Pasal 42 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yakni, Lembaga DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini juga ditegaskan kembali dalam Pasal 17 ayat (2) UU 10/2004 terkait pengajuan RUU dalam konteks persiapan pembentukan undang-undang.
Dengan demikian, jelas bahwa lembaga DPD berwenang pula mengajukan rancangan Undang-undang (RUU) tetapi terbatas pada isu-isu sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 22D UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan yang terkait. Mengenai teknis penyiapan dan penyusunan RUU oleh DPD, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Pasal 16 ayat (1) menegaskan bahwa penyusunan Prolegnas dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi yakni Badan Legislasi (Baleg) DPR. Mengingat pentingnya koordinasi yang terpadu antara DPR dan DPD maka meskipun kecil peluang DPD untuk ikut serta dalam tahapan perencanaan Prolegnas dikarenakan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 diatas, namun mestinya ada mekanisme lebih lanjut pembahasan secara integratif yang mempertemukan Badan Legislasi DPR dengan Panitia Perancang Undang-Undang DPD dalam kaitan penyusunan program legislasi nasional tersebut.
Persamaan mekanisme penyusunan RUU oleh DPD dan DPR terletak pada keharusan untuk senantiasa berada dalam koridor program legislasi nasional. Hal ini tercermin dalam Pasal 17 ayat (1) UU 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa RUU, baik yang berasal dari DPR, presiden, maupun DPD harus disusun berdasarkan Program legislasi nasional (Prolegnas). Dengan demikian setiap RUU yang diusulkan oleh DPD harus terdapat dalam program legislasi nasional. Pasal 17 ayat (1) UU 10 Tahun 2004, merupakan ketentuan mengenai tahap pembentukan sebuah rancangan undang-undang. Sedangkan dalam tahap perencanaan yang diatur dalam Pasal 15 dan 16 UU No.10 Tahun 2004, dan ternyata DPD tidak dimasukkan dalam proses perencanaan. Hal ini merupakan salah satu kelemahan mendasar dari UU No. 10 Tahun 2004 tersebut. Kelemahan lainnya ialah sebagaimana penegasan Pasal 17 ayat (3) UU ini, yang mengatakan bahwa dalam keadaan tertentu DPR atau presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas sementara peluang penambahan pengusulan RUU ternyata tidak diberikan kepada DPD.
Adapun mekanisme Pengajuan RUU oleh DPD, disampaikan kepada DPR melalui alat kelengkapannya, yaitu Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk kemudian menjadi bagian dari bahan pembahasan penyusunan Prolegnas oleh DPR dan Pemerintah. Dengan demikian setiap RUU yang diusulkan oleh DPD harus terdapat dalam program legislasi nasional. Dengan begitu, DPD hanya bisa menyiapkan dan menyusun sejumlah program dan prioritas RUU untuk selanjutnya diajukan ke DPR sebagai bahan penyusunan Prolegnas. Melalui usul tersebut, diharapkan aspirasi dan kepentingan daerah dapat diakomodasi dan menjadi bagian dalam Prolegnas. Kewenangan yang terbatas, memungkinkan DPD hanya dapat mendukung upaya-upaya yang tengah dan akan dilakukan oleh Badan Legislasi DPR untuk menentukan parameter penentuan prioritas agar daftar undang-undang dalam Prolegnas dapat benar-benar menjadi sebuah “program legislasi” untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk Undang-undang.
D. Penutup
Program legislasi nasional (Prolegnas) adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. Oleh sebab itu dalam pembentukan sebuah RUU di tingkat pusat harus juga melihat kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi yang berkembang di daerah. Fakta menunjukan ruang keterllibatan DPD dalam proses legislasi nasional (penyusuanan RUU) masih mengalami penghimpitan dan kendala yang justru berasal dari konstitusi kita maupun peraturan perundang-undangan yang relevan. Walaupun wewenang DPD pada saat ini terbatas terlebih dalam pengajuan sebuah RUU, namun keberadaannya sebagai perwakilan provinsi-provinsi dalam pengambilan kebijakan di tingkat pusat sangatlah penting dalam kerangka checks and balances terhadap berbagai kebijkan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Kedepan, diperlukan koordinasi lintas sektoral secara terpadu dan maksimal antara DPR dan DPD serta Pemerintah dalam penyiapan sekaligus penyusunan RUU untuk selanjut dibahas secara bersama sebelum menjadi sebuah produk Undang-undang. Karena itu, sangat relevan jika revitalisasi peran dan fungsi lembaga DPD terlebih dalam pengarustamaan fungsi legislasi yang dimiliki DPD menjadi penting untuk diprioritaskan. Konsekuensinya, perlu dilakukan constitutional review terhadap UUD 1945 khususnya terkait dengan optimalisasi fungsi, kedudukan, dan kewenangan konstitusional DPD. Langkah Legislative review juga harus dilakukan terhadap Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan produk perundangan lainnya yang terkait dengan lokus kewenangan proses legislasi RUU oleh DPD yang setara sebagaimana yang diperankan oleh lembaga DPR selama ini. Semoga***
King Faisal Sulaiman
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Malut
A. Abstraksi Umum
Sebagaimana diketahui, politik hukum yang menyangkut rencana pembangunan materi hukum di Indonesia pada saat ini termuat di dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Artinya pemetaan rencana tentang undang-undang apa yang akan dibuat dalam periode tertentu dapat dilihat pada Prolegnas tersebut. Program legislasi nasional (Prolegnas) merupakan proses penting dalam perencanaan penyusunan undang-undang. Melalui Prolegnas, undang-undang yang akan diproritaskan dalam periode kerja DPR dan DPD serta Pemerintah akan diformulasikan secara sistematis dan sejalan dengan kebutuhan produk hukum secara nasional. Secara operasional Prolegnas memuat daftar rancangan undang-undang yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional.
Program legislasi nasional (Prolegnas) merupakan grand design utama di bidang produk hukum yang dilakukan oleh DPR dan DPD serta Pemerintah. Program legislasi nasional (Prolegnas) secara sempit bisa diartikan sebagai penyusunan suatu daftar materi perundang-undangan. Program legislasi nasional (Prolegnas) sebagai bagian pembangunan hukum nasional adalah instrumen perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan tingkat pusat yang memuat skala prioritas program legislasi Jangka Menengah dan Tahunan yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI bersama Pemerintah sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Dalam kerangka ini, Prolegnas tidak semata-mata merupakan daftar keinginan penyusunan rancangan undang-undang (RUU), tapi benar-benar bersentuhan dengan spirit pembangunan hukum secara komprehensif.
Penyusunan Prolegnas sebenarnya telah melalui berbagai kajian oleh DPR dan Pemerintah, namun Prolegnas sayangnya dalam beberapa sisi tidak memperhatikan aspirasi dari instansi terkait seperti DPD dan stakeholder lain. Akibatnya, beberapa RUU yang dalam prosesnya, sejatinya bermitra pada kondisi obyektif masyarakat justru meninggalkan aspirasi masyarakat itu sendiri. Dalam tataran ini, sudah selayaknya pembuatan produk hukum berupa Undang-undang pada level pusat harus juga mempertimbangkan dan mengakomodir kebutuhan riil di daerah-daerah dan aspirasi yang berkembang agar sejalan dengan tuntutan pembangunan di daerah.
B. Potret Legislasi RUU oleh DPR
Seperti kita ketahui, pasca amandemen UUD 1945 terjadi perubahan ekstrem terhadap fungsi legislasi DPR. Jika sebelum amandemen UUD 1945, DPR berdasarkan rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) hanya mempunyai fungsi legislasi yang lemah dalam proses pembentukan UU. Namun, pasca amandemen pertama UUD 1945, rumusan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) mengalami perubahan yang sangat signifikan sehingga berimplikasi pada menempatkan DPR sebagai lembaga utama pemegang kekuasaan pembuatan Undang-undang. Selain kedua pasal tersebut, dominasi DPR dalam proses legislasi diperkuat dengan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Pada awal Februari 2005, DPR dan pemerintah menyetujui Prolegnas yang memuat daftar 284 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan diselesaikan pada periode DPR hasil Pemilu 2004. Persetujuan ini menimbulkan persoalan karena faktanya acap-kali tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam penyusunan RUU tersebut.
Secara prosedural normatif, penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan, yaitu Badan Legislasi DPR. Dalam proses tersebut, Badan Legislasi dapat meminta atau memperoleh bahan atau masukan dari lembaga DPD dan masyarakat terutama para penggiat social (Ornop/NGO) serta sejumlah stakeholder terkait. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Legislasi, dikoordinasikan dengan pemerintah bukan dengan DPD melalui menteri yang terkait dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas tersebut.
Dengan demikian, posisi dilematis DPD dalam proses legislasi RUU oleh DPR, hanyalah sebatas berpartisipasi dalam tahapan pengajuan RUU dan memberikan masukan kepada DPR, itupun jikalau diminta oleh DPR. Artinya, tidak ada unsur imperatif (keharusan) dalam partisipasi atau pemberian masukan dan pengajuan sebuah RUU oleh DPD kepada DPR. Lebih jauh, setiap rancangan yang diajukan oleh DPR, Presiden, dan DPD terlebih dahulu harus dimasukkan dalam program negislasi Nasional. Sebab pembentukan program legislasi nasional merupakan perintah UU No.10 tahun 2004, dimana perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu program legislasi nasional. Kemudian, dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar program legislasi nasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (3) UU No.10 tahun 2004. Ketentuan pada Pasal 17 ayat (3) tersebut, tidak berlaku bagi rancangan undang-undang yang berasal dari DPD di luar program legislasi nasional. Sekali lagi DPD tidak diberikan sama sekali kewenangan mutlak untuk mengajukan RUU terlebih dalam kondisi yang memerlukan pengaturan yang tidak tercantum dalam program legislasi nasional (emergency).
C.Potret Legislasi RUU oleh DPD
Secara normatif, Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal yang sama ditegaskan Pasal 42 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yakni, Lembaga DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini juga ditegaskan kembali dalam Pasal 17 ayat (2) UU 10/2004 terkait pengajuan RUU dalam konteks persiapan pembentukan undang-undang.
Dengan demikian, jelas bahwa lembaga DPD berwenang pula mengajukan rancangan Undang-undang (RUU) tetapi terbatas pada isu-isu sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 22D UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan yang terkait. Mengenai teknis penyiapan dan penyusunan RUU oleh DPD, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Pasal 16 ayat (1) menegaskan bahwa penyusunan Prolegnas dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi yakni Badan Legislasi (Baleg) DPR. Mengingat pentingnya koordinasi yang terpadu antara DPR dan DPD maka meskipun kecil peluang DPD untuk ikut serta dalam tahapan perencanaan Prolegnas dikarenakan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 diatas, namun mestinya ada mekanisme lebih lanjut pembahasan secara integratif yang mempertemukan Badan Legislasi DPR dengan Panitia Perancang Undang-Undang DPD dalam kaitan penyusunan program legislasi nasional tersebut.
Persamaan mekanisme penyusunan RUU oleh DPD dan DPR terletak pada keharusan untuk senantiasa berada dalam koridor program legislasi nasional. Hal ini tercermin dalam Pasal 17 ayat (1) UU 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa RUU, baik yang berasal dari DPR, presiden, maupun DPD harus disusun berdasarkan Program legislasi nasional (Prolegnas). Dengan demikian setiap RUU yang diusulkan oleh DPD harus terdapat dalam program legislasi nasional. Pasal 17 ayat (1) UU 10 Tahun 2004, merupakan ketentuan mengenai tahap pembentukan sebuah rancangan undang-undang. Sedangkan dalam tahap perencanaan yang diatur dalam Pasal 15 dan 16 UU No.10 Tahun 2004, dan ternyata DPD tidak dimasukkan dalam proses perencanaan. Hal ini merupakan salah satu kelemahan mendasar dari UU No. 10 Tahun 2004 tersebut. Kelemahan lainnya ialah sebagaimana penegasan Pasal 17 ayat (3) UU ini, yang mengatakan bahwa dalam keadaan tertentu DPR atau presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas sementara peluang penambahan pengusulan RUU ternyata tidak diberikan kepada DPD.
Adapun mekanisme Pengajuan RUU oleh DPD, disampaikan kepada DPR melalui alat kelengkapannya, yaitu Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk kemudian menjadi bagian dari bahan pembahasan penyusunan Prolegnas oleh DPR dan Pemerintah. Dengan demikian setiap RUU yang diusulkan oleh DPD harus terdapat dalam program legislasi nasional. Dengan begitu, DPD hanya bisa menyiapkan dan menyusun sejumlah program dan prioritas RUU untuk selanjutnya diajukan ke DPR sebagai bahan penyusunan Prolegnas. Melalui usul tersebut, diharapkan aspirasi dan kepentingan daerah dapat diakomodasi dan menjadi bagian dalam Prolegnas. Kewenangan yang terbatas, memungkinkan DPD hanya dapat mendukung upaya-upaya yang tengah dan akan dilakukan oleh Badan Legislasi DPR untuk menentukan parameter penentuan prioritas agar daftar undang-undang dalam Prolegnas dapat benar-benar menjadi sebuah “program legislasi” untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk Undang-undang.
D. Penutup
Program legislasi nasional (Prolegnas) adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. Oleh sebab itu dalam pembentukan sebuah RUU di tingkat pusat harus juga melihat kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi yang berkembang di daerah. Fakta menunjukan ruang keterllibatan DPD dalam proses legislasi nasional (penyusuanan RUU) masih mengalami penghimpitan dan kendala yang justru berasal dari konstitusi kita maupun peraturan perundang-undangan yang relevan. Walaupun wewenang DPD pada saat ini terbatas terlebih dalam pengajuan sebuah RUU, namun keberadaannya sebagai perwakilan provinsi-provinsi dalam pengambilan kebijakan di tingkat pusat sangatlah penting dalam kerangka checks and balances terhadap berbagai kebijkan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Kedepan, diperlukan koordinasi lintas sektoral secara terpadu dan maksimal antara DPR dan DPD serta Pemerintah dalam penyiapan sekaligus penyusunan RUU untuk selanjut dibahas secara bersama sebelum menjadi sebuah produk Undang-undang. Karena itu, sangat relevan jika revitalisasi peran dan fungsi lembaga DPD terlebih dalam pengarustamaan fungsi legislasi yang dimiliki DPD menjadi penting untuk diprioritaskan. Konsekuensinya, perlu dilakukan constitutional review terhadap UUD 1945 khususnya terkait dengan optimalisasi fungsi, kedudukan, dan kewenangan konstitusional DPD. Langkah Legislative review juga harus dilakukan terhadap Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan produk perundangan lainnya yang terkait dengan lokus kewenangan proses legislasi RUU oleh DPD yang setara sebagaimana yang diperankan oleh lembaga DPR selama ini. Semoga***
DILEMA CALON PRESIDEN TUNGGAL

DILEMA CALON PRESIDEN TUNGGAL
King Faisal Sulaiman SH
Dosen Hukum Unkhair Ternate & Direktur LBH Malut
Mari kita lupakan sejenak kekisruhan atau amburadulnya Daftar Pemilih Tetap atau DPT pada pemilu legislatif (pileg) dan banyaknya caleg-caleg stress dengan macam-macam keanehanya akibat gagal menjadi wakil rakyat. Saya ingin mengajak perhatian kita tertuju pada hingar bingar konfigurasi politik jilid dua yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang saat ini sudah terasa getarannya hingga ke pelosok nusantara. Sederet tokoh atau elit politik yang kian menunjukkan taring politiknya, sebut saja Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah dipastikan sebagai Capres dari Partai Demokrat, kemudian ada Yusuf Kalla yang pasca perceraiannya dengan SBY kini sudah dikukuhkan lewat Rapimnas khusus partai Golkar sebagai calon Presiden. Disisi lain ada Megawati Soekarno Putri, yang kini makin memantapkan diri sebagai kandidat calon Presiden RI 2009-2014 dari Partai berlambang moncong Putih. Ketiga calon kuat Presiden tersebut dan ditambah tokoh-tokoh nasional lain seperti Prabowo Subianto (Gerindra), Wiranto (Hanura), Rizal Ramli dan Dedy Mizwar (capres alternatif dari sejumlah Partai Gurem), sudah mulai sibuk dan intens melakukan manuver-manuver politik. Mereka kini terus membangun komunikasi politik lintas elit partai politik yang ada untuk menentukan siapa cawapresnya masing-masing sekaligus membangun peta koalisi yang sebenarnya.
Ada pertanyaan yang mungkin terlupakan oleh kita, yakni apa jadinya jika dalam Pemilu Presiden (Pilpres) kali ini ternyata hanya terdapat satu pasangan calon yang didaftarkan Parpol pengusungnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU)? lalu dimana letak dasar hukumnya ? Pertanyaan-pertanyaan ini, menarik untuk dicari jawabannya. Kita tentu berharap hal ini tidak akan terjadi, namun dengan melihat pasang-surut dinamika Pencapresan yang berkembang saat ini, terlebih adanya ancaman boikot pemilu presiden yang dilontarkan oleh kelompok Teuku Umar, dimotori PDIP dan sejumlah partai politik lainnya akibat buruknya kualitas Pemilu legislatif (kisruh DPT) kemarin, maka bisa jadi kemungkinan-kemungkinan munculnya calon presiden tunggal tak terelakkan. Terlebih, dalam aturan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, tidak ada satupun ketentuan yang mengatur soal calon tunggal pemilihan Presiden. Pada segmen lain, UU No. 42 Tahun 2008 juga tidak sama sekali mengharuskan (tidak ada kewajiban) bahwa dalam pemilu presiden setidak-tidaknya harus ada dua pasangan calon yang bertarung.
Saya melihat para pembuat UU ini terlalu over confident (terlalu Pede) bahwa pasti terdapat lebih dari satu bakal pasangan calon alias minimal dua pasangan calon dalam Pilpres yang akan maju bertarung. Indikasi kearah pengasumsian bahwa bakal ada minimal dua pasangan calon yang berlaga, bisa kita telisik pada fase dan etape administratif sebagaimana diatur dalam UU Pilpres ini yang dimulai dari tahapan penyusunan daftar pemilih; kemudian pendaftran bakal pasangan calon; penetapan pasangan calon; masa kampanye; masa tenang; pengumutan dan penghitungan suara dan dilanjutkan dengan penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden serta terakhir adalah acara pengambilan dan pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden terpilih. Lebih jauh, ketentuan pada Pasal 21 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa KPU menetapkan dalam sidang pleno KPU tertutup dan mengumumkan nama-nama Pasangan Calon yang telah memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, 1 (satu) hari setelah selesai verifikasi. Secara implisit, argumen normatif yang dibangun dibalik bunyi Pasal ini adalah bahwa sudah pasti terdapat pasangan calon dalam Pilpres bulan Juli mendatang dengan penggunaan frasa “mengumumkan nama-nama pasangan calon”.
Selanjutnya ada klausula (Pasal 22) yang mengatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik tidak diperkenankan menarik calonnya dan atau pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU sebab konsekuensinya, partai politik atau gabungan partai politik tersebut tidak dapat mengusulkan calon pengganti. Demikian juga, salah seorang dari pasangan calon atau pasangan calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU. Bilamana pasangan calon atau salah seorang dari pasangan calon mengundurkan diri, partai politik atau gabungan partai politik yang mencalonkannya tidak dapat mengusulkan calon pengganti. Pada sisi lain, ada ketentuan (lihat Pasal 24) bahwa dalam hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya Kampanye sampai hari pemungutan suara sehingga jumlah pasangan calon kurang dari dua pasangan, tahapan pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditunda oleh KPU paling lama 30 (tiga puluh) hari, dan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang Pasangan Calonnya berhalangan tetap mengusulkan Pasangan Calon pengganti paling lama 3 (tiga) hari sejak Pasangan Calon berhalangan tetap.
Menyimak aturan main dalam Pilpres tersebut, secara intrinsik bisa ditafsirkan, UU No. 42 Tahun 2008 memberikan isyarat ambang batas dua pasangan calon sebagai syarat minimal dilaksanakannya pemilu presiden. Celakanya, tidak ada langkah antisipasi dalam UU ini bagaimana jikalau setelah ditunda selama 30 hari ditambah penundaan paling lama 3 (tiga) hari sejak Pasangan Calon berhalangan tetap, namun pasangan capres dan cawapres ternyata tetap tunggal alias orang Ambon bilang Seng Ada Lawan. Pertanyaan yang muncul, apakah tahapan Pilpres tetap dianggap sah secara hukum dan akan tetap dilanjutkan kendati hanya ada satu paket capres dan cawapres ? atau sebaliknya, apakah pemilu presiden dianggap in-konstitusional karena hanya diikuti satu pasangan calon ? Disinilah letak persoalan mendasar dan krusial yang tidak dapat dijawab secara tuntas oleh UU No. 42 Tahun 2008. Sejujurnya harus diakui, UU No. 42 Tahun 2008 sama sekali tidak mengantispasi akan munculnya pencapresan tunggal tersebut sehingga boleh dikatakan terjadi recht vacuum. Kita tidak juga tidak menemukan jawaban hukumnya dalam konsitusi kita (UUD 1945). Ironisnya, konstitusi kita juga tidak mengatur bagaimana mengatasi kekosongan kursi Presiden dan wakil presiden jika andaikata pemilu presiden gagal ditengah jalan atau pemilu presiden ternyata ditunda sampai akhir masa jabatan presiden ?
Mencermati sejumlah aturan-aturan normatif yang masih carut marut terkait calon tunggal dalam pemilihan presiden tersebut, maka idealnya segera dilakukan legislative review terhadap UU No. 42 Tahun 2008 atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus membuat Peraturan KPU yang mengatur akan problematika ini, karena KPU juga mempunyai kewenangan untuk itu (Pasal 24 ayat (4). Hanya saja, kelemahannya, jika hal ini diatur dalam peraturan KPU maka nilai legitimasi hukumnya kurang begitu kuat ketimbang diatur dalam sebuah Undang-undang. Kita tidak mungkin melakukan constitutional review karena harus butuh waktu yang relatif panjang dan dipastikan menguras energi politik yang lebih besar. Presiden juga tidak mungkin mengeluarkan Dekrit Presiden sebagaimana diakui dalam praktek ketatanegaraan yang pernah dipraktekan Era Orde lama (Soekarno) dan Era Gusdur kendatipun nasib Dekrit versi Gusdur tidak sebagus dengan Dekrit versi Soekarno. Meskipun sebagai constitutional convention, Dekrit Presiden dalam konteks kekinian, perannya sudah digantikan dengan Perpu. Karena itu, opsi lain yang paling mungkin adalah pemerintah harus segera mengeluarkan Perpu sebagai langkah emergency untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum dan turbelensi politik nasional yang mengarah pada situasi chaos akibat munculnya problem calon presiden dan calon wakil presiden tunggal tersebut,
Dengan catatan, jika pilihan solusinya adalah Perpu, maka Perpu tersebut harus dikeluarkan mendahului tahapan penetapan pasangon calon oleh KPU atau lebih bagus jika sebelum tahapan pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden yakin sebelum tanggal 10 Mei 2009 guna sesegara mungkin diagendakan untuk disetujui oleh DPR menjadi sebuah UU. Saya mengkhwatirkan, bila Perpu diproduksi pasca pendaftaran pasangan calon atau sebagai akibat hanya ada satu pasangan calon Presiden (apalagi incumbent) yang mendaftarkan diri di KPU, maka besar kemungkinan Perpu tersebut lebih menguntungkan pihak incumbent daripada pihak lain. Sekali lagi kendatipun pasangan calon dalam pemilu presiden nanti tetap dua pasangan calon atau lebih, namun payung hukum untuk mengantisipasi munculnya calon pasangan tunggal tersebut harus tetap diadakan. Akhirnya, kita tentu berharap bahwa pemilu Presiden secara langsung tahun ini dapat berjalan secara aman, adil dan membawa perubahan yang signifakan bagi kemaslahatan bangsa. Semoga****
King Faisal Sulaiman SH
Dosen Hukum Unkhair Ternate & Direktur LBH Malut
Mari kita lupakan sejenak kekisruhan atau amburadulnya Daftar Pemilih Tetap atau DPT pada pemilu legislatif (pileg) dan banyaknya caleg-caleg stress dengan macam-macam keanehanya akibat gagal menjadi wakil rakyat. Saya ingin mengajak perhatian kita tertuju pada hingar bingar konfigurasi politik jilid dua yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang saat ini sudah terasa getarannya hingga ke pelosok nusantara. Sederet tokoh atau elit politik yang kian menunjukkan taring politiknya, sebut saja Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah dipastikan sebagai Capres dari Partai Demokrat, kemudian ada Yusuf Kalla yang pasca perceraiannya dengan SBY kini sudah dikukuhkan lewat Rapimnas khusus partai Golkar sebagai calon Presiden. Disisi lain ada Megawati Soekarno Putri, yang kini makin memantapkan diri sebagai kandidat calon Presiden RI 2009-2014 dari Partai berlambang moncong Putih. Ketiga calon kuat Presiden tersebut dan ditambah tokoh-tokoh nasional lain seperti Prabowo Subianto (Gerindra), Wiranto (Hanura), Rizal Ramli dan Dedy Mizwar (capres alternatif dari sejumlah Partai Gurem), sudah mulai sibuk dan intens melakukan manuver-manuver politik. Mereka kini terus membangun komunikasi politik lintas elit partai politik yang ada untuk menentukan siapa cawapresnya masing-masing sekaligus membangun peta koalisi yang sebenarnya.
Ada pertanyaan yang mungkin terlupakan oleh kita, yakni apa jadinya jika dalam Pemilu Presiden (Pilpres) kali ini ternyata hanya terdapat satu pasangan calon yang didaftarkan Parpol pengusungnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU)? lalu dimana letak dasar hukumnya ? Pertanyaan-pertanyaan ini, menarik untuk dicari jawabannya. Kita tentu berharap hal ini tidak akan terjadi, namun dengan melihat pasang-surut dinamika Pencapresan yang berkembang saat ini, terlebih adanya ancaman boikot pemilu presiden yang dilontarkan oleh kelompok Teuku Umar, dimotori PDIP dan sejumlah partai politik lainnya akibat buruknya kualitas Pemilu legislatif (kisruh DPT) kemarin, maka bisa jadi kemungkinan-kemungkinan munculnya calon presiden tunggal tak terelakkan. Terlebih, dalam aturan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, tidak ada satupun ketentuan yang mengatur soal calon tunggal pemilihan Presiden. Pada segmen lain, UU No. 42 Tahun 2008 juga tidak sama sekali mengharuskan (tidak ada kewajiban) bahwa dalam pemilu presiden setidak-tidaknya harus ada dua pasangan calon yang bertarung.
Saya melihat para pembuat UU ini terlalu over confident (terlalu Pede) bahwa pasti terdapat lebih dari satu bakal pasangan calon alias minimal dua pasangan calon dalam Pilpres yang akan maju bertarung. Indikasi kearah pengasumsian bahwa bakal ada minimal dua pasangan calon yang berlaga, bisa kita telisik pada fase dan etape administratif sebagaimana diatur dalam UU Pilpres ini yang dimulai dari tahapan penyusunan daftar pemilih; kemudian pendaftran bakal pasangan calon; penetapan pasangan calon; masa kampanye; masa tenang; pengumutan dan penghitungan suara dan dilanjutkan dengan penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden serta terakhir adalah acara pengambilan dan pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden terpilih. Lebih jauh, ketentuan pada Pasal 21 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa KPU menetapkan dalam sidang pleno KPU tertutup dan mengumumkan nama-nama Pasangan Calon yang telah memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, 1 (satu) hari setelah selesai verifikasi. Secara implisit, argumen normatif yang dibangun dibalik bunyi Pasal ini adalah bahwa sudah pasti terdapat pasangan calon dalam Pilpres bulan Juli mendatang dengan penggunaan frasa “mengumumkan nama-nama pasangan calon”.
Selanjutnya ada klausula (Pasal 22) yang mengatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik tidak diperkenankan menarik calonnya dan atau pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU sebab konsekuensinya, partai politik atau gabungan partai politik tersebut tidak dapat mengusulkan calon pengganti. Demikian juga, salah seorang dari pasangan calon atau pasangan calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU. Bilamana pasangan calon atau salah seorang dari pasangan calon mengundurkan diri, partai politik atau gabungan partai politik yang mencalonkannya tidak dapat mengusulkan calon pengganti. Pada sisi lain, ada ketentuan (lihat Pasal 24) bahwa dalam hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya Kampanye sampai hari pemungutan suara sehingga jumlah pasangan calon kurang dari dua pasangan, tahapan pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditunda oleh KPU paling lama 30 (tiga puluh) hari, dan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang Pasangan Calonnya berhalangan tetap mengusulkan Pasangan Calon pengganti paling lama 3 (tiga) hari sejak Pasangan Calon berhalangan tetap.
Menyimak aturan main dalam Pilpres tersebut, secara intrinsik bisa ditafsirkan, UU No. 42 Tahun 2008 memberikan isyarat ambang batas dua pasangan calon sebagai syarat minimal dilaksanakannya pemilu presiden. Celakanya, tidak ada langkah antisipasi dalam UU ini bagaimana jikalau setelah ditunda selama 30 hari ditambah penundaan paling lama 3 (tiga) hari sejak Pasangan Calon berhalangan tetap, namun pasangan capres dan cawapres ternyata tetap tunggal alias orang Ambon bilang Seng Ada Lawan. Pertanyaan yang muncul, apakah tahapan Pilpres tetap dianggap sah secara hukum dan akan tetap dilanjutkan kendati hanya ada satu paket capres dan cawapres ? atau sebaliknya, apakah pemilu presiden dianggap in-konstitusional karena hanya diikuti satu pasangan calon ? Disinilah letak persoalan mendasar dan krusial yang tidak dapat dijawab secara tuntas oleh UU No. 42 Tahun 2008. Sejujurnya harus diakui, UU No. 42 Tahun 2008 sama sekali tidak mengantispasi akan munculnya pencapresan tunggal tersebut sehingga boleh dikatakan terjadi recht vacuum. Kita tidak juga tidak menemukan jawaban hukumnya dalam konsitusi kita (UUD 1945). Ironisnya, konstitusi kita juga tidak mengatur bagaimana mengatasi kekosongan kursi Presiden dan wakil presiden jika andaikata pemilu presiden gagal ditengah jalan atau pemilu presiden ternyata ditunda sampai akhir masa jabatan presiden ?
Mencermati sejumlah aturan-aturan normatif yang masih carut marut terkait calon tunggal dalam pemilihan presiden tersebut, maka idealnya segera dilakukan legislative review terhadap UU No. 42 Tahun 2008 atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus membuat Peraturan KPU yang mengatur akan problematika ini, karena KPU juga mempunyai kewenangan untuk itu (Pasal 24 ayat (4). Hanya saja, kelemahannya, jika hal ini diatur dalam peraturan KPU maka nilai legitimasi hukumnya kurang begitu kuat ketimbang diatur dalam sebuah Undang-undang. Kita tidak mungkin melakukan constitutional review karena harus butuh waktu yang relatif panjang dan dipastikan menguras energi politik yang lebih besar. Presiden juga tidak mungkin mengeluarkan Dekrit Presiden sebagaimana diakui dalam praktek ketatanegaraan yang pernah dipraktekan Era Orde lama (Soekarno) dan Era Gusdur kendatipun nasib Dekrit versi Gusdur tidak sebagus dengan Dekrit versi Soekarno. Meskipun sebagai constitutional convention, Dekrit Presiden dalam konteks kekinian, perannya sudah digantikan dengan Perpu. Karena itu, opsi lain yang paling mungkin adalah pemerintah harus segera mengeluarkan Perpu sebagai langkah emergency untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum dan turbelensi politik nasional yang mengarah pada situasi chaos akibat munculnya problem calon presiden dan calon wakil presiden tunggal tersebut,
Dengan catatan, jika pilihan solusinya adalah Perpu, maka Perpu tersebut harus dikeluarkan mendahului tahapan penetapan pasangon calon oleh KPU atau lebih bagus jika sebelum tahapan pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden yakin sebelum tanggal 10 Mei 2009 guna sesegara mungkin diagendakan untuk disetujui oleh DPR menjadi sebuah UU. Saya mengkhwatirkan, bila Perpu diproduksi pasca pendaftaran pasangan calon atau sebagai akibat hanya ada satu pasangan calon Presiden (apalagi incumbent) yang mendaftarkan diri di KPU, maka besar kemungkinan Perpu tersebut lebih menguntungkan pihak incumbent daripada pihak lain. Sekali lagi kendatipun pasangan calon dalam pemilu presiden nanti tetap dua pasangan calon atau lebih, namun payung hukum untuk mengantisipasi munculnya calon pasangan tunggal tersebut harus tetap diadakan. Akhirnya, kita tentu berharap bahwa pemilu Presiden secara langsung tahun ini dapat berjalan secara aman, adil dan membawa perubahan yang signifakan bagi kemaslahatan bangsa. Semoga****
Langganan:
Postingan (Atom)